Ada yang menarik sekaligus membuat miris tatkala para politisi selalu membuat statement yang cenderung memunculkan stigma negatif bahwa hakekatnya bencana itu berasal dari masyarakat miskin. Statement inilah yang seringkali membuat fikiran saya berputar-putar sekaligus membuat hati saya turut menolak dan membantah pernyataan ini.
Selain sebuah statemen negatif yang dicitrakan pada kaum miskin, kaum urban miskin selalu mendapatkan stempel pembawa bencana lantaran selalu membuat sampah-sampah berserakan dan tidak membuangnya pada tempat yang semestinya.
Lain dari itu, masyarakat miskin senantiasa diibaratkan sampah yang musti disingkirkan lantaran keberadaannya selalu membuat orang-orang kaya menjadi terganggu padahal setiap orang bukanlah pengganggu akan tetapi karena sebab dan musabab lain yang turut memicu keberadaan masyarakat miskin dianggap sebagai "pembawa musibah" karena selalu membuang sampah sembarangan dan dianggap pula sebagai "pembawa sial" karena keberadaannya mengganggu lalu lintas di jalan raya. Meskipun keberadaan mereka di tempat tertentu adalah efek dari ketiadaan tempat yang dapat mereka tempat secara layak.
Sehingga dengan stigma negatif kontra produktif tersebut menjadikan masyarakat semakin jengah dengan keadaan. Pasalnya suara-suara mereka kurang didengar tapi mereka selalu disalahkan dan dianggap pembuat bencana.
Padahal hakekatnya setiap bencana itu tidak datang sendirinya. Tidak hanya milik kaum miskin saja yang menjadi penyebab timbulnya bencana seperti banjir. Karena media akhir-akhir ini selalu menyudutkan bahwa letak kesalahan ada masyarakat kecil saja, yaitu karena mereka hidup di bantaran kali dan tidak membuang sampah pada tempatnya.
Akan tetapi sebelum menanggapi stempel yang menganggap kaum miskin sebagai penyebab bencana, mesti kita urai satu persatu duduk persoalannya.
Pertama, kaum miskin hakekatnya mereka adalah masyarakat yang menurut apa kata pemerintah. Mereka tidak pernah melawan jika pemerintah memberikan kebijakan tertentu yang bermanfaat untuk masyarakat banyak. Akan tetapi kaum miskin inipun hakekatnya memiliki kepentingan dan persoalan hidup yang juga semestinya ikut dicarikan solusinya.
Pernyataan ini dapat saya contohkan beberapa kasus besar bagi masyarakat miskin tapi dianggap kecil bagi pemerintah dan pengusaha. Seperti pembuatan jalur lintas timur Sumatera beberapa waktu lalu, di mana jalur lintas timur itu banyak menerjang tanah-tanah penduduk tanpa mendapatkan ganti rugi sepeserpun. Andaikan mendapatkan ganti rugi itupun tidak semuanya dibayarkan secara patut. Karena sebab inilah banyak pemilik tanah yang kehilangan tanahnya tanpa mendapatkan pergantian dari pemerintah padahal tanah itulah satu-satunya tempat mereka mencari penghasilan. Bagaimana mungkin seseorang yang memiliki logika akan menerima begitu saja tanahnya diambil untuk membuat jalan sedangkan hak-hak mereka atas tanah tersebut tidak dipenuhi? Tentunya kita semua akan menentang. Jika kaum cerdik pandai kiranya dapat menempuh jalur hukum. Tapi, bagaimana dengan kaum miskin? Sepertinya hanya berteriak-teriak tapi tak pernah ditanggapi.
Contoh kasus besar tapi dianggap kecil adalah ketika masyarakat harus meninggalkan tempat tinggalnya di bantaran kali seperti masyarakat Jakarta. Padahal tempat tinggal tersebut sah milik mereka dan mereka menempatinya selama bertahun-tahun dan taat membayar pajak. Memang sih, apa yang dilakukan masyarakat ini mengganggu jalur sungai yang menjadi saluran primer air. Akan tetapi, mengapa ketegasan untuk memindahkan mereka tidak sedari dahulu tatkala harga tanah-tanah di Jakarta masih murah? Atau tegas memberikan sanksi kepada siapapun yang merusak wilayah perairan termasuk sungai. Tidak menutup kemungkinan menindak tegas pengusaha yang membuat tempat usaha di daerah sepanjang bantaran kali dan di wilayah resapan air.
