Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wahai Orang Tua, Jangan Paksa Anak Seperti Maumu!

9 Oktober 2015   21:33 Diperbarui: 16 Oktober 2015   10:54 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kedua, Orang tua memaksa anak seperti yang mereka inginkan

Pengetahuan orang tua yang masih minim, acapkali menjadi tekanan tersendiri terhadap anak, mereka menganggap anak-anak berkebutuhan khusus ini harus diperlakukan seperti anak normal, khususnya dalam meraih masa depannya. Meskipun memiliki mimpi tidak boleh disalahkan, tapi semestinya menyesuaikan dengan kondisi anak donk. Jangan mentang-mentang orang tua seorang dokter, jadi anaknya harus menjadi dokter. Melakukan intervensi yang salah dan memaksakan anak melakukan apa yang mereka inginkan. Kalau anak mampu tidak menjadi persoalan. Bagaimana jika kondisi anak tidak memungkinkan? Tentu menjadi persoalan tersendiri.

Jadi, semestinya orang tua mesti mawas diri dan tidak memaksakan keinginannya kepada anak-anaknya. Biarkan anak menemukan dirinya sendiri sesuai bakat dan kemampuannya. Bolehlah mengarahkan, tapi jangan memaksa. Kalau memaksa sedangkan anak memiliki kelemahan bukankah orang tua justru bisa menyiksa sang anak, bukan?

Berikan intervensi yang sesuai dengan kebutuhannya, jangan memaksa yang tidak mampu mereka lakukan. Karena dengan memaksa, hakekatnya orang tua terlalu egois dan tidak sepenuhnya memahami kondisi anak mereka.

Ketiga, orang tua "enggan" menjalin komunikasi dengan gurunya

Persoalan ini pun acapkali terjadi pada orang tua anak berkebutuhan khusus. Orang tua yang tidak memahami kondisi anak ternyata tidak berusaha mengenal anak sendiri dengan bertanya pada orang-orang yang memahaminya. Paling tidak bertanya pada guru, psikolog atau pesikiater jika menyangkut kejiwaan. Kebanyakan mereka hanya mendaftarkan, mengantarkan ke sekolah, menungguh sampai pulang, dan setelah itu menunggu anak hingga dewasa.

Keengganan untuk berkomunikasi, berdiskusi dan bertanya terkait persoalan anak menjadi awal kesalahan dalam memberikan intervensi di rumah. Maka amat wajar, jika kedua orang tua di atas memperlakukan anaknya seperti anak-anak pada umumnya. Mereka tidak melihat kelemahan dan pontensi apa sih yang semestinya dikembangkan.

Dengan adanya sinergitas antara guru, orang tua, sekolah dan masyarakat, tentu saja masalah-masalah penanganan anak lambat laun dapat diselesaikan.

Ketiga hal tersebut hakekatnya hanyalah bagian terkecil yang acapkali terjadi pada orang tua dari anak berkebutuhan khusus. Namun demikian karena ketiga sebab itulah maka banyak orang tua yang frustasi dan kecewa terhadap kondisi anak-anaknya. Coba kalau mereka mau belajar memahami kondisi anak, tentulah tidak akan terjadi kekerasan terhadap anak lantaran orang tua kurang mengerti bagaimana cara mendidik anak.

Dan ingatlah bahwa Tuhan tidak memberikan beban pada suatu kaum yang mereka tidak dapat memikulnya. Dan Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika mereka tidak berusaha merubah sendiri nasib mereka (Al Qur'an)

 

Salam

Metro, 9-10-2015

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun