Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gara-gara Mie Instant, Muncul Generasi Instant

11 Oktober 2015   04:04 Diperbarui: 28 Oktober 2015   10:24 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya melihat antara pembuat dan pembeli ijazah ada hubungan kausalitas, si pembuat tidak akan mendapatkan order kalau tidak pandai-pandai menyusun strategi pemalsuan dan bekerjasama dngan kolega agar proses ini lancar jaya, begitu pula dengan si pemesan, yang penting memiliki uang segepok, maka usahanya untuk mendapatkan ijazah aspal sudah bukan impian lagi. Ada gula ada semut. Dan seperti hukum simbiosis mutualisme, keduanya merasakan manfaatnya meskipun berjalan di atas rell yg keliru. 

Sayang sekali usahanya ingin mendaftar sebagai anggota DPRD harus kandas lantaran uang yang diberikan tak cukup untuk membeli perahu. Beruntung ia tidak jadi nyalon, bagaimana kalau sudah kadung nyalon apa nggak berabe itu? Memiliki pemimpin atau wakil rakyat menggunakan ijazah palsu. Boleh jadi karena efek sering makan mie instan ya? Karena setahu saya yang bersangkutan hobi sekali menikmati jenis kuliner ini.

Kasus pemalsuan ijazah penah booming sewaktu belum begitu santer aksi tangkap tangan anggota dewan yang menggunakan ijazah fiktif ini, lantaran para tokoh tersebut menganggap hanya dengan uang segalanya menjadi beres. Tapi oh ternyata, meskipun mereka berusaha menutup kasus dengan segepok uang, faktanya para pengguna ijazah palsu akhirnya tertangkap juga. Ada efek jera yang diberikan kepada para pelaku dan pengguna ijazah ini. 

Bahkan di beberapa dekade yang sudah lalu, publik sering melihat papan nama para wakil rakyat yang memiliki gelar yang teramat panjang, bahkan kalau disambung-sambung ala kereta komuter line di Jakarta.

Bagaimana tidak mengherankan, seorang wakil rakyat yang tidak pernah sekolah karena memang tak sekolah tapi karena banyaknya dukungan dan uangnya juga segunung, kog bisa-bisanya mencalonkan dirinya menjadi wakil rakyat? Aneh kan? Dan yang lebih aneh lagi, sudah tahu calon wakil rakyatnya menggunakan ijazah palsu kog masih dipilih juga? Ee belum lama berselang duduk di kursi empuk itu, tiba-tiba embel-embel di belakang namanya sudah berjejer seperti kereta api.

Saya hanya bisa membayangkan darimana mereka mendapatkan ijazah itu? Dan berapa sih uang yang mereka gelontorkan sehingga pihak perguruan tinggi bisa dengan mudahnya mengeluarkan ijazah itu? Tentu saja pertanyaan-pertanyaan ini sampai sejauh ini masih tetap menjadi pertanyaan belaka, toh faktanya fenomena pemalsuan ijazah masih kerap dilakukan. 

Pemalsuan ijazah tidak melulu pada pendidikan formal pada perguruan tinggi, karena fenomena pemalsuan ijazah pun boleh jadi dilakukan pada lembaga-lembaga non formal seperti kejar paket A, B, C atau D yang saat ini diselenggarakan untuk masyarakat yang belum melek pendidikan lantaran kondisi ekonomi dan kesempatan yang tidak mereka dapatkan.

Adapula secara terang-terangan seorang calon kepala desa meminta dibuatkan ijazah paket C karena ingin lolos dalam pencalonan. Uang sekali lagi menjadi alat paling hebat untuk mencapai ambisi kekuasaannya. Sudah tahu calonnya memakai ijazah palsu yang memilih juga mau. Dan aneh lagi pemilik yayasan penyelenggara kebetulan adalah yayasan berkedok agama, kog mau-maunya meloloskan permintaan si pemesan? Benar-benar nggak masuk di ngakal.

Siapa yang salah dalam hal ini? Apakah pemerintah selaku pemilik kebijakan kependidikan? atau pabrik mie instant yang sudah menciptakan generasi-generasi instant ini? Bahkan fenomena ini menjadi bahan sindiran, lah makanannya mie instan bagaimana gak ingin serba insant. Sekolah kepinginnya cepat lulus meski nyontek dan nyogok sekolahnya, hidup kepinginnya makmur, meski tak mau keluar keringat. Mereka mencari uang dengan melakukan kejahatan karena ingin segera hidup kaya raya. Semua diatur sesederhana mungkin agar menjadi mudah. Lagi-lagi generasi insant menjadi awal kehancuran sebuah peradaban.

Portal PUPNS, Cara jitu menjaring ijazah palsu

Beberapa bulan ini, tepatnya September pemerintah membuat kebijakan kepada pegawai negeri sipil agar mendaftar dan mengisi sederet kolom perintah di portal PUPNS. Tujuannya untuk melakukan update data dan pemetaan kepada guru-guru terkait bidang tugasnya. Tentu kebijakan ini berdampak positif bagi para abdi negara ini. Meskipun di antara mereka ada yang terlihat gagap termasuk saya sendiri lantaran sulitnya mengakses situs tersebut. Entah karena sibuknya jaringan, atau servernya yang perlu diupgrade ulang. Belum lagi guru-guru senior yang biasanya main mengupah kepada operator internet, maka keberadaan PUPNS ini cukup merepotkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun