Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Guru "Nekat" Sudah Biasa?

3 Maret 2016   23:54 Diperbarui: 9 Maret 2016   06:23 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Suasana kegiatan pengenalan lingkungan bersama anak ABK (dok. pribadi)"][/caption]Sekali lagi, saya ingin menulis pengalaman pribadi di blog bersama kompasiana ini, khususnya pengalaman saya ketika saya menjadi guru bagi anak-anak berkebutuhan khusus.

Di bulan Maret ini, sama seperti tulisan-tulisan yang lalu, tentang kenekatanku ketika harus terjun di dunia ke-PLB-an, dunia yang baru saya pahami. Dunia di mana saya menemukan cerita yang menggemaskan, menjengkelkan, membosankan, menyedihkan dan adapula yang memprihatinkan. Meskipun sederet kisah yang negatif itu ternyata cerita menyenangkan justru yang paling banyak saya alami.

Bagaimana tidak, selama setahun saya menginjakkan kaki, dan saat ini kurang lebih sudah 7 tahun di sekolah luar biasa-sekolah bagi anak-anak istimewa- ini cukup memberikan pelajaran berharga, bahwa dunia ini begitu luas dan indah untuk ditempati. Dengan menatap,, bercanda, dan mengajarkan kehidupan pada anak-anak berkebutuhan khusus, rasa syukur semakin tinggi saja. 

Ketika kita sempat sering mengeluh, dengan berhadapan dengan anak-anak tersebut, rasa keluh itu sekejap sirna dan berganti rasa syukur. Ketika membandingkan anak sendiri yang begitu sehat, cantik dan ganteng dengan keluarga yang masih lengkap rasa-rasanya berbeda 180 derajat dibandingkan dengan anak-anak didikku. Ketika di rumah saya dulu seringkali merenungi nasib yang tak juga membaik, setelah menemukan begitu banyak anak-anak istimewa ini serasa kehidupan ini menjadi sangat sempurna.

Anak-anak saya yang kadang bandel, ternyata amat sangat perlu disyukuri apabila melihat kembali betapa anak-anak istimewa ini berada di sekeliling kita. Saya gak bisa membayangkan betapa sulitnya para orang tua, kerabat dan tetangga menerima kondisi anak-anak tersebut.

Boleh jadi saya sendiri pun berpikiran sama, karena saat ini saja kadang sering mengeluh, ketika anak-anak mulai membandel. Tapi akan meleleh seketika ketika saya melihat kembali anak-anak yang begitu banyak kekurangan itu. Maha Suci Allah, Segala Puji Bagi Allah, Allah Maha Besar. Tiada kenikmatan yang lebih membahagiakan selain memiliki keluarga yang utuh. Melihat anak-anak sehat meskipun kadang kondisi ekonomi tak seperti orang kebanyakan. Kesehatan tetaplah kenikmatan yang tak ternilai apapun.

Sulit sekali untuk diungkapkan satu persatu, kenapa saya dan mungkin guru-guru lain begitu nekat ingin menjadi bagian pendidik di sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini.

Namun, meskipun sulit untuk mengungkapkan seberapa sulitnya mengajarkan ilmu dan akhlak bagi anak2 berkebutuhan khusus tentu syarat utamanya adalah :

1. Nekat

Ilmu nekat, lebih cenderung orang yang siap berkorban apa saja. Mungkin waktu yang tidak sedikit meskipun dengan pengalaman cetek terus belajar menggali ilmu yang teramat luas itu. Coba saja bayangkan, guru umum yang setiap hari mengajarkan tentang keagamaan, ee tiba-tiba bersinggungan dengan anak-anak istimewa ini? Boleh jadi yang terbiasa dengan kehidupan enak, mereka langsung syok, stress, dan fatalnya langsung strock. Karena menemukan anak-anak ini harus memiliki kenekatan tingkat tinggi. Seperti saya ibaratkan, kalau kita hendak melalui jalan yang lumayan angker, sedangkan kita mesti melewatinya, maka sudah tentu kita akan melakukannya meskipun risikonya akan pingsan karena ketakutan. 

Tapi ternyata ilmu nekat justru menjadi kekuatan untuk tetap bertahan, sembari berharap, semoga saja pengabdian ini tetap bernilai di hadapan Allah SWT. 

Pertanyaannya, Apakah saya pernah mengeluh? Ya. Jujur saja saya awalnya sering mengeluh. Gak cuman guru SLB, karena guru-guru umum pun akan mengeluh, apabila menemukan siswa-siswi yang kurang berkenan di hati. Karena apa? Dulu saya honorer murid-murid saya lumayan cerdas, meskipun saya gak cerdas, tapi kalau berhadapan dengan anak-anak cerdas tentu lebih mudah mengarahkan. Giliran memasuki dunia ke-PLB-an saya seperti masuk ke dalam kawah candradimuka. Saya digodog dengan aneka rupa anak-anak istimewa, agar saya bisa mendalami setiap kelemahan dan berusaha mencari solusi sebaik-baiknya, agar anak-anak yang dititipkan tersebut bisa berkembang menjadi lebih baik. 

Beruntung sekali, ada kebijakan setiap guru SLB diikutkan dalam pendidikan dan latihan agar mereka bisa menguasai medan. Meskipun tidak seratus persen, tentu tetap akan berefek positif bagi pemenuhan gizi pembelajarannya.

Yang tetap menjadi keyakinan adalah, banyak orang yang gagal yang takut keluar dari kemapanan, mereka emoh menemukan hal baru. Dan bagi orang yang berani menghadapi tantangan, tentu lambat laun akan menemukan jawaban yang positif dari setiap tetes keringatnya.

Menjadi guru SLB adalah kenekatan, karena kalau tak nekat tentu tak mampu bertahan hingga bertahun-tahun. Dan alhamdulillah dengan nekat itu, tak sedikit para siswaku yang tak mau berganti guru, lantaran betah jika saya yg mendidik mereka. "GR"

[caption caption="Suasana latihan berpuisi bersama anak tuna daksa, meskipun belum pernah menang di tingkat nasional, minimal sudah mejeng deretan penerima trofi tingkat provinsi (doc. pribadi)"]

[/caption]

2. Sabar

Mungkin benar apa yang dikatakan saudara-saudara guru di sekolah umum, bahwa "guru SLB itu kog bisa sabar gitu ya? Padahal murid-muridnya anak-anak yang aneh-aneh." Dan saya buktikan sendiri bahwa memang benar harus sabar. Bagaimana tidak, ketika mengajar, tiba-tiba murid memukul gurunya dengan raket, kebetulan anak ini anak Autis, yang tidak mempunyai kontrol diri. Jika ada teramat sedikit bisa mengendalikan dirinya. Makanya anak-anak autis tidak sedikit yang tiba-tiba memukul guru, mencakar dan ada pula yang mencubit hingga gurunya kesakitan. Tapi ya itu tadi, guru bagi anak-anak istimewa adalah guru yang harus sabar. Hatinya harus dalam sedalam samudra, lantaran itulah tantangannya.

Bahkan bagi anak-anak Tuna Rungu atau kelemahan dalam organ pendengaran dan pengucapannya, mereka rata-rata kurang menghormati gurunya. Mereka menganggap guru sama dengan dirinya. Makanya jangan heran kalau gurunya tiba-tiba dikatain sinting atau gila dengan meletakkan jari tangannya di kening pertanda mengatai gurunya dengan amat enaknya. 

Yang lebih sulit lagi ketika harus mempelajari bahasa isyarat, sebagai alat berkomunikasi bagi anak-anak tuna rungu. Karena tanpa bahasa isyarat maka jangan harap para guru bisa membina anak-anak ini.

Guru SLB haruslah mempunyai kesabaran yang levelnya 100, kalau guru-guru umum masih sempat memukul siswanya, maka perlu diperiksa kejiwaannya. Apakah ia sudah lulus tes psikologi atau belum? Kalau belum mending berobat dulu kejiwaannya agar tidak lagi memukul muridnya. Guru adalah contoh, berikanlah contoh atau teladan yang baik.

Jika mereka mengatakan guru SLB itu luar biasa sabar memang itu kenyataannya. Tapi kalau menganggap jadi guru SLB itu gampang, maka mesti dites dulu kira-kira tiga hari betah gak kira-kira mengajar di sana.

3. Telaten (tekun)

Kata orang kejeniusan seseorang memang diperlukan dalam pekerjaan, namun kejeniusan tanpa ketekunan tidak akan berbuah apa-apa. Coba lihat Albert Einstein yang katanya murid yang tak bisa diajar gurunya, ternyata justru karena ketelatenan ibunya sendiri sosok yang dianggap aneh itu menjadi sosok terkenal karena kecerdasannya. Teori relativitas menjadi pungkasan usaha dan ketelatenan dalam menggali ilmu.

Jenius memang penting, tapi lebih penting adalah telaten. Kalau Anda merasa jenius dan menganggap mampu mendidik anak2 istimewa, maka patut diacungi jempol, tapi kalau belum membuktikan dengan ketelatenan dan usaha yg maksimal, maka belum bisa dibuktikan. Boleh jadi, untuk mengajarkan membaca, membutuhkan beraneka cara agar anak ini bisa membaca, apalagi belajar matematika, tentu tak mudah melakukannya.

Saya salut dgn guru-guru yang bisa telaten dalam mendidik anak-anak istimewa ini, karena berkat ketelatenan, cawan yang kosong tersebut bisa sedikit demi sedikit terisi oleh pengetahuan dan pengalaman. Pembelajaran individual menjadi sangat penting agar proses pembelajaran bisa tercapai optimal. Kiranya fokus pembelajaran bukan kelemahannya tapi bakat dan kelebihan yang dimiliki.

4. Terus menggali ilmu

Menjadi guru, tak hanya bagi anak-anak istimewa, karena guru itu selalu dituntut up to date. Mereka semestinya memperbarui kemampuan mengajarnya serta pengalaman lain dalam bidang tugasnya. Apalah jadinya jika guru sama sekali tidak merespon kritik dan keluhan dari orang lain. Lebih-lebih ketika mereka sudah berpuas dari dengan ilmu yang saat ini dimiliki, tentu menjadi sebuah catatan buruk. 

Apalagi bagi guru bagi anak-anak istimewa ini, maka sudah menjadi kewajiban, mereka lebih memperdalam lagi keterampilannya dalam mengajar, metodologi pembimbingan siswa, dan tentu saja keterampilan life skill. Karena keterampilan ini yang menjadi penentu guru bisa membawa siswanya menuju kesuksesan. Pengetahuan umum mesti dioptimalkan, terlebih keterampilan, karena ini adalah keterampilan dasar bagi kehidupan mereka. Maka tidak ada alasan lain bagi guru di dalamnya mempelajari aneka keterampilan demi membina anak-anak didiknya.

5. Banyak doanya

Selain harus disiplin dalam bertugas, para guru semestinya memperbanyak doa, khususnya bagi para muridnya. Karena senjata ampuh keberhasilan siswa adalah keridhoaan sang guru. Semakin guru banyak mendoakan siswanya, mudah-mudahan Tuhan memberikan pencerahan dan bimbingan, serta jalan keluar terhadap masalah yang dihadapi dalam pendidikannya.

Itulah jurus-jurus yang harus dimiliki oleh guru bagi anak-anak istimewa, karena tanpa itu semua, pekerjaannya akan terasa berat untuk dijalani. Dan tentu saja, kesulitan demi kesulitan sulit menemukan solusinya.

Salam

Metro, Lampung, 3/3/2016

NB. Tulisan ini bukan untuk menggurui atau pencitraan, sekedar membagi pengalaman saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun