Sekedar bernostalgia, bahwa hakekatnya setiap warga negara berhak hidup di seluruh wilayah Indonesia , tentu saja dengan catatan mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga diharapkan setiap warga negara berhak mendapatkan hak atas tanah untuk ditempati sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Ketika kita menelaah betapa negara memiliki kekuasaan atas bumi, air dan kekayan alam (UUD 1945 Pasal 33 ayat 3). Sehingga secara tidak langsung setelah Indonesia merdeka semua tanah di Indonesia menjadi milik negara. Kemudian oleh negara dimanfaatkan untuk kemaslahatan dan kemakmuran rakyatnya.
Merujuk tentang pertanahan, sebaiknya merujuk pada Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Dasar Agraria, Pasal 1 ayat 2 berbunyi:
"Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional."
Merujuk pada undang-undang tersebut semestinya persoalan tanah sudah tidak ada lagi karena tanah di Indonesia sepenuhnya milik negara dan negaralah yang memiliki kekuasaan untuk mengaturnya. Akan tetapi melihat beberapa kasus yang terjadi di daerah, keberadaan undang-undang ini semakin tidak jelas dan sepertinya sudah tidak memiliki kekuatan yang mengikat. Sehingga patut pula diapresiasi bahwa undang-undang ini sepatutnya direvisi dengan undang-undang yang lebih konstruktif dan mewadahi segala persoalan pertanahan.
Sebagaimana disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja.
"RUU tentang pertanahan ini memang inisiatif dari Komisi II yang sudah dirumuskan sejak 2012. RUU ini bila sudah menjadi undang-undang bertujuan untuk menggantikan sekaligus memperbarui UU Pokok Agraria No.50 tahun 1960 yang sudah tidak relevan lagi untuk mengatasi masalah pertanahan di zaman sekarang,"
Bahkan beliau menghendaki RUU tersebut segera dapat disahkan menjadi Undang-undang agar persoalan sengketa tanah dapat diselesaikan.
Kemudian berbicara mengenai hak atas tanah, akhir-akhir ini sepertinya kasus tanah masih saja menghantui di sepanjang wilayah Indonesia. Seperti kasus tanah yang terjadi di Jakarta. Sebagai Ibukota pun tak luput dengan konflik tanahnya.
Dan di awal bulan ini terjadi lagi kasus yang cukup meresahkan yaitu konflik atas tanah yang dianggap tanah tersebut milik adat, sehingga pemilik tanah yang telah menempati bertahun-tahun karena mengikuti program transmigrasi ternyata kembali digugat.
Meskipun adapula di antara tanah-tanah tersebut bukan pemberian pemerintah ketika program transmigrasi di era ordebaru, ternyata akhir-akhir ini pun tak luput dari sengketa yang berujung pada konflik perang suku. Yaitu suku Jawa dan Bali program transmigrasi yang bermukim dan hidup menetap di Lampung maupun masyarakat keturunan Jawa / Bali yang juga lahir dan dibesarkan di daerah tersebut. Â Di mana ketika mereka hendak memiliki atas tanah tentu saja dilakukan di antara para orang tua di jaman kakek nenek mereka.
Namun sayang sekali, karena gesekan-gesekan kepentingan tertentu, tanah-tanah yang dahulunya sudah menjadi hak milik dan ditempati serta diolah selama bertahun-tahun terpaksa harus diambil kembali dengan alasan tanah tersebut adalah tanah adat atau tanah nenek moyang. Sehingga secara tidak langsung memancing konflik yang berawal dari keluarga kini konflik tersebut justru menjadi konflik SARA. Entah siapa yang memulai penduduk yang dahulunya damai dan adem ayem, kini harus mengalami konflik dan pertentangan yang berbuntut pada perang saudara.
Seperti halnya yang saat ini tengah terjadi di Lampung Tengah, masyarakat Desa Buminabung Kec. Rumbia tengah digegerkan oleh konflik perebutan tanah yang selama ini milik salah satu masyarakat pendatang. Menurut informasi bahwa penduduk asli Lampung yang saat ini berusia dewasa menuntut atas tanah tersebut dikarena ketika akad jual beli tidak diketahui oleh anak-anaknya. Hal tersebut disebabkan karena pada saat pembelian sang anak masih di bawah umur. Tentu saja akad perjanjian jual beli tidak mengikutkan saksi dari anak karena dianggap belum memenuhi syarat dan syah secara hukum.