[caption id="" align="aligncenter" width="612" caption="Ilustrasi/Kompasiana (manado.tribunnews.com)"][/caption]
Musim panen telah tiba, segudang senyum dan wajah penuh semangat memancar dari para wanita ini. Para wanita yang tak pernah lelah mengais rizki demi keluarga. Membanting tulang ikut membantu menopang kehidupan rumah tangganya. Dialah perempuan-perempuan hebat pemungut bulir-bulir padi sisa di pematang sawah.
Pekerjaan yang menurut sebagian orang dianggap hina, lantaran menganggap mengais rizki dari padi sisa di pematang sawah amat tidak patut. Dianggap sebagai pemulung dan dianggap hina karena dianggap tak lazim dilakukan oleh para wanita kebanyakan. Memungut bulir-bulir padi bernas yang amat sayang jika tak terpungut lantaran terbuang.
Apakah mereka orang-orang yang teramat miskin? atau orang-orang yang tak mampu membeli beras?
Tentu saja tidak. Bukan berarti ketika mereka memungut buliran-buliran padi tersebut karena tekanan ekonomi. Atau bukan karena mereka tak memiliki lahan garapan atau amat miskin. Tapi hal tersebut dilakukannya demi memanfaatkan waktu senggang dan memanfaatkan padi yang tak terbawa tatkala dipanen. Tentu saja lantaran jatuh tatkala ditumpuk bersama jerami.
Karena kebiasaan yang tak sengaja dilakukan, tatkala para petani memanen padi mereka, maka ada banyak batang-batang padi yang tertinggal beserta rontokan padi di bawah tumpukan padi. Para pemanen sering tak sadar ada banyak bulir padi yang tersia-sia karena tak turut terangkut lantaran rontok dari dahannya.
Itulah Ibu Misirah, di saat panen tiba, ia beserta perempuan lain yang memiliki profesi yang sama berjuang untuk mengumpulkan bulir-bulir padi tersebut. Sebulir dua bulir dikumpulkan hingga bergantang-gantang. Kadang karena kesabarannya hingga satu karung gabah ia dapatkan. Sekarung gabah yang bercampur dengan butiran tanah dan pasir akibat terpungut bersama tanah sawah.
Padi yang kotor itu pun harus dipisahkan dari tanah dan pasir. Agar beras yang dihasilkan menjadi bersih. Dan tak "ngeres" tatkala ditanakkan untuk dijadikan santapan.
Meskipun pekerjaan ini amat tak lazim tapi amat mulia karena memanfaatkan padi-padi bernas yang terbuang. Dan perolehan sepertinya tak seberapa, namun tatkala diamati, mereka melakukannya dengan tekun dan tanpa rasa malu karena mereka mengganggap pekerjaan tersebut halal.
Berhari-hari mereka berangkat pagi setelah menyiapkan sarapan untuk suami mereka, dan di tengah hari mereka kembali sejenak untuk melakukan ibadah, kemudian mereka akan berjuang lagi hingga senja hari. Tatkala kutanya kok mau bu mengerjakan ini? mereka menjawab, "Mumpung lagi panen mas sayang kalau tak diambil." Dengan bahasa polosnya mereka menjawab dengan sumringah, kata mereka sembari tersenyum tak terlihat sedekitpun raut sedih di wajah mereka. Benar-benar luar biasa.
Kebahagiaan mereka tentu karena ada alasannya, meskipun pekerjaan tersebut terlihat hina namun hakekatnya amat mulia. Selain itu karena penghasilan mereka yang tak sedikit. Karena kalau lagi beruntung mereka mendapatkan gabah kotor seberat 50 kg, jika diuangkan bisa mencapai Rp 150.000. Pantas saja mereka tak merasa malu lantaran penghasilan yang tak sedikit.
Hari demi hari dilalui hingga masa panen berakhir, dan tak sedikit hasil jerih payah telah mereka dapatkan. Bulir-bulir padi yang berharga demi menyelamatkan padi-padi yang tersisa menjadi lembaran-lembaran rupiah. Pekerjaan yang dilakukan tatkala masa panen tiba, pekerjaan yang dianggap hina tapi hakekatnya teramat mulia.
Berkaca dari perempuan pemungut buliran padi sisa
Dari kisah nyata perjalanan sang pemungut buliran padi hakekatnya dapat kita ambil hikmahnya. Bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budi daya pertaniannya. Tak sedikit yang menggantungkan hidupnya dari buliran-buliran padi tersebut. Namun, tak sedikit pula yang harus menahan lapar seharian demi menanti sang ayah bekerja, memanen padi mereka dan ada pula yang harus bersusah payah memungut sampah di kota-kota besar. Bahkan seperti Bu Misirah yang karena rasa cintanya atas nikmat Tuhan, dia merelakan urat rasa malu pergi demi memungut bulir-bulir padi sisa yang dianggap tak berguna.
Namun, di antara mereka yang harus berjuang dengan sempitnya kehidupan, dan sulitnya ekonomi, ternyata ada saja saudara-saudara kita yang membuang-buang makanan dan berlebih-lebihan dalam menikmati rizki. Tidak pernah berfikir bahwa di dalam kelebihan kita, ada banyak masyarakat yang rela menjadi pemungut buliran padi di sawah demi untuk menopang kehidupan mereka. Kehidupan yang teramat sulit padi masyarakat perkampungan.
Di antara mereka yang berkesusahan ada yang justru berboros-boros ria dengan harta mereka. Ibarat langit dan bumi. Di satu sisi ada masyarakat Indonesia yang teramat miskin dengan kehidupan yang amat terbatas, tapi di sisi lain ada di antara mereka yang bergelimang harta dan menggunakannya dengan cara tak patut.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H