Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saat Tukang Becak Mendapatkan 1 Juta dari Caleg

8 April 2014   04:21 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:56 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13968942601978186441

[caption id="attachment_330713" align="aligncenter" width="578" caption="Headline kotaksuara.kompasiana.com | Ilustrasi/ Kompasiana (kompas.com)"][/caption]

Mendapatkan uang "haram" dari caleg, patut berbahagia atau justru menolaknya?

Pertanyaan itulah yang sampai saat ini masih saja menggelayut dalam pemikiran saya, paska percakapan pagi tadi mengenai serangan fajar dari para caleg. Serangan fajar yang kebetulan diarahkan pada tukang bejak di wilayah Kota Metro. Para caleg yang berusaha meraih simpati dengan cara yang tak patut. Mereka menyebarkan uang yang cukup besar demi memenangkan Pemilu. Sebuah kecenderugan dari prilaku buruk para calon wakil rakyat.

Meskipun hakekatnya gerakan serangan fajar sudah tidak asing lagi di telinga, namun dengan uang caleg yang begitu besarnya, menyisakan tanda tanya yang cukup besar. Apakah menerima uang haram tersebut pantas disyukuri atau ditolak saja? Dalam kondisi bingung tersebut si tukang becak menyampaikan pertanyaannya. Saya pun hanya menanyakan apakah Bapak menerima itu karena merasa tertekan atau tidak? Dan apakah para caleg tersebut memaksa Bapak untuk memilih? Jawabannya Tidak. Kemudian saya tanya lagi, bagaimana dengan perasaan bapak tatkala bapak menerima uang yang cukup besar tersebut dari beberapa caleg sedangkan para caleg tersebut menghendaki Bapak memilih mereka?

Dalam beberapa pertanyaan tersebut si tukang becak pun terdiam. Lantas saya katakan, jika bapak yakin uang itu halal bukan dari korupsi dan tidak ada ikatan dan paksaan untuk menerima maka terima saja. Toh Bapak tidak mengharapkan pemberian tersebut. Meskipun saya juga bingung harus berkata apa, karena si tukang becak merupakan sosok yang sangat kekurangan. Di satu sisi mereka sangat membutuhkan, tapi di sisi lain uang yang diberikan benar-benar mematikan nilai kritis rakyat bahwa para calon mereka sudah membeli suara mereka. Membeli hati nurani demi meloloskan sosok yang sudah tentu ingin mengembalikan modal kampanye dan money politik selama masa pemilihan umum.

Dana 1 juta dari empat orang caleg yang berbeda sejatinya sangat besar. Misalkan saja dari 1 caleg dengan uang 250.000 dan harus menjaring suara sebanyak minimal 1.000 maka tinggal mengalikan saja 250.000 x 1000 = 250.000.000. Jika empat orang caleg memberikan uang yang sama maka sudah dapat dipastikan jumlahnya 1 milyar rupiah. Sebuah catatan "hutang" dari caleg yang harus dibayarkan oleh rakyat yang dimpin demi mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan. Itu kalau caleg DPRD Kota/Kab., berbeda lagi jika caleg DPRD Provinsi harus bisa mencapai 17.000 suara. Jika dikalikan 250.000 maka nominalnya berjumlah kurang lebih 4,25 milyar rupiah. Dan lebih besar lagi jika untuk DPR RI (pusat). Maka secara otomatis ada banyak uang  modal yang dikeluarkan serta berharap modal dan untung dapat diperoleh setelah menjadi wakil rakyat.

Bagi sang caleg mungkin dianggap biasa saja karena ketika mereka sudah menjadi wakil rakyat selama 5 tahun mungkin uang 250 juta dianggap kecil. Karena mereka sudah menyiapkan dana tersebut jauh-jauh hari. Namun bagi caleg yang baru, tentu saja "empot-empotan" dan mereka harus mencari peluang bagaimana uang yang dikeluarkan tidak sia-sia. Bahkan ibarat berdagang, tak mungkin juga mereka mengeluarkan uang sejumlah 250 juta tapi mereka tidak mendapatkan lebih dari itu. Sudah dapat dipastikan bagaimana caranya mencari peluang untuk mendapatkan untung sesuai dengan modal yang sudah dikeluarkan.

Maka wajar saja, ada banyak catatan kelam yang ditorehkan para wakil rakyat ini, bukannya berjuang membangun daerah dan masyarakatnya tapi yang menjadi target kerja adalah mengembalikan modal kampanye dan mencari keuntungan yang tidak sedikit.

Sayang sekali, ketika para caleg menyebar "uang haram" masyarakat seperti tak berdaya untuk menolak uang umpan tersebut, disebabkan kesulitan hidup yang mereka rasakan. Meskipun dampaknya tentu saja kehidupan para tukang becak inipun yang akan dipertaruhkan.

Memberi uang 250 juta dan ingin mendapatkan bermilyar-milyar sebuah kesalahan besar.

Para caleg ini sejatinya tidak menjadikan proses sebagai sebuah tahapan kemenangan. Mereka menginginkan segalanya serba instant. Harapannya tak perlu repot, meski harus mengeluarkan uang 250 juta untuk mendulang suara tanpa kerja keras pra pemilu.

Sikap instant ini sejatinya sudah berlangsung bertahun-tahun lama dan berkali-kali masa pemilihan umum. Mereka menganggap dengan sesuatu yang instant maka otomatis suara akan digenggam. Padahal belum tentu. Apalagi saat ini caleg model money politik tidak hanya satu dua orang tapi berpuluh-puluh caleg yang melakukan kompetisi dengan cara yang curang ini.

Jika mereka hendak mendulang suara, tentu saja sebelum mencalonkan diri mereka harus dikenal dahulu oleh calon pemilihnya, mengkaryakan diri pada masyarakat dan melakukan kerja sosial produktif yang dampaknya secara langsung dapat dirasakan oleh masyarakat. Karena menurut si tukang becak, sampai saat inipun baru mengenal ketika mereka memberikan uang sogokan tersebut. Maka wajar saja, setelah uang itu diserahkan, esoknya para calon pemilih pun lupa siapa namanya. Jangankan namanya, wajahnya pun tak ingat lagi.

Bahkan jika ingin mengeluarkan uang, sepatutnya bukan dengan membeli suara, tapi berbagi sedekah dan berbagi zakatlah kepada masyarakat di lingkungannya. Karena sedekah dan zakat memang disyariatkan oleh agama. Maka ketika calon wakil rakyat ini sudah rutin menyumbang dan berzakat, maka bukan tidak mungkin belum mencalonkan diripun suara mereka sudah berada di tangan. Simpati atas kinerja nyata dan kebaikan budi yang ditorehkan para calon wakil rakyat ini.

Menjadi sosok yang ikut membangun ekonomi masyarakat di wilayahnya. Misalnya membentuk koperasi simpan pinjam dengan modal dari calon yang ingin maju. Maka seiring berjalannya waktu, nama sosok tersebut akan semakin dikenal. Mereka membantu atau membentuk koperasi yang tentu saja tidak merugikan dirinya sendiri. Akan tetapi justru saling menguntungkan.

Sayang sekali, sampai mendekati pemilihan umumpun para calon wakil rakyat tidak menujukkan kredibilitas, kapabilitas  dan kepeduliannya sebagai sosok calon wakil rakyat. Makanya wajar, masyarakat hanya bingung tatkala mereka mendapatkan uang haram dari para caleg ini. Mereka mendapatkan uangnya tapi mereka sama sekali tidak tertarik pada sosok yang memberi.

Jika uang yang sudah disebarkankan ternyata tidak juga mendapatkan respon dari masyarakat, maka bukan tidak mungkin akan muncul calon wakil rakyat yang gagal yang harus masuk ke rumah sakit karena shock dan stress.

Sudah deh kalau begitu, makanya mending pilihlah yang tidak memberikan "uang haram" karena bagaimanapun juga para caleg ini tidak akan berusaha mengembalikan modal mereka dan tidak hanya berfikir untuk diri sendiri bagaimana mendapatkan untung dari proyek-proyek pemerintah. Hehe

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun