Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berbeda Pendapat, Ciri Awal Masyarakat yang Cerdas

27 Desember 2013   14:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:26 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Berbeda Pendapat, Ciri Awal Masyarakat Yang Cerdas

Siapapun mereka ketika berhadapan dengan sebuah ide, gagasan atau pendapat sepertinya selalu berbenturan dengan banyak kepentingan. Baik kepentingan yang berkaitan kelompok lain yang tak sepaham, kelompok sendiri yang turut tidak menerima pendapat kita, atau justru kita sendiri yang hakekatnya telah mengalami pertentangan ide dan fakta yang selalu menggerus nilai-nilai kejujuran hati nurani. Sehingga ada banyak orang yang melakukan debat secara terbuka (diawali oleh debatnya para kusir) kemudian semakin menjurus pada hal-hal yang bersifat tendensius, memancing konflik yang sejatinya tidak perlu terjadi.

Selain perdebatan yang sejatinya diawali dengan niat yang positif, kemudian dengan ditengahi oleh pola berfikir yang dewasa yang menghargai setiap perbedaan, sehingga tidak ada celah sedikitpun untuk mencela pendapat orang yang berbeda dengan kita. Nah, ketika setiap orang yang berdebat ternyata memiliki pola pikiryang terbuka(tidak jumud) sejatinya dalam perdebatan itu akan melahirkan banyak ide, penemuan baru dan terbukanya pengetahuan yang selama ini dianggap sebagai pendapat akhir yang ternyata ketika ditinjau dari banyak sisi ternyata ada pula ide kita yang sejatinya patut untuk ditelaah kembali kepatutan dan kebenaran. Tidak hanya patut dan benarnya akan tetapi jauh dari kesan memaksa untuk patut dan memaksa untuk benar dengan alasan egosentrisme yang semakin menyeruak dari dalam hati pelakunya.

Dapat pula diilustrikan bahwa perdebatan itu justru membuka cakrawala kita yang kemungkinan amat terbatas lantaran sedikitnya referensi dan latar belakang dimiliki. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa siapapun yang berpendapat dan bersikukuh dalam pendapatnya sejatinya mereka memiliki kesalahan dan kelemahan dan sepatutnya harus terbuka menerima setiap masukan dan menerima pendapat orang lain dengan cara yang arif dan bijaksana.

Akan tetapi justru akan menjadi bumerang jika dua orang atau banyak orang yang melakukan perdebatan dan bersikukuh bahwa pendapatnya benar, ternyata tidak disertai oleh dalil-dalil yang mendukung sehingga siapapun yang memiliki ide atau justru menggulingkan sebuah ide sejatinya sama-sama sebuah kebodohan. Ibarat seekor kelelawar yang mencari keberadaan serangga malam di siang hari. Aneh dan tidak patut.

Namun demikian, siapapun orangnya dan dari manapun latarbelakang orang-orang yang memiliki pendapat jangan pernah melupakan hakekat manusia adalah insan yang lemah dan terbatas. Sehingga tak pantas pula memaksakan ide dan gagasannya kepada orang lain sedangkan dirinya tak memiliki cukup pengetahuan untuk memahami sebuah ide yang dilontarkan. Bukannya mendapatkan petunjuk yang terang benderang, justru akan berakibat fatal. Keduanya akan berada dalam sebuah kesesatan berfikir dan hanya mengandalkan logika sedangkan ada banyak sumber yang semestinya dapat dijadikan pertimbangan.

Berbeda pendapat ciri awal masyarakat yang cerdas.

Jaman dahulu, tatkala bangsa Indonesia tengah berada dalam hegemoni kekuasaan kerajaan, tidak ada satupun rakyatnya yang berani menyampaikan pendapatnya, maka pantas saja seorang raja dapat mengatur bawahannya tanpa ada satupun rakyatnya yang berani menentang atau paling tidak memberikan masukan penting. Karena sebab egoisme raja-raja itulah maka kekuasaan mereka bersifat absolut dan keputusan mereka dianggap paling benar. Sehingga wajar saja ada banyak orang terbunuh lantaran mereka menentang pendapat raja dan menganggap apa yang disampaikan raja sebuah kebenaran mutlak. Bahkan di antara para raja tersebut ada yang menyebut dirinya sebagai Tuhan, Fir’aun mungkin pantas menjadi contoh tersebut dan beberapa raja lain di seantero dunia yang harus mengekskusi rakyatnya lantaran pendapatnya yang ditentang.

