Guru mengerjakan soal uji kompetensi guru (UKG) di SMA Negeri 3 Yogyakarta, Rabu (11/11). (KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)
Uji Kompetensi Guru hingga hari ini masih berlangsung di berbagai daerah, sebuah ujian (test) yang mengukur seberapa tinggikah kompetensi (kemampuan) guru dalam memahami bidang tugas masing-masing serta seberapa dalam tingkat profesionalisme mereka dalam menjalankan proses pembelajaran di kelasnya.
Sebuah langkah yang cukup cerdas yang dilakukan pemerintah demi meraih informasi yang seaktual dan sefaktual mungkin terkait para tenaga profesional ini.
Kebetulan, saya dan rekan-rekan se lembaga, telah melaksanakan UKG ini pada tanggal 16 November 2015, ada pula yang mendapatkan jatah pada 22 November ini. Meskipun rentang waktu cukup panjang, ternyata para guru termasuk saya sendiri lumayan terseok-seok dalam mempersiapkan evaluasi terbesar sepanjang sejarah kependidikan di Indonesia, sebuah uji nyali dan daya ingat serta profesionalisme dalam pembelajaran, apakah yang bersangkutan dianggap tinggi prestasinya atau justru rendah.
Dengan item pertanyaan sebanyak 80 hingga 100 tentu menjadi awal kegalauan tersendiri, apakah para guru ini sudah dianggap berkompeten atau justru tidak?
Itu harapan diadakannya UKG tersebut dan selebihnya tinggal menunggu kebijakan dari pemerintah apakah para guru itu dinyatakan layak mendidik, atau justru tidak pantas menyandang status sebagai guru lantaran skor atau nilai yang mengecewakan.
Ada kegundahan, reaksi berlebih-lebihan dari para guru, tatkala menghadapi UKG ini, di mana kegundahan tersebut muncul dari pernyataan guru yang saya temui, sebut saja Ibu Astuti, di sela percakapan kami pra mengikuti UKG, beliau menyatakan "Gimana ya pak kalau gak lulus, apakah sertivikasi dihapus?
Apalagi katanya kalau nilainya kurang dari 5,5 dianggap tidak lulus jadi belum dianggap sebagai guru. Lalu guru-guru itu mau dikemanain? Ada lagi yang melontarkan harapannya "semoga UKG ini hanyalah formalitas, jadi gak berpengaruh pada status guru serta sertivikasinya.
Menyimak pertanyaan terkait UKG itu, saya hanya bisa mengatakan bahwa UKG itu adalah pemetaan saja, di mana para guru itu akan dikategorikan pada kelompok masing-masing. Apakah mereka dikelompokkan guru profesional, menengah atau dengan kompetensi yang rendah. Jadi jangan terlalu kuatir.
Terang saja, dengan pernyataan itu, tak hanya saya karena ada ribuan guru lain yang akan mengalami nasib yang sama. Padahal keputusan jelas mengenai status guru tersebut dikembalikan pada peraturan pemerintah dan kondisi yang melingkupinya.
Jika ternyata semua guru yang tidak lulus tersebut mesti dicopot dari statusnya sebagai guru, maka ada ribuan guru yang akan depresi, tak siap jika dirinya harus berhenti mengajar. Apalagi posisinya jatuh menjadi tenaga kebersihan misalnya. Tentu akan lebih menyakitkan.
Mudah-mudahan UKG ini benar-benar mengelompokkan (mengklasifikasi) para guru agar pemerintah bisa menangani kelompok guru yang dianggap rendah kompetensinya ini menjadi guru yang profesional.
Para guru yang sudah lulus dengan grade di atas 70, maka mereka layak disebut guru profesional, meskipun faktanya tidak menjamin yang lulus UKG benar-benar profesional di dalam kelas. Lantaran soal-soal tersebut belum sepenuhnya mengidentifikasi kemampuan guru yang sesungguhnya.
Penilaian Pedagogik dan Profesional yang belum valid
Bolehlah jika UKG itu benar-benar menjadi alat evaluasi bagi guru, lantaran guru memang semestinya dievaluasi kinerjanya, tapi belum sepenuhnya UKG bisa menilai seberapa profesionalnya guru lantaran soal-soal yang diajukan cukup vareatif namun belum sesuai dengan kebutuhan profesionalisme guru tersebut.
Seperti misalnya, bagi guru sekolah luar biasa jurusan B (Tuna Rungu Wicara) ternyata item soalnya berisi materi tentang tuna daksa, tuna netra, autis dan lain-lain. Tidak sepenuhnya membahas tentang berbagai tugas guru yang menyangkut anak-anak Tuna Rungu Wicara saja.
Begitu pula untuk guru tuna grahita, ternyata materi soalnya juga berkaitan dengan anak-anak tuna netra dan tuna rungu wicara. Sebuah evaluasi yang aneh lantaran tidak benar-benar menyentuh profesionalisme guru itu sendiri. Apalagi kisi-kisi yang beredar berisi materi yang sesuai dengan jurusan masing-masing. Kondisi ini seperti disampaikan oleh guru-guru PLB yang kebetulan juga mengikuti UKG ini.
Dengan materi soal yang tidak sejurus dengan kisi-kisi tersebut tentu saja tujuan UKG yang semestinya mengukur profesionalisme guru menjadi sedikit bias. Pantaslah nilai-nilai yang diperoleh guru pasca UKG relatif rendah. Ternyata faktor utamanya kisi-kisi yang beredar, tugas mengajarnya di sekolah serta materi soal UKG ternyata tidak sinkron atau tidak linier.
Untuk menilai seberapa profesionalnya guru semestinya alat ukurnya pun harus valid dan reliable, jadi amat pantas kalau outpun pasca UKG benar-benar diperoleh secara nyata. Bahkan ada pula soal yang berhubungan dengan Microsoft Power Point, yang tidak semua guru menggunakan program Microsoft tersebut dalam pembelajarannya.
Meskipun program tersebut sudah baik, namun kenyataannya tidak semua sekolah bisa menyediakan fasilitas yang menunjang bagi proses pembelajaran yang menggunakan media komputer.
Konklusi
UKG adalah program yang baik bagi guru-guru terkait bidang tugasnya. Namun sebaik apapun sebuah uji kompetensi semestinya benar-benar valid, yaitu mengukur yang hendak diukur atau sesuai dengan materi yang diajarkan. Apalagi kisi-kisi UKG yang beredar sudah sesuai dengan bidang tugas guru. Tapi ternyata justru ketika UGK malah berbeda.
Ini yang cukup membuat para guru bingung. Padahal, sepantasnya UKG didesain benar-benar mengukur seberapa tinggi tingkat kompetensi guru dalam bidangnya masing-masing.
UKG semestinya tidak hanya sebatas soal tes semata, tapi wujud konkrit pengalaman mengajar yang bisa diamati secara umum tim penilai yang juga sesuai dengan bidang tugasnya.
Salam
Baca juga tulisan ane yang laen ya bro... :)
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H