Boleh jadi di antara para pejabat di senayan adalah anak petani seperti yang kini duduk di kursi empuk itu. Tapi mereka lupa dari mana mereka berasal. Mereka hakekatnya terlahir dari rahimnya orang kampung, boleh jadi nama ibunya Tugiyem, atau Sumini, karena nama-nama itu identik dengan masyarakat Jawa yang dianggap kampungan itu. Atau desa-desa lain di pelosok negeri yang telah melahirkan generasi hebat yang kini duduk di kursi  mahal itu. Tapi, apakah mereka pantas melupakan? Dan menganggap keluarganya sudah tidak ada lagi demi menutupi latar belakang sendiri dan merasa "malu" mengakui bahwa mereka dari desa atau kampung?
Orang kampung memang diidentikkan dengan kampungan, apalagi jika bergaul di kota selalu mendapatkan stempel ndeso, kuno atau kolot. Padahal orang-orang kampung sejatinya banyak yang menikmati kebahagiaan meskipun sederhana. Tak nampak raut muka sedih meski air sumur di kampung sudah mengering dan padi-padi atau singkong yang mesti dipanen harus gagal panen. Mereka tak mau menunjukkan wajah sedih itu tapi orang lain yang biasanya hanya "mbatin" alangkan sedihnya keluarga itu lantaran padinya gagal panen.
Selain mereka tak mau menunjukkan kesedihan, ternyata kehidupan mereka lebih beradab dengan tidak menontonkan kemewahan meskipun semu. Mewah tapi kehidupan berantakan. Yang lebih parah lagi, jika kemewahan itu mengantarkan mereka ke balik jeruji besi karena tersangkut korupsi misalnya.
Prihatin sekali kehidupan orang-orang kota itu, sedetikpun raut muka bahagia tak terlihat. Hanya kepanikan dan kesedihan lantaran kehidupannya dipenuhi persoalan hukum yang tak juga surut.
Orang kampung berpikirnya lebih sederhana bagaimana bisa mendapatkan rezeki yang halal. Sedikit tapi berkah dan bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi mereka bisa tertidur lelap, bebas tanpa rasa takut tersangkut hukum.
Berbeda dengan masyarakat perkotaan, kehidupan mereka seringkali dipenuhi persoalan yang selalu menghantui dan menjerat kehidupan mereka. Â
Saya orang kampung, meskipun saat ini tinggal di Kota, meskipun kota jadi-jadian karena masih banyak yang hidupnya jadi petani. Bahagianya jadi orang kampung (an) .. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H