Tidak hanya sampai di situ, pada saat Indonesia masih di bawah bayang-bayang ordebaru, tidak ada satupun orang yang berani menentang apa perintah presiden. Semua kebijakan pemerintah dianggap benar dan siapapun yang menentang alamat akan dipenjarakan, disiksa bahkan harus kehilangan nyawa. Sebut saja beberapa orang yang harus kehilangan nyawanya ketika rezim Soeharto masih cukup kuat mencengkeram negeri ini. Tidak hanya aktifis politik, aktifis mahasiswa yang dianggap berseberangan pendapat langsung ditangkap, dan ada pula yang berakhir pada kematian.

Seperti insiden Nipah beberapa tahun yang silam tepatnya 25 September 1993 di mana para petani melakukan unjukrasa di desa Planggaran Barat, Kecamatan Banyu Ates, Kabupaten Sampang, Jawa Timur yang harus merenggang nyawa lantaran terkena timah aparat lantaran para petani tersebut tidak mau mengukur tanahnya dan tidak bersedia tanahnya dijadikan waduk. Tindakan brutal atas sebuah pemaksaan pendapat dan ide yang seringkali tidak mempertimbangkan banyak sisi.

Sebuah reaksi brutal yang dilakukan aparat waktu itu yang sama sekali tidak mau menerima kebebasan pendapat dan tidak menerima ide-ide atau menolak perintah dari pemerintah. Dengan alasan meski tanah mereka akan dijadikan waduk ternyata resikonya tanah mereka tidak akan mendapatkan ganti rugi.

Dan ada banyak insiden yang harus memberangus kebebasan berpendapat dan menyampaikan gagasannya namun harus berakhir tragis. Serta sederet kasus yang harus dialami para mahasiswa pendukung demokrasi yang turut pula kehilangan nyawanya.

Lain dari kasus penentangan ide-ide dan gagasan orang lain serta kebebasan orang dalam berpendapat, sejatinya semakin banyak orang yang mampu menelurkan ide-ide konstruktif dan brilian sejatinya lambat laun melahirkan generasi yang cerdas, terbuka serta memiliki keinginnan untuk berfikir dan menelurkan ide-ide kreatif yang bermanfaat. Berbeda halnya jika para generasi muda hanya jumud, taklid buta tanpa membaca, menelaah, mengkaji dan merenungi hakekat yang kini telah dipahami. Mereka hanya mengikuti apapun yang diberikan pada mereka, entah benar atau salah tanpa koreksi mereka langsung mengiyakan.

Tapi apakah setiap orang harus berdebat demi sebuah pendapat dan ide? Sepertinya hal ini tidak menjadi keharusan. Lantaran ada di antara orang yang memiliki ide yang hakekatnya mereka tidak memiliki kedalaman ilmu yang memadai dan bahkan sama sekali tidak menguasai kajiannya secara spesifik. Sehingga diakibatkan siapa saja yang menelurkan sebuah ide atau gagasan maka apa yang disampaikan terkesan “ngawur” atau asal “njeplak” sehingga yang terjadi semua yang dikatakannya diluar nalar dan diluar konsep baku yang semestinya mereka pahami proses belajar yang kontinyu.

Berdebat membutuhkan kedalaman ilmu, tidak hanya semata-mata ingin menang dan menundukkan lawannya. Akan tetapi semata-mata justru untuk menemukan sebuah kebenaran yang hakiki di luar konteks ogoisme pribadi.

Ketika seseorang siap berpendapat, sejatinya mereka sudah mempersiapkan seperangkat argumen dan alasan serta dasar-dasar yang sudah matang sehingga ketika perbedaan berlangsung tidak ada salah satu pihak yang dianggap menang atau dianggap kalah karena semuanya memiliki dasar-dasar argumen atau dalil yang saling menguatkan.

Semakin banyak orang yang berbeda pendapat, justru akan melahirkan karya yang fenomenal, dengan konseksuensi siapapun yang dinyatakan gagasan atau idenya lemah maka dia harus mengakui kesalahan tanpa menyimpan dendam kesumat karena semua hasil debat merupakan hasil bersama atas dasar kebenaran baku yang dapat dipertanggung jawabkan.

Sikap seseorang yang hendak berdebat

Saya teringat sebuah pesan moral, kebetulan pesan ini diberikan oleh seorang jamaah haji yang merasa mendapatkan ilham tatkala mencium hajar aswad. Dua pesan moral yang disampaikan adalah”

1.Jangan mencari pembenaran, tapi carilah kebenaran. Tapi meskipun kita menemukan kebenaran maka sadarlah bahwa hakekatnya setiap manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan kesalahan.

Siapun yang berbeda pendapat selalu mengatakan apa yang dia katakan adalah sebuah kebenaran. Tapi apakah dengan mengakui bahwa pendapatnya benar dianggap salah? Tentu saja tidak, karena siapapun juga tatkala menemukan kebenaran hakiki bukan berdasarkan logika dan penilaian subyektif sejatinya mereka telah mendapatkan kebenaran itu. Tanpa memaksa orang lain menerima pendapat kita karena boleh jadi siapapun kita yang mengatakan mereka benar sejatinya kemungkinan terdapat kesalahan di luar jangkauan kemampuan manusia.

Sehingga tak pantas pula, seseorang memaksa keyakinan dan kebenaran yang dianggap “benar” tatkala di lain pihak apa yang mereka katakan juga “benar”. Meskipun tetap ada satu keberan sejati yang tidak dapat diungkit-ungkit. Namun dengan menyadari bahwa manusia teramat lemah untuk menganggap dirinya paling benar adalah usaha yang cukup beradab, bertanggung jawab dan pantas diacungi jempol. Karena ada satu kebenaran sejati yang sejatinya tidak dapat dicerna dan dipikirkan oleh manusia biasa.

2.Janganlah membenci seseorang karena keburukannya karena ketahuilah bahwa ada banyak sisi kebaikan dari dalam dirinya.

Tatkala kita merasa apa yang kita pahami adalah benar, tak jarang kita langsung mengatakan orang lain “maaf” Bodoh, dungu atau lola. Padahal ketika kita menganggap diri kita paling benar hakekatnya kita juga termasuk manusia-manusia yang “bodoh” tersebut. Kembali pada konsepsi di atas tidak ada manusia yang sempurna yang dapat menangkap sebuah kebenaran kecuali apa yang Tuhan berikan karena Dialah pemilik kebenaran sejati.

Ketika seseorang menganggap orang lain juga memiliki kebenaran yang diyakini mereka, sejatinya kita sudah menunjukkan kerendahan hati dan kesadaran bahwa setiap manusia memiliki sisi baik dan sisi buruk yang selalu berdampingan dalam dimensi kemanusiaan.

Nah, jika setiap selalu melihat seseorang dari sisi baiknya maka tidak ada waktu lagi untuk menjadikan perdebatan sebagai tempat pelampiasan emosi dan perpecahan umat lantaran ketidak sempurnaan sifat manusia.

Konklusinya, tetaplah berbeda pendapat, dan andaikan berdebat lakukan dengan cara arif, bijak, santun dan beretika. Karena perbedaan itu adalah hak setiap manusia berakal. Dan berusahalah dengan kepala dingin. Karena jika emosi dan amarah yang mengendalikan pemikiran kita maka pada saat itu syetanlah yang telah merasuki hati kita. Ketiak hati dan pikiran tidak lagi tenang maka kemungkinan keputusan yang kita ambil sebuah kesalahan.

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun