Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menumpas Mafia NPWP, Bisakah?

15 September 2015   14:56 Diperbarui: 15 September 2015   16:14 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pilkada Serentak Tanggal 9 Desember 2015. Pastikan Anda terdaftar sebagai pemilih di kota Anda"][/caption]

Beberapa hari ini alam pikiranku agak terhanyut dalam hayalan kosong, kosong karena yang ada dalam pikiranku itu sejatinya adalah milik para petinggi, tokoh-tokoh agama dan pemilik meja hijau yang notabene berkaitan dengan persoalan politik, hukum, etika maupun moral.

Persoalan politik yang semestinya bukan bagian pemikiran saya selaku masyarakat desa, tentu memikirkan hal-hal yang "ruwet" itu cukup menguras energi dan pemikiran yang tak habis-habisnya. Maklum saja, sebagai masyarakat desa, tentu tak ingin urusan yang semestinya adalah otoritas "orang gedean" atau politisi itu ternyata cukup membuat pusing tujuh keliling. Tak dipikir jadi kepikiran, gak dipikirkan setiap hari jadi omongan. Wajar, sedikit demi sedikit rambutpun mulai ada ubannya. Meskipun bukan politisi tapi gaya bicaranya ala politisi senayan.

Apalah dikata, meskipun berusaha untuk tidak membicarakan masalah yang tengah trend saat ini, faktanya saat ini saya masih menjadi salah satu penyelenggara Pilkada di kota yang saya diami ini. Kota Metro yang katanya kota kecil toto tentrem kerto raharjo, loh jinawi, subur tanahnya, indah panoramanya dan ramah tamah penghuninya. Tapi ya itu tadi, meskipun berusaha menghindar dari membicarakan persoalan yang ngetrend tersebut ternyata mau tidak mau tangan ini tak bisa diajak berunding. Kepinginnya menulis apa yang ditemui.

Apa sih yang lagi ngetren saat ini? Masalah teroris? Jatuhnya Crane di Arab Saudi? Atau pengungsi Suriah yang saat ini berlabuh di daratan Eropa mencari perlindungan diri?

Bukan, saya tidak ingin membicarakan isu politik dunia yang sejatinya lebih pantas dibicarakan oleh Menteri Luar Negeri, atau Panglima TNI karena isyunya mengarah kepada keamanan negara.

Ini beda, NPWP, yang dahulu saya kenal sebutan ini karena warga negara yang baik harus memiliki nomer identitas bagi pembayar pajak untuk negara. Gak kaya atau miskin "semestinya" memiliki nomor ini lantaran harus mengiur kepada negara atas hasil usaha yang dijalankan. Tapi NPWP ternyata beralih makna menjadi Nomor Piro Wani Piro, jika diterjemahkan dalam bahasa Jerman artinya Nomor Berapa Berani Berapa?

Walah, apa lagi ini? kog bahasanya sudah tawar menawar begini? Apakah ini jual beli daster? Atau pakaian bekas? Kog bisa-bisanya Nomor Pokok Wajib Pajak beralih rupa menjadi bahasa transaksi yang "katanya" berkaitan dengan transaksi keuangan ala para politisi. Ketika rakyat ingin memilih, maka rakyat menentukan tarifnya.

Layaklah sebuah transaksi yang benar-benar sudah dianggap legal, padahal ini ilegal, benar-benar transaksi yang diluar nalar apalagi hati nurani. Tapi, sebenarnya siapa sih yang mula-mula mengeluarkan statement atau istilah ini di dunia perpolitikan di negeri ini?

Setelah saya runut-runut ternyata tidak ada jawaban pasti. Namun yang menjadi persoalan apakah istilah ini merupakan penawaran rakyat sendiri agar suara mereka "dibayar" dengan beberapa lembar uang? Atau murni inisiatif para politisi yang ingin menjaring suara dengan cara menggunakan istilah agar terlihat sah-sah saja? Entahlah, saya kurang bisa memahami bahasa politik seperti ini.

Namun, fenomena ini cukup membuat miris dan mengkhawatirkan di dalam sistem perpolitikan di negeri ini. Jika setiap ajang pesta demokrasi selalu muncul istilah NPWP, walah tentu yang bisa memenangkan konstelasi politik adalah para pengusaha kaya, politisi yang sudah berkuasa atau pemilik warisan trilyunan karena mereka bisa mengolah hartanya itu untuk menjaring suara.

Saya sempat ragu dengan fenomena NPWP ini, tapi ketika beberapa orang yang saya temui selalu mengatakan "Nek pengen dipilih yo wani piro ndisek?" artinya (Kalau mau dipilih berani berapa dulu?) Dan ada juga yang memberikan pernyataan "Walah mas, jaman saiki kabeh ki nggo duwet (Jaman sekarang semua serba uang). Bahkan sewaktu saya menjalankan tugas sebagai salah satu penyelenggara salah satu warga dengan ketus dan menembak saya dengan kata-kata yang sifatnya materi "Mas enek duite nggak?. Padahal kala itu saya tengah melakukan tugas sebagai anggota PPS, tugas memverifikasi balon walikota dan wakil walikota independen terkait dukungan masyarakat bawah. Saya hanya bisa menjawab "maaf pak, saya hanya anggota PPS, jadi saya netral. Dan di sini saya hanya menanyakan perihal dukungan atau tidak mendukung dari calon ini. Itu saja pak.

Setelah saya jelaskan seperti itu, beberapa masyarakat pun menyadari bahwa saya dan teman-teman lain yang bertugas hakekatnya bukanlah tim sukses dari calon yang hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah.

Dari pernyataan yang menyedak leher saya ini pun mungkin banyak terjadi di wilayah lain, selama ini masyarakat sudah banyak yang terbuai dengan yang namanya politik uang atau istilahnya money politic. Mereka menggunakan uang sebagai alat untuk memperoleh suara dan kemenangan. Rakyat dibayar (dibeli) dengan lembaran rupiah dan janji-janji muluk agar bisa melaju menjadi kepala daerah. Meskipun tidak melulu berbentuk uang lantaran saat ini sudah banyak yang diganti dengan aneka barang atau cendera mata. Misalnya sarung, peci, jilbab, atau sembako yang tentu saja kaum ibu sangat menyukai jika mendapatkan bingkisan kresek penuh dengan kebutuhan dapur.

Seketika itu mereka suka dan bahagia seperti mendapati lebaran tiba, tapi tidak berpikir kemudian apa yang terjadi jika suara mereka sudah dibeli. Jangan berharap mendapatkan pemimpin yang amanah, jika mereka dibayar dulu agar mau memilih. Otomatis pilihan mereka bukanlah orang yang memiliki jiwa kepemimpinan dan integritas yang baik tapi semata-mata karena uangnya. Bahkan yang aneh lagi, meskipun musim pilpres kemarin sudah banyak yang (mengaku) mendapatkan angpau, faktanya sampai detik ini modus menjaring suara dengan cara curang ini masih banyak terjadi.

Jika NPWP Terus Menggurita Siapa yang salah?

Fenomena NPWP hakekatnya bukan masalah yang baru-baru ini saja terjadi, karena berdasarkan pernyataan masyarakat tersebut, jelas terdengar bahwa mereka benar-benar "menikmati" uang yang berasal dari calon-calon kepala daerah. Apakah rakyat salah? Atau calon pemimpinnya yang salah? Mana mungkin ada yang mau disalahkan. Karena seperti prinsip dagang, ada uang ada barang. Ada uang ada coblosan. Begitulah kira-kira. Hakekatnya semua adalah kesalahan kita sebagai bangsa Indonesia. Kita sudah terbiasa dengan istilah uang tips, jika dengan uang tips (uang pelicin) maka urusan bisa selesai.

Padahal karakter permainan uang itu justru menjadi racun di tengah-tengah masyarakat kita. Kita selalu terbiasa membiarkan persoalan politik hanya milik para politisi saja. Padahal rakyat perlu tahu bahwa politik dan aspek yang menyertainya akan berdampak pada kondisi negara ini ke depannya. Rakyat sendiri selaku pemilik negeri ini. 

Kita jangan menutup mata, jika serangan fajar tiba-tiba menyerang rumah kita, atau tetangga kita. Karena hal yang sepertinya enak ini, justru akan menjerumuskan masyarakat sendiri ke lembah kehancuran. Rakyat kurang mengerti bahwa suara mereka telah dibeli, jadi tak sepantasnya menuntut pemimpin negeri melakukan yang terbaik. Dan dampaknya lagi, jika polemik NPWP menjadi tradisi dan dianggap legal, tentu dampaknya tidak akan ada lagi calon pemimpin baik yang bisa memenangkan kontestasi politik. Sebelum mereka menang bertanding, mereka akan mundur teratur akibat suara rakyat sudah dibungkam dengan lembaran uang.

Sebagai penutup tulisan ini, hakekatnya polemik NPWP bisa saja hanya sebatas polemik jika rakyat "ogah" menerima uang sogokan tersebut. Rakyat akan tahu bahwa ada kerugian besar jika mereka memilih hanya karena lembaran uang. Seandainya saat ini diterima, tentu dampaknya lima tahun ke depan mereka akan mendapatkan getahnya. Dan para calon pemimpin ini, tentu akan berpikir dua kali untuk mencalonkan diri, jika mereka tidak diawali dari integritas diri maka jangan berharap rakyat akan memilih mereka. Jangan memilih, melirik gambarnya pun rasanya tidak mungkin lagi. Paling tidak kita berusaha untuk tidak menerima uang tersebut, jika kita ingin negeri ini bangkit dari keterpurukan.

Ingat Pilkada Serentak dilaksanakan tanggal 9 Desember 2015!

Mari kita sukseskan hajat demokrasi ini dengan memilih dan menjadi bagian demokrasi di negeri ini. Pastikan Nama Anda tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap di Kota Anda!

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun