Ikan sepat ikan gabus, makin cepat makin bagus. Itulah ungkapan yang sering saya dengar apabila seorang pemateri (tutor) hendak menyelesaikan ulasan materinya. Maksud dan tujuannya sudah barang tentu tidak memperlambat. Sesuatu yang dapat dipercepat hendaknya ya dipercepat dan sesuatu yang semestinya ringan ya semestinya jangan dipersulit apalagi dibuat ribet.
Tidak hanya dalam forum-forum pelatihan atau diskusi, dalam hajat nasional sekelas Pemilu pun sejatinya masyarakat menghendaki segalanya tidak dibuat rumit. Karena semakin proyek pemilu dibiayai dengan cost yang murah, maka akan ada banyak sisa keuangan negara yang dapat diperuntukkan pada hal-hal yang lebih konstruktif dan produktif.
Sedikit saja coba kita menghitung, jika negara kita hendak mengadakan Pemilu maka ada banyak kegiatan yang menyita waktu, tenaga, fikiran dan tentu saja biaya. Karena sebagaimana hajat lima tahunan seperti yang Indonesia laksanakan, pemerintah melalui anggaran negara menggelontorkan dana yang tidak sedikit dan nilainya bisa mencapai trilyunan rupiah.
Sebagaimana diunggah oleh antaranews.com Jumat, 21 Maret 2014, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Keuangan Agus Martowardoyo bahwa untuk pemilu tahun 2014 biayanya senilai 16 trilyun rupiah. Sebuah angka yang cukup fantastis. Dan tentu saja membuat hati saya mbrigidik uang negara yang segitu banyaknya hanya dibuat untuk pestapora partai dan para caleg dengan alasan demi menuntaskan Pemilu, dan menegakkan demokrasi di negeri ini.
Sedangkan jika kita melihat rekam jejak hasil pemilu dari waktu ke waktu ternyata justru menunjukkan prestasi yang memprihatinkan. Pemimpin yang kurang sreg dalam mengambil keputusan dan gonjang-gonjing politik yang semakin memanas ditambah lagi para anggota legislatif yang semakin lama semakin terlihat malas.
Bahkan seperti diberitakan di beberapa media begitu banyaknya para pejabat termasuk di dalamnya anggota DPR/DPRD yang terlibat korupsi. Sehingga memunculkan sinisme dari semua elemen masyarakat bahwa hakekatnya hajat lima tahunan tersebut hanya membuang-buang uang negara sedangkan prestasi para wakil rakyatnya semakin jeblog.
Jika kita melihat besarnya uang negara, sejumlah 16 trilyun rupiah, maka akan ada banyak fasilitas daerah dan layanan publik yang dapat disediakan pemerintah. Termasuk fasilitas jalan raya, MCK dan sarana penerangan di daerah-daerah pinggiran yang sampai saat ini masih ada saja yang belum menerima fasilitas tersebut dengan alasan daerah yang terpencil.
Meskipun ide ini cukup konyol dan aneh, namun jika kita bandingkan biaya yang harus dikeluarkan ketika membiayai hajat Pemilu dengan seabrek kegiatan yang menyita uang tersebut, sebenarnya pemilihan umum pun dapat dilakukan dengan poling SMS seperti yang sering kita lihat tatkala pemilihan ratu kencatikan, pemilihan penyanyi terbaik maupun aktor / aktris yang dianggap memiliki kualitas yang mumpuni.
Dengan biaya per sms sebesar Rp.2.000 yang dibantu dari negara, maka negara membutuhkan biaya sebesar Rp 372.345.016.000 dengan jumlah pemilih tetap di Pemilu 2014 sebesar 186.172.508 orang. (Kompas.com, Kamis, 5 Des 2013)
Berdasarkan estimasi pengeluaran tersebut maka negara akan dapat menghemat uang negara sebesar Rp 15.627.654.984.000.
Jika proses pemilihan tersebut (khususnya presiden) tidak cukup dilakukan dalam satu kali putaran, maka biaya tersebut tinggal dikalikan 2 sebesar Rp 744.690.032.000. Ditambah teknis penghitungan secara komputer yang akan semakin tinggi tingkat keakuratannya. Sebuah penghematan uang negara yang cukup tinggi jika melihat hajat yang begitu menguras kantung keuangan negara.
Hanya dengan uang kurang lebih 800 milyar negara dapat melaksanakan proses pemilu dengan sangat tenang dan terhindar dari segala macam intimidasi dan kekerasan antar Partai, Capres maupun Caleg. Selain itu, hasil pemilihan umum dapat segera diketahui menurut hasil polling terbanyak.
Dengan layanan polling SMS selain pemilihan berlangsung lebih cepat dan akurat tentu saja tidak membutuhkan banyak sarana dan prasarana yang harus disediakan demi suksesnya pemilu di Indonesia.
Akan tetapi, pemilu adalah agenda besar di negeri ini yang tentu saja melalui mekanisme prosedural dan harus mengikuti aturan perundang-undangan. Sehingga dengan menggukan fasilitas SMS tentu saja negara harus membuat rumusan dan aturan yang otentik agar penggunaan SMS tersebut disahkan oleh undang-undang.
Selain itu, memang SMS pun memiliki banyak kelemahan dari sisi provider dan banyak pula terjadi SMS palsu yang sampai saat ini masih saja terjadi. Oleh karena itu dengan kebijakan polling SMS maka pemerintah akan meningkatkan standar keamanan terhadap fasilitas telekomunikasi di Indonesia agar tidak terjadi penggelembungan suara akibat banyaknya SMS spam yang masuk tanpa izin.
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI