Jika ternyata semua guru yang tidak lulus tersebut mesti dicopot dari statusnya sebagai guru, maka ada ribuan guru yang akan depresi, tak siap jika dirinya harus berhenti mengajar. Apalagi posisinya jatuh menjadi tenaga kebersihan misalnya. Tentu akan lebih menyakitkan.
Mudah-mudahan UKG ini benar-benar mengelompokkan (mengklasifikasi) para guru agar pemerintah bisa menangani kelompok guru yang dianggap rendah kompetensinya ini menjadi guru yang profesional.
Para guru yang sudah lulus dengan grade di atas 70, maka mereka layak disebut guru profesional, meskipun faktanya tidak menjamin yang lulus UKG benar-benar profesional di dalam kelas. Lantaran soal-soal tersebut belum sepenuhnya mengidentifikasi kemampuan guru yang sesungguhnya.
Penilaian Pedagogik dan Profesional yang belum valid
Bolehlah jika UKG itu benar-benar menjadi alat evaluasi bagi guru, lantaran guru memang semestinya dievaluasi kinerjanya, tapi belum sepenuhnya UKG bisa menilai seberapa profesionalnya guru lantaran soal-soal yang diajukan cukup vareatif namun belum sesuai dengan kebutuhan profesionalisme guru tersebut.
Seperti misalnya, bagi guru sekolah luar biasa jurusan B (Tuna Rungu Wicara) ternyata item soalnya berisi materi tentang tuna daksa, tuna netra, autis dan lain-lain. Tidak sepenuhnya membahas tentang berbagai tugas guru yang menyangkut anak-anak Tuna Rungu Wicara saja.
Begitu pula untuk guru tuna grahita, ternyata materi soalnya juga berkaitan dengan anak-anak tuna netra dan tuna rungu wicara. Sebuah evaluasi yang aneh lantaran tidak benar-benar menyentuh profesionalisme guru itu sendiri. Apalagi kisi-kisi yang beredar berisi materi yang sesuai dengan jurusan masing-masing. Kondisi ini seperti disampaikan oleh guru-guru PLB yang kebetulan juga mengikuti UKG ini.
Dengan materi soal yang tidak sejurus dengan kisi-kisi tersebut tentu saja tujuan UKG yang semestinya mengukur profesionalisme guru menjadi sedikit bias. Pantaslah nilai-nilai yang diperoleh guru pasca UKG relatif rendah. Ternyata faktor utamanya kisi-kisi yang beredar, tugas mengajarnya di sekolah serta materi soal UKG ternyata tidak sinkron atau tidak linier.
Untuk menilai seberapa profesionalnya guru semestinya alat ukurnya pun harus valid dan reliable, jadi amat pantas kalau outpun pasca UKG benar-benar diperoleh secara nyata. Bahkan ada pula soal yang berhubungan dengan Microsoft Power Point, yang tidak semua guru menggunakan program Microsoft tersebut dalam pembelajarannya.
Meskipun program tersebut sudah baik, namun kenyataannya tidak semua sekolah bisa menyediakan fasilitas yang menunjang bagi proses pembelajaran yang menggunakan media komputer.
Konklusi