Jangan dikira aku bahagia berlumuran darah
tatkala peluru hitam itu merobek dadamu
kau tahu aku ragu melihatmu merajuk
dalam amarah kelam semburat ngilu batinmu
...............
jangan dikira jiwaku tertawa menatapmu
tergolek lemah tak berdaya mati membisu
kucuran darah merah basahi kalbuku
bukanlah aku pembunuh jiwa mengharu biru
.......................
Ku tatap pelatukku dan gelapnya dadamu
bak api membakar noktah dan nafsu
sejurus tampak pucat, sedih, sembab penuh haru
harap cemas menanti tajamnya waktu
............................
Jangan dikira ku tak tahu sedihnya kamu
melolong dalam tangis di lubuk hatiku
meratap sedih harap empati
gagalkan eksekusi demi nurani
......................
Tapi..
Bukankah nuranimu terlepas dari dadamu
hanyut dalam larutan darah dan air mata korbanmu
menggeliat bersimbah darah
terkubur dalam bersama mimpi semu?
..............................
Tak mudah ku silapkan mata ini
melihat mata sedih dekati ajal menanti
berharap iba dan kasihani
di tangan sepucuk senjata api
...................................
Aku laksana malaikal maut
mencerabut jiwa kelam nan penakut
mengiris dada meski kadang kalut
takut salah Tuhan menuntut
.................................
Tapi...
Itu bukan tangisku atau tangismu
semata-mata nurani hamba yang berlalu
terjebak mati jadi bangkai tak berlaku
sebab narkoba hamba terbunuh beribu-ribu
....................................
Tuhanku Yang Pengampun
Doaku tak lekang dalam harapku
tuk ampunanMu pada hambaMu
hamba-hamba tersesat berdada sendu
************
Metro, 01/05/2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H