Heeem panas-panas begini enakan makan apa ya bro? Kata sahabatku yang lumayan perlente lantaran sudah lama tinggal di kota. Aku hanya mesam-mesem lantaran melihat gaya sahabat yang sudah berubah drastis. Ia yang biasanya kalau bertandang ke rumah bilangnya "kang atau mas" kini sudah berganti "bro". Begitu pula jika berbicara dengan saudara perempuanku ia tak merubah gaya bicaranya yang kekota-kotaan itu. Sis mau minum apaan? Gue yang mbayarin. Mendengar perkataan sahabat satu ini kadang perut saya mules dan ingin terkentut-kentut lantaran perubahan yang drastis itu.Â
Wes to... nggak usah nganggo bahasa planet laen ngono, nyelok aku cukop jenengku opo liane ora seng aneh-aneh. Sudah lah, tidak usah menggunakan bahasa planet begitu, memanggilku cukup nama jangan yang aneh-aneh. Kataku jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Maklum di manapun berada, bahasa Jawa selalu menjadi bahasa pergaulan jika sahabat-sahabatku orang Jawa, tapi kalau ketemu sama penduduk pribumi (Lampung) tentu saya memakai bahasa Indonesia. Bahkan di antara mereka banyak yang sudah menguasai bahasa Jawa. Jadi obrolan mengalir lancar saja.
Ada juga yang aneh lagi, yang biasanya kalau sekolah jalan kaki atau naik sepeda, kini yang diomongin pastilah "ntar kita walking-walking make honda jazz ya bro" padahal punyanya ya motor saja. Apalagi kalau disuruh naik sepeda pastilah jawabannya "walah hari gini make sepeda butut kayak begitu? Kakiku pastilah lecet semua dan lututku copot.
Sebutan yang tadinya nyaman dengan panggilan mas, kang atau nama saja kini berubah menjadi sangat aneh. Meskipun terlihat seperti kalangan atas (elit) tapi tak sesuai dengan kebiasaan sehari-hari. Saya pikir ini orang apa sudah kerasukan jin Jakarta ya? Kog di kampung berubah total begini?
Itulah kesan yang saya tangkap saat ini ketika berjumpa dengan teman-teman yang dulunya bisa ngopi bareng, tidur beralaskan tikar sewaktu kuliah, atau sekolah berjalan kaki, ternyata kini tinggal kenangan. Mereka yang dulunya di kampung bersama keluarga sudah terbiasa makan "sego tiwul" atau bahan makanan dari singkong ini, kini gaya bicaranya seperti masyarakat yang terbiasa makan roti sama keju. Tak ingat lagi kalau pernah makan sepiring berdua waktu di kos-kosan, atau pernah numpang tidur di markas organisasi bersama. Apalagi kalau ditanya terkait anggota keluarganya yang di kampung, tentu jawabnya ketus "dah nggak usah ngomongin yang di kampung, males". Loh kog bisa, keluarga sendiri dilupakan demi pencitraan. Seolah-olah ia bukanlah keturunan orang desa, atau anak kampung (an), lupa bahwa ia pernah menikmati kehidupan bersama penduduk desa yang polos dan apa adanya. Kini berubah dan lupa diri, lupa daratan.
Lama tinggal di Kota, lupa yang di kampung
Fenomena anak-anak muda saat ini memang cukup menggelikan, karena pengaruh media informasi dan pergaulan yang berubah, pola komunikasi juga tak luput dari perubahan itu. Semua mengalir saja seperti tak lagi bisa direm. Media informasi, termasuk media sosial juga mempengaruhi gaya hidup. Tapi sayang sekali, di antara mereka telah lupa bahwa mereka dilahirkan di kalangan kaum miskin dan awam, lantaran memang tinggalnya di desa. Setelah mereka di kota, mereka lupa bahwa ia harus memikirkan kampung sendiri agar kampungnya dikembangkan lagi dan dibudidayakan agar semakin maju.
Dan lebih prihatin lagi, ketika ditanya dimana tinggalmu mas? ia selalu menjawab "jauh kog mas" nama kampungnya apa? jawabnya sekenanya. Ia berusaha berkelit dan berusaha menutupi identitas pribadinya sendiri yang notabene lahir dari masyarakat kampung.
Tapi memang, kapasitas seseorang tidak semuanya sama, tergantung pribadi masing-masing lantaran juga dipengaruhi oleh keluarga mereka bagaimana mereka bersikap.
Yang aneh lagi, meskipun mereka berasal dari kampung, karena lama menetap di kota gaya bicaranya sudah yang "gede-gede" tak cocok lagi jika diajak bicara mengenai persoalan petani, kebun, singkong, sawit atau persoalan di kampung. Mereka "emoh" membicarakan itu lantaran dianggap kampungan.
Anda orang Kampung, Jangan Malu disebut Kampungan
Boleh jadi di antara para pejabat di senayan adalah anak petani seperti yang kini duduk di kursi empuk itu. Tapi mereka lupa dari mana mereka berasal. Mereka hakekatnya terlahir dari rahimnya orang kampung, boleh jadi nama ibunya Tugiyem, atau Sumini, karena nama-nama itu identik dengan masyarakat Jawa yang dianggap kampungan itu. Atau desa-desa lain di pelosok negeri yang telah melahirkan generasi hebat yang kini duduk di kursi  mahal itu. Tapi, apakah mereka pantas melupakan? Dan menganggap keluarganya sudah tidak ada lagi demi menutupi latar belakang sendiri dan merasa "malu" mengakui bahwa mereka dari desa atau kampung?
Orang kampung memang diidentikkan dengan kampungan, apalagi jika bergaul di kota selalu mendapatkan stempel ndeso, kuno atau kolot. Padahal orang-orang kampung sejatinya banyak yang menikmati kebahagiaan meskipun sederhana. Tak nampak raut muka sedih meski air sumur di kampung sudah mengering dan padi-padi atau singkong yang mesti dipanen harus gagal panen. Mereka tak mau menunjukkan wajah sedih itu tapi orang lain yang biasanya hanya "mbatin" alangkan sedihnya keluarga itu lantaran padinya gagal panen.
Selain mereka tak mau menunjukkan kesedihan, ternyata kehidupan mereka lebih beradab dengan tidak menontonkan kemewahan meskipun semu. Mewah tapi kehidupan berantakan. Yang lebih parah lagi, jika kemewahan itu mengantarkan mereka ke balik jeruji besi karena tersangkut korupsi misalnya.
Prihatin sekali kehidupan orang-orang kota itu, sedetikpun raut muka bahagia tak terlihat. Hanya kepanikan dan kesedihan lantaran kehidupannya dipenuhi persoalan hukum yang tak juga surut.
Orang kampung berpikirnya lebih sederhana bagaimana bisa mendapatkan rezeki yang halal. Sedikit tapi berkah dan bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi mereka bisa tertidur lelap, bebas tanpa rasa takut tersangkut hukum.
Berbeda dengan masyarakat perkotaan, kehidupan mereka seringkali dipenuhi persoalan yang selalu menghantui dan menjerat kehidupan mereka. Â
Saya orang kampung, meskipun saat ini tinggal di Kota, meskipun kota jadi-jadian karena masih banyak yang hidupnya jadi petani. Bahagianya jadi orang kampung (an) .. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H