Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa "jujur bikin hancur", kejujuran justru mendatangkan kehancuran dalam hidup seseorang. Sehingga tidak sedikit orang yang harus berbohong dan merelakan suara hatinya demi mencari selamat. Mereka berusaha mencari aman daripada kehidupannya justru susah dan kerepotan.Â
Benarkah kita penah mendengar ungkapan itu?Â
Kayaknya pernah loh, soalnya hampir dalam lini kehidupan kita selalu saja berbenturan dengan dua sisi kehidupan. Benar dan salah, hitam dan putih, celaka dan aman, serta dua sisi lain yang turut menjadi "hantu" bagi siapa saja yang ingin berlaku jujur. Tak sedikit yang ingin berusaha hidup apa adanya dengan melawan arus, tapi faktanya kehidupannya tetap begitu-begitu saja. Dalam kehidupan kita seringkali pula mendapati orang yang ingin menyuarakan kebenaran, justru menerima kondisi yang tidak mengenakkan.
Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Bahkan kemalangan demi kemalangan seakan-akan menghantui dan menguji diri. Sehingga tak sedikit orang-orang yang dahulunya benar-benar bersih hati dan fikiran, ingin selalu lurus dalam ucapan, dikarenakan situasi tertentu orang tersebut justru mengorbankan hati nuraninya. Ia merelakan kejujuran hati turut tergadai lantaran kondisi kehidupan yang terlalu keras untuk dijalani.
Bolehlah saya contohkan kejujuran yang berimbas pada kemalangan. Ronny Maryanto, seorang aktivis justru dilaporkan sebagai sosok yang mencemarkan nama baik. Kala itu ia melaporkan tindakan money politik yang dilakukan oleh Fadhli Zon kepada Panwas. Sosok yang dilaporkan saat ini menjadi Wakil Ketua DPR RI.
Karena tuduhannya ini, aktivis ini harus berurusan dengan pihak berwajib dan mendapatkan hukuman wajib lapor lantaran kasus yang menimpanya. Sebagaimana dirilis oleh Kompas.com (Senin, 2-11-2015)
Seorang yang boleh jadi ingin menegakkan kebenaran, tapi justru mendapatkan getahnya. Orang lain yang melakukan yang seharusnya mendapatkan hukuman, ternyata justru melawan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Fenomena hukum di negeri ini memang kadang terlihat kacau, hukum yang semestinya melindungi masyarakat yang melaporkan tindakan pidana justru mendapatkan getahnya. Pantaslah saat ini muncul kecenderungan untuk bersikap abai terhadap apapun yang ditemui. Dengan alasan ingin cari aman, semua tindakan melanggar hukum akhirnya bisa dilakukan tanpa khawatir ditindak secara hukum.
Tak hanya kejahatan kelas kakap, kejahatan kelas teri saja kalau sudah berhadapan dengan uang, maka kebenaran akan selalu kalah. Tak jauh-jauh, bagaimana seorang nenek yang harus mendekam di penjara lantaran dituduh mencuri kayu, padahal nenek ini mengatakan bahwa ia sama sekali tidak pernah melakukan apapun yang dituduhkan.Â
Kita tentu masih ingat, bahwa hukum seringkali tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Untuk mengadili masyarakat kelas teri, hukum begitu mudah ditegakkan, tapi bagaimana dengan orang-orang yang berdasi dan bermobil mewah dengan pangkat yang mentereng? Tentu menjadi amat sulit ditegakkan.
Laporan fitnah, menjadi racun penegakkan hukum terkait money politik di kancah Pilkada
Pernyatan ini pernah saya utarakan dalam sebuah diskusi terbuka di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Metro beberapa waktu lalu. Kala itu berbarengan dengan sosialisasi Anti NPWP (Nomor Piro Wani Piro). Di mana KPU bersama elemen masyarakat mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan pilkada yang sebentar lagi dihelat. Dan pada kesempatan itu muncul pula diskusi tentang sejauhmana penegakan hukum oleh aparat jika ada warga yang melaporkan tindakan money politik dari masing-masing calon kepala daerah.
Semua sepertinya memiliki keyakinan yang tinggi bahwa suatu saat money politik bisa dihapuskan, dengan penyadaran kepada masyarakat bahwa hakekatnya money politik adalah racun yang memberangus idealisme politik itu sendiri. Politik yang manusiawi menjadi ternodai lantaran ulah oknum calon kepala daerah yang sengaja menebar jaring untuk meraih suara dengan cara-cara yang tidak dibenarkan. Money politic menjadi mesin penghancur yang suatu saat akan menghancurkan peradaban manusia.
Seperti dalam diskusi tersebut, terlontar pula, apakah Panwas, Bawaslu, Aparat kepolisian serta penegak hukum lain bisa mengadili tindakan kecurangan dalam Pilkada tersebut? Jawabannya pun masih terlihat abu-abu. Kenapa? Lantaran jika benar-benar money politic bisa dicegah dengan dukungan masyarakat, toh sampai sejauh ini masyarakat justru "seperti" menikmati uang tersebut.
Dan yang lebih menakutkan lagi, jika seandainya ada pihak yang ingin melaporkan pelaku money politic itu, maka dampaknya bukan ditegakkannya hukum, justru pelapor menjadi terlapor atas tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik seperti yang terjadi pada aktivis di atas. Tak pelak, karena ketakutan melingkupi para pelapor, maka dampaknya masyarakat pun menjadi cuek, gak peduli atau abai atas permainan politik yang tidak etis ini.
Apalagi sampai sejauh ini, ketika sudah ditemukan saksi pelapor, bukti sejumlah uang, ternyata masih saja bisa mengelak dengan dalih yang dibuat-buat dan semakin mengikiskan fakta kecurangan tersebut. Selain sulitnya menjadi pelapor, ternyata apabila ada seseorang yang menerima uang tersebut ketika dimintai keterangan pun akhiranya tidak mengakui bahwa mereka mendapatkan uang.
Semua menjadi sumir dan mentah. Seperti lingkaran setan, di mana satu diusut, ternyata pihak lain yang semestinya mendukung upaya penegakan hukum menjadi takut dan terjebak pada situasi tak menentu. Bahkan tak hanya takut dianggap fitnah, karena kebanyakan dari masyarakat awam, khawatir mendapatkan intimidasi dari pihak-pihak yang merasa dirugikan atas keberaniannya mengungkap kasus ini.
Inilah fenomena yang menjadi sulitnya penegakan hukum dan sulitnya memberangus upaya money politik yang turut mencederai makna demokrasi di negeri ini.
Meski tak bisa menjadi bagian penegakan hukum, cukup menolak uangnya saja
Sekiranya tidak mampu menjadi bagian penegakan hukum lantaran situasi yang boleh jadi menjerat dirinya sendiri, maka cukuplah dengan tidak menerima uang dari calon-calon yang tengah berkompetisi. Memilih calon pemimpinnya secara arif dan jujur dari lubuk hati yang paling dalam.Â
Hati akan selalu menunjukkan jalan yang terang, siapakah yang bisa menjadi pemimpinnya kelak. Meskipun ia tidak mendapatkan paket sembako atau sejumlah uang, mimpi mendapatkan pemimpin yang adil dan bijaksana serta mampu membangun daerahnya adalah impian semua orang.
Hanya dengan Menolak Politik Uang dan tidak mendukung upaya jual beli suara, tentu menjadi bagian integral dalam upaya menciptakan sistem pemerintahan yang bersih dan minim korupsi. Sebagaimana dicanangkan oleh KPU Kota Metro dalam menciptakan model demokrasi yang bersih demi tercapainya pemimpin yang amanah dan benar-benar pilihan rakyat.
Salam
Metro, Lampung, 03-11-2015Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H