Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Konflik Hak Atas Tanah di Lampung, Dampaknya Terhadap Konflik SARA

16 Maret 2014   05:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:53 2305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena faktor kesalahpahaman tersebut konflik yang mulanya biasa saja yakni permintaan ganti rugi atas tanah yang diakui milik sah masyarakat Jawa yang bermukim di sana, kini hampir terjadi perang suku yang melibatkan beberapa desa. Sebuah ironi perjalanan anak negeri tatkala mereka mendapatkan kemerdekaan justru kehidupan mereka tidak lagi merdeka melainkan penuh dengan tekanan dan intimidasi akibat konflik sosial.  Bahkan menurut informasi salah satu masyarakat di Kec. Rumbia yang tidak saya sebutkan di sini, di tanggal 18 Maret 2014, kedua suku hendak melakukan permufakatan tentang hak atas tanah tersebut. Dan buntutnya jika permufakatan tidak berakhir damai dan saling bersepakat maka dapat dipastikan kedua suku akan saling berperang.

Konflik ini sejatinya tidak hanya sekali dua kali terjadi, seperti kasus tanah di Mesuji beberapa waktu lalu yang sempat menumpahkan darah para pelakunya, apakah kini akan terjadi lagi di Kab. Lampung Tengah? Sebuah ironi tatkala bangsa ini sudah lama menggunakan sistem otonomi daerah dan adanya reformasi agraria, justru yang muncul adalah konflik-konflik baik antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan penduduk maupun masyarakat dengan pemerintah. Bahkan jika dilihat begitu seringnya kasus "perang suku" ini terjadi pemerintah daerah sepertinya melakukan pembiaran dan merelakan masyarakatnya terbunuh akibat perang saudara. Bahkan yang lebih naif lagi pemerintah daerah justru berlomba-lomba melakukan korupsi.

Berbicara mengenai kasus sengketa tanah di beberapa daerah, sebenarnya tidak terlepas dari adanya reformasi agraria (land reform) atau yang dikenal dengan pembaruan agraria. Sebagaimana dijelaskan oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai berikut.

"Reforma Agraria atau secara legal formal disebut juga dengan Pembaruan Agraria adalah proses restrukturisasi (penataan ulang susunan) kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agrarian (khususnya tanah). Dalam pasal 2 TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001 dijelaskan bahwa "Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia".

Dalam tataran operasional Reforma Agraria di Indonesia dilaksanakan melalui 2 (dua) langkah yaitu:

1.    Penataan kembali sistem politik dan hukum pertanahan berdsarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undsang Pokok Agraria ( UUPA ).

2.    Proses Penyelenggaraan Land Reform Plus, yaitu penataan aset tanah bagi masyarakat dan Penataan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik yang memungkinkan masyarakat untuk memanfaatkan tanahnya secara baik. Di dalam penyelenggaraan Land Reform Plus diselenggarakan dua hal penting yaitu Aset Reform dan Akses Reform."


Penjelasan yang diberikan oleh BPN hakekatnya sudah sangat jelas, yakni di antaranya pemerintah ingin melakukan penataan aset tanah bagi masyarkat dan penataan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik dengan tujuan agar tanah-tanah milik masyarakat tertata kepemilikannya secara sah. Sehingga diharapkan dengan reformasi agraria tersebut tidak terjadi konflik kepentingan terkait "pengakuan" kepemilikan atas tanah masyarakat. Sebagaimana terjadi di Kab. Lampung Tengah.

Padahal sebagaimana termaktub dalam maksud dan tujuan reformasi agraria salah satunya adalah "meningkatkan harmoni kemasyarakatan. Dan mengurangi sengketa dan konflik pertanahan dan keagrariaan." Sebuah niatan yang baik dari adanya reformasi agraria. Namun maksud dan tujuan ini sepertinya agak terabaikan karena begitu banyaknya kasus konflik tanah setelah dikeluarkan aturan tentang reformasi agraria.

Jika melihat peraturan atas land reform sejatinya diharapkan kasus tanah dapat diselesaikan secara hukum negara sehingga tak ada satupun masyarakat yang merasa terzalimi dan teraniaya akibat adanya kasus tanah tersebut. Akan tetapi justru saat ini hukum negara lebih banyak mengalami benturan dengan hukum adat yang tentu saja keberadaan tanah tersebut menjadi ambigu. Antara tanah milik perseorangan atau perusahaan yang sah atau justru akhir-akhir ini diakui sebagai tanah adat dan tanah nenek moyang.

Karena perbedaan persepsi dan berubahnya sistem perundang-undangan maka timbullah beberapa gesekan dan konflik yang semestinya murni berkaitan dengan hukum justru saat ini malah bersinggungan dengan persoalan SARA. Karena konflik SARA inilah akibatnya kedua masyarakat yang sejak awal hidup berdampingan secara damai kini harus terkoyak oleh beberapa kasus tanah yang sulit diselesaikan. Dan andaikan dapat diselesaikan justru merugikan salah satu pihak yang bersengketa.

Bagaimana posisi Pemerintah (BPN)serta produk Reformasi Agraria jika konflik tanah terus terjadi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun