Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wahai Orang Tua, Jangan Paksa Anak Seperti Maumu!

9 Oktober 2015   21:33 Diperbarui: 16 Oktober 2015   10:54 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pak Mamat, menyampaikan keluhannya, ia seperti tidak bisa mendidik anak-anaknya, beliau juga menyatakan bahwa ia sudah memberikan apa yang diberikan, memarahinya kog gak berubah-ubah, bahkan pernah sang anak naik ke atap rumah dan seperti mau bunuh diri lantaran ketakutan. Saya selaku salah satu guru yang kebetulan melihat prilaku sang anak berusaha mengingatkan bahwa semua anak, baik anak tuna rungu wicara maupun anak normal, memiliki karakter yang sama, secara fisik dan psikis tidak ada bedanya, yang berbeda hanya di pendengaran dan organ pengucapan. Jadi ketika anak tidak bisa diatur, boleh jadi karena perlakuan kasar yang dialami sang ayah, apalagi sang anak masih dalam kategori pubertas. Sikap ingin dibiarkan dan ingin bebas dalam bergaul seringkali membuat orang tua pusing tujuh keliling. Padahal mengarahkan anak dalam bergaul tak mesti dengan kekerasan, karena semakin dikerasi maka prilaku anak semakin menjadi-jadi.

Apalagi anak yang memiliki kekurangan, tentu ada rasa kecewa, marah, dan ingin memberontak kenapa ia tidak bisa mendengar dan berbicara? Ia merasa berbeda dengan yang lainnya. Dalam pergaulan pun acapkali tersisih lantaran sulitnya berkomunikasi dengan anak-anak sebayanya. Oleh karena itu semestinya orang tua dan orang-orang di lingkungannya menyadari kelemahan yang dialami sang anak. Jadi tidak terjadi kesenjangan dan gap antara anak-anak berkebutuhan khusus dan anak normal pada umumnya.

Alhamdulillah, semenjak pembicaraan kami, orang tua semakin menyadari bahwa selama ini terlalu keras dalam mendidik anaknya, dan terlihat saat ini prilaku anak sudah menunjukkan proses perbaikan prilaku.

Kecenderungan orang tua tidak mau mengenal dan memahami kondisi sang anak

Melihat dua contoh yang terjadi pada kedua orang tua di atas, sebenarnya ada tiga hal yang sampai sejauh ini masih terjadi pada orang tua yang memiliki anak-anak berkebutuhan khusus. Bahkan tidak hanya anak yang membutuhkan perlakuan khusus, karena anak-anak normal lainnya pun orang tua acap kali salah memahami anak. Mereka menganggap dengan pengalaman yang dimiliki mereka bisa dengan mudah memberikan bimbingan. Dan sudah dapat ditebak, jika orang tua salah memahami anak maka sudah dapat dipastikan anak akan mengalami konflik batin dan mengalami gangguan terkait proses meraih impian-impiannya.

Ada beberapa hal yang turut memicu kesalahan dalam memahami kondisi anak.

Pertama, orang tua tidak "berusaha" mengenal sang anak secara kontinyu

Seperti anak pada umumnya, anak-anak ABK pun semestinya dipahami dengan sepenuhnya, jangan setengah-setengah. Apalagi orang tua adalah pendidikan awal sebelum orang tua memasukkannya ke dunia pendidikan formal. Bagaimana orang tua bisa mendidik, jika mereka sendiri tidak mengenal anak. Baik terkait kelemahan maupun kelebihan. Jadi secara tidak langsung orang tua pun bisa memberikan layanan yang tepat dan tidak justru memperlakukannya semau sendiri akibat ketidak pahaman mereka terhadap sang anak.

Pada umumnya masyarakat Indonesia gagap melihat kondisi anak-anaknya. Ketika sang anak memiliki kelemahan mereka tidak berusaha mencari informasi bagaimana memberikan perawatan dan layanan di rumah. Sehingga sampai saat ini saja masih ada orang tua yang justru mengurung anak mereka yang memiliki kekurangan. Bahkan beberapa orang tua dan lingkungan menyebut anak-anak berkebutuhan khusus sebagai anak gila, atau anak kutukan. Mereka malu menerima kondisi tersebut, dan sebaliknya membuang atau menyembunyikannya di kamar dan berusaha menutup diri agar orang lain tidak melihatnya. Bahkan adapula yang mengikat kaki dan menguncinya di kamar, tanpa memberikan pendidikan yang tepat. Parahnya, masyarakat di lingkungannya pun tidak memahami bagaimana memperlakukan anak-anak dengan kondisi ini, mereka melecehkan orang tuanya dan selalu saja menghina dengan hinaan yang menyakitkan. Padahal sedikit banyak pengaruh lingkungan ikut berperan dalam tumbuh kembang kepribadian dari anak berkebutuhan khusus. Lingkungan menjadi sarana untuk membantu anak berkebutuhan khusus dalam bersosialisasi dengan orang lain. (Aqila Smart: 2010)

Memiliki anak berkebutuhan khusus bukanlah aib yang mesti ditutupi dan disembunyikan selayaknya menyimpan benda yang tidak berharga, lantaran mereka malu dengan kondisi anak-anak mereka. Padahal apa yang salah dengan kelahiran anak, bukan? Anak adalah amanah dan dengan amanah itu tersirat pesan yang dalam dari Tuhan bahwa semua anak memberikan kebaikan kepada keluarganya.

Bersyukur akhir-akhir ini, semakin mudahnya masyarakat mengakses informasi dari berbagai media, orang tua semakin memahami bagaimana cara memberikan layanan di rumah, jadi tingkat kesadaran orang tua semakin tinggi. Selain itu masyarakat pun semakin memahami kondisi anak tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun