Sebagaimana diliris oleh Departemen Pertanian, bahwa produksi kakao khususnya di wilayah Propinsi Lampung cukup flutuatif akan tetapi cenderung menurutn yaikni di tahun 2008 produksi kakao sekitar 25.690 ton. Meskipun di tahun 2009 mengalami kenaikan akan tetapi di tahun 2010 mengalami penurunan kembali sekitar 20.721 meskipun di tahun 2012 mengalami kenaikan, toh produktifitasnya sangat jauh menurun dibandingkan tahun 2008. Sebuah penurunan produksi yang cukup signifikan. Walaupun secara nasional dari tahun 2011 sd 2012 mengalami kenaikan sekitar 3,97%. (pertanian.go.id)
Keadaan yang membuat tak habis fikir kenapa produk kakao Indonesia semakin hari semakin melorot dan tak dilirik produsen coklat dunia tersebut. Padahal sebagaimana dijelaskan di atas wilayah perkebunan Indonesia merupakan wilayah yang potensial untuk menciptakan produk pertanian yang bermutu dan berdaya saing tinggi.
Apakah produsen magnum salah karena kakao dari negeri Tanzania? Dan tidak menggunakan produk dalam negeri yang sebenarnya juga tak kalah bersaing dengan produk dari negara tersebut? Tentu saja tidak bukan? Karena di era pasar bebas saat ini hanya produk yang berkualitas dan bersaing yang akan merajai produk olahan penting ini. Karena bagaimanapun juga makanan ringan ini tetap memegang prinsip keberkualitasan produk yang mereka hasilkan. Dan itu menjadi sebuah harga mati bahwa mereka tak akan menggunakan produk lain termasuk dari Indonesia jika kakaonya kalah berkualitas dari kakao negeri Tanzania.
Jika melihat potensi perkebunan kakao Indonesia, hakekatnya Indonesia tak kalah bersaing dengan negara lain seperti Malaysia, Brunai Darussalam dan negara lainnya. Karena jika melihat struktur geografis indonesia sangat cocok jika dijadikan lahan pengembangan kakao. Di samping karena kakao hanya dapat hidup didaerah beriklim tropis, juga karena Indonesia memiliki struktur tanah yang baik. Sehingga seharusnya kakao Indonesia memiliki kesempatan yang sama merajai pangsa pasar kakao dunia.
Kenapa Magnum Tak Menggunakan Kakao Indonesia?
Pertanyaan ini hakekatnya penuh dengan muatan politis dan ekonomis, muatan politisnya kembali kepada kebijakan pemerintah. Apakah pemerintah tidak memiliki cukup bargaining terkait penggunaan produk lokal? Karena jika diruntut tingginya pasar produk makanan tersebut Indonesia merupakan pasar yang cukup potensial. Bahasa marketingnya, semakin tinggi konsumen di suatu negara, maka akan semakin besar nilai tawar pemerintah dalam kebijakan pasarnya. Tapi lagi-lagi keputusan perdagangan terikat perjanjian perdagangan bebas. Dalam hal ini satu langkah Indonesia sudah kalah dengan negeri Tanzania, di mana mereka memiliki kemampuan dalam mensupport produk makanan dari Belgia ini. Atau produk makan dari coklat lainnya.
Jika melihat pada kebijakan ekonomi, sejatinya rendahnya kualitas kakao Indonesia disebabkan karena memang saat ini mengalami penurunan produksi disebabkan masalah penyakit. Kakao yang busuk tatkala buah masih muda dan terlihat berjamur tatkala belum layak dipetik. Boleh jadi beberapa indikator penyakit ini yang membuat produksi kakao Indonesia menjadi melorot. Wajar saja produk lokal belum dianggap "layak" menjadi bahan baku produk import tersebut.
Apalagi jika melihat produksi kakao Indonesia yang cukup fluktuatif bahkan cenderung menurun tersebut, sedikit banyak memberikan gambaran bahwa Indonesia "dianggap" oleh produsen makanan kurang potensial karena penurunan yang cukup signifikan. (Republika.co.id)
Atau paling tidak pemerintah melalui kebijakannya menjaga kualitas kakao Indonesia. Tentu saja di bawah kewenangan departemen pertanian. Karena kebijakan pertanian mencakup produksi kakao sejatinya di bawah kendali menteri pertanian.
Seperti halnya di wilayah Kota Metro, tanaman kakao cukup banyak saya jumpai di wilayah ini. Jadi dapat diindikasikan bahwa hakekatnya wilayah inipun dahulu pernah menjadi pemasok kakao nasional. Meski tak sebanyak tanaman kakao yang dibudidayak di daerah Lampug Timur dan daerah sekitarnya. Namun demikian, beberapa tanaman tersebut sudah tak terurus dan tampak tak berbuah lagi. Padahal jika melihat struktur pohonnya masih cukup muda. Akan tetapi jika diamati dari buahnya memang dipenuhi oleh jamur.
Inilah sedikit banyak menjadi gambaran kenapa Magnum begitu percayanya menggunakan produksi pertanian asal Tanzania daripada produk Indonesia.