[caption caption="Program Jaminan Kesehatan Nasional atau saat ini disebut Kartu indonesia Sehat yang saat ini dikelola oleh BPJS ternyata meninggalkan guratan kekecewaan terutama bagi penulis dan tentu saja pasien lain. Karena mereka hakekatnya sudah difasilitasi oleh negara tapi pelayanannya tidak maksimal. Oleh karena itu ada baiknya pemerintah mengawasi Rumah Sakit yang tidak memenuhi standar layanan maksimal bagi pasien penerimanya. Begitu pula kartu-kartu yang lain yang sarat penyimpangan di tingkat pelaksanaannya."][/caption]
Catatan keluarga pasien pengguna JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) atau BPJS gratis
Sudah sebulan ibuku tutup usia pasca penyakit komplikasi yang diderita di Rumah Sakit pemerintah di kotaku, yang kebetulan adalah pasien rujukan dari RS swasta di kota yang sama. Kondisi ibu sampai saat itu masih terbaring lemah tak berdaya lantaran penyakit yang diderita. Penyakit hipertensi, demam berdarah dan kelelahan hingga sang ibu tiba-tiba ambruk dan tidak bisa diajak bercakap-cakap lagi hingga menjeput ajalnya.
Sedih..
Boleh jadi dan memang benar kata pepatah, uang adalah segala-galanya. Sama yang dialami almarhumah ibuku ketika menjalani pengobatan di rumah sakit tersebut. Masyarakat dengan ekonomi pas-pasan semestinya selalu berada di bawah saja, dengan kondisi yang apa adanya. Tak perlulah layanan yang aneh-aneh lantaran hanya kelas-III. Pasien pemegang kartu gratis dari pemerintah ini identik masyarakat kelas tiga dgn status rendahan.Â
Rendah sekali ya sepertinya julukan warga kelas-III ini. Ya begitulah. Siapapun yang berobat dengan menggunakan kartu JKN yang disubsidi oleh pemerintah maka selayaknya jangan berharap terlalu besar. Cukup menunggu keajaiban dari Allah SWT maka kesembuhan akan didapatkan. Dan boleh jadi perasaan ini akan banyak dialami oleh masyarakat lain yang se-level dalam tingkat ekonomi di masyarakat.
Dan kayaknya saya mulai sependapat dengan opini bahwa "orang miskin tidak boleh sakit". Lantaran bagi siapa saja yang berstatus miskin tentulah akan sulit mendapatkan layanan kesehatan yang memadai. Jangankan berharap mendapatakan pelayanan dan perawatan yang tepat, tuntas dan akurat, karena di kala pendaftaran pun sudah beda cara menyapa. "Keluarga make BPJS ya Pak?. Bahkan ketika kutanya terkait ruang yang layak untuk pasien yang setengah sekarat itu, mereka selalu berkilah bahwa ruangan kelas-I dan II sudah penuh dan yang tersisa hanyalah ruangan kelas-III. Itupun kita belum tahu kapan pasiennya akan check out dari ruang itu. Untuk sementara waktu di ruang UGD, nah kalau kamarnya sudah kosong, keluarganya baru bisa pindah ke ruangan yg baru."Â
Sebenarnya tidak salah dalam pernyataan ini, tapi yang tersurat dari pernyataan itu adalah stigma ketika keluarga menggunakan kartu BPJS maka jangan berharap mendapatkan layanan terbaik. Meskipun pemerintah menjamin kesetaraan (egalitas) terhadap warga. Tapi sayang sekali, program yang cukup "menjanjikan" ini, saat ini belum sepenuhnya bisa dirasakan oleh lapisan masyarakat bawah. Terutama keluarga miskin, khususnya keluarga sendiri yang kebetulan menggunakan fasilitas gratisan dari pemerintah ini. Meskipun sebenarnya tidak gratis, lantaran dana yang digelontorkan oleh pemerintah kepada pihak BPJS dan Rumah Sakit adalah dana APBN yang diperoleh dari Pajak dan pendapatan lain dari warga.
Tidak ada yang gratis di dunia ini, kecuali udara dan air dari Tuhan yang saat ini juga sudah dikomersilkan. Untuk mendapatkan fasilitas oksigen dan air saja harus membayar, padahal semua sudah tersedia di alam ini dan manusianya tinggal memanfaatkannya.
***
Singkat cerita, hampir sebulan yang lalu kebetulan ibuku tidak tertolong, lantaran penyakit komplikasi yang dideritanya kala itu. Almarhumah ibuku merasakan demam, kepala pusing dan tubuh merasa lelah yang luar biasa. Karena saya sendiri berdomisili di kota yang berbeda, saya tidak bisa sepenuhnya mengetahui keluhan dari beliau. Dan tepat di hari Minggu, ibu sudah tak berdaya dan sudah diantar ke RS Swasta di kota ini  untuk diberikan pengobatan.Â