Setiap pagi Selvi dan Ibu memang terlihat berdebat terkait persiapan berangkan sekolah. Entah urusan PR, Seragam, Sarapan atau masalah yang selalu membelitnya di sekolah.
Belum lama berselang, Ibunya pernah dipanggil pihak sekolah, lantaran Silvi terlibat perkelahian dengan teman kelasnya. Yang mengherankan, ternyata teman ributnya itu laki-laki, tapi memang Silvi tak pernah mundur jika harus beduel dengan teman kelasnya. Lawannya pun acapkali menyerah kalah karena terkena pukulan Silvi. Sama dengan kawannya kali ini, wajahnya penuh luka karena pukulan Silvi. Maklum saja Silvi memang sudah terlatih bela diri semenjak sekolah dasar. Ia pun dulu pernah menjuarai perlombaan tingkat sekolah.Â
Kala itu Silvi termasuk anak yang tidak suka ribut. Ia lebih banyak mengalah dan tidak mengabaikan gangguan temannya. Ia seringkali murung lantaran sering dibully. Pernah suatu ketika ia tidak masuk sekolah selama seminggu. Ia tidak mau makan, keluar kamar pun kalau mau ke toilet. Mandi pun jarang. Sikapnya berbanding terbalik 180 derajat seperti itu setelah ayah dan ibunya bercerai. Entah ada masalah apa, keluarga yang tadinya begitu tenang tiba-tiba berubah drastis. Keluarganya yang terlihat bahagia, kehidupan yang berkecukupan, ternyata tidak bertahan lama.
***
Dua tahun sebelum perpisahan ayahnya dengan sang ibu, ayahnya masih tengah naik daun, mendapatkan promosi jabatan yang lebih tinggi sebagai manager di perusahaan di mana ayahnya bekerja. Gaji tinggi menanti dan tentu saja fasilitas mewah pun dirasakan ayahnya. Tapi semua itu hanya berjalan dua tahun tatkala perjumpaan ayahnya dengan seorang gadis yang kebetulan baru diterima menjadi sekretaris di kantor di mana ayahnya bekerja. Perempuan ini memang cantik, tubuh yang indah seperti biola, rambut hitam terurai, perkataannya lembut. Sungguh siapapun yang melihat wanita ini akan terpesona. Jika disamain kayak artis Eropa.
Ayah Silvi menyebutnya Bu Tini. Nama itu ia dapatkan ketika keduanya bertemu di sebuah lobi. Tini diperkenalkan kepada sang Ayah oleh bos perusahaan di mana ia bekerja.Â
Awalnya keduanya tampak biasa saja, karena baru saja berkenalan. Tapi entahlah tiba-tiba Tini menjadi tertarik dengan ayah Silvi. Percakapan semakin intens karena keduanya menjadi manajer dan sekretaris yang tentu keduanya sering bertemu.
 "Selamat pagi, Pak!" Tini menyapa Pak Dadi dengan ramah, matanya terlihat tajam menatap Pak Dadi.
"Selamat pagi. Bu Tini!. Pak Dadi menjawab sapaan Tini.
"Ah, saya jadi malu." Seloroh Tini.
"Jangan panggil saya Ibu sih, Pak!." Tini terlihat tersipu-sipu dan tersenyum menggoda. Nampak ia pandai sekali memancing perhatian pak Dadi. Sedangkan Pak Dadi tak terlalu meladeni sekretarisnya. Ia ingat sekali kata-kata Silvi anak gadisnya itu, "pah, jangan pernah deketin wanita lain ya pak!. Kasihan sama ibu."Â