Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tetanggaku 10 Tahun Buruh Pabrik, Dia Tak Sejahtera

3 Mei 2014   03:45 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:55 2619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignnone" width="624" caption="Pekerja | Kompasiana (Kompas.com / A.Handoko)"][/caption] Sebenarnya memang pantas jika kita semua harus berempati dengan para buruh di tanah air. Bagaimana tidak, karena salah satu temanku sebut saja si Badu, sampai saat ini tak pernah menunjukkan batang hidungnya. Jangankan setahun sekali bisa menjenguk keluarga orang tuanya di kampung, mengirimkan kabar bahagia saja sepertinya tak juga dilakukan. Sudah bertahun-tahun teman sekampung ini bekerja di Kota Tangerang. Sejak sepuluh tahun yang lalu beliau bekerja di Tangerang demi mendapatkan penghasilan yang bisa di bawa pulang