Karena sampai saat inipun gedung-gedung mewah di Jakarta telah merusak area hijau yang seharusnya dibiarkan menghijau sebagai tempat resapan air. Namun lagi-lagi pemerintah kurang adil. Di satu sisi mereka tegas pada masyarakat miskin tapi begitu lembutnya menindak pengusaha kaya yang merusak wilayah terbuka hijau yang semestinya diperuntukkan untuk resapan air dan penyedia oksigen bagi masyarakatnya.
Persoalan kedua adalah, memang benar masyarakat yang direlokasi sudah mendapatkan tempat di rusun namun seperti yang dikeluhkan para penghuninya mereka akan sulit mencari penghasilan dan penghidupan selama mereka tinggal di tempat tersebut. Secara tidak langsung kebijakan merelokasi tanpa mereka mendapatkan kesempatan memperoleh tempat usaha sudah tentu membunuh penghuninya secara pelan-pelan. Lain persoalan jika para penghuni barut tersebut mendapatkan tempat usaha yang layak bagi kehidupan mereka.
Lalu, bagaimana dengan pengusaha properti? Mereka begitu mudahnya mendapatkan izin pendirian bangunan meskipun bangunan mereka akan menutup sungai dan aliran-aliran air lainnya. Padahal ketika sungai-sungai ditimbun dan dipersempit karena proyek pembangunan tersebut maka sama halnya dengan mereka membangun tapi melakukan pengrusakan secara sistematis terhadap keberadaan saluran air yang semestinya tidak diganggu.
Selain persoalan digunakannya bantaran sungai untuk tempat tinggal, adalah masih ada saja masyarakat yang membuang sampah di sungai. Tentu saja siapa saja sepakat bahwa prilaku tidak patut ini tidak perlu mendapatkan pembelaan dari siapa saja. Karena memang apa yang mereka lakukan harus mendapatkan sanksi. Namun, persoalannya adalah ketika masyarakat harus mengeluhkan biaya pemungutan sampah oleh pemerintah karena sudah tentu mereka harus menganggarkannya setiap bulan. Padahal sejatinya pemerintah melalui keuangan negara yang digelontorkan untuk proyek penanganan sampah sudah cukup untuk biaya operasional kendaraan pemungut sampah dan pengolahannya di TPA. Sehingga masyarakat tak perlu lagi dibebani dengan biaya-biaya berkaitan dengan sampah.
Boleh saja bagi masyarakat golongan menengah ke atas, tapi golongan miskin tentu beban biaya pembuangan sampah tetap menjadi persoalan. Wajar jika masyarakat miskin juga merasa dibebani dengan seabrek biaya-biaya yang memberatkan. Yang aneh lagi tatkala sampah-sampah sudah dikumpulkan di TPA ternyata juga tidak ditangani secara profesional. Maka wajar pula jika dimusim banjir seperti saat ini sampah-sampah tersebut ikut terbawa arus banjir dan kembali ke perkampungan penduduk.
Persoalan lainnya adalah persoalan kemacetan Jakarta selalu masyarakat kecil yang menjadi akar masalahnya. Karena keberadaan parkir-parkir liar di sepanjang jalan. Namun sekali lagi pemerintah kurang tanggap dan responsif terhadap kebutuhan parkir yang semestinya dipersiapkan pemerintah selaku pemegang kebijakan tata kota. Wajar saja ada banyak parkir liar di sepanjang jalan karena tidak adanya lahan parkir yang mereka gunakan. Jika ada lahan parkir tapi tidak dapat menampung semua kendaraan yang hendak menggunakan layanan ini.
Bagaimana dengan keberadaan mobil yang selalu bertambah? apakah pemerintah tegas membatasi jumlah kendaraan mewah milik orang kaya ini? faktanya sampai saat inipun jalan-jalan semakin sesak dan kemacetan semakin parah. Namun sayang sekali masyarakat miskinlah yang selalu dianggap sebagai "pembawa sial" padahal siapapun masyarakat di negeri ini berhak mendapatkan pelayanan yang baik dalam setiap aspek kehidupan sosial mereka.
Dan masih banyak lagi bentuk ketidak adilan pemerintah terhadap wong cilik dengan kebijakan yang selalu menguntungkan masyarakat kelas atas. Sehingga sepatutnya slogan pembuat bencana tidak sepatutnya ditujukan pada masyarakat miskin tapi justru para pengusaha kaya dan kaum elit yang sepertinya mendapatkan kartu as dan kebebasan untuk melakukan usaha dan tinggal di sepanjang wilayah Jakarta tanpa mempertimbangkan kelestarian alam. Kalau sudah demikian lalu apa kata dunia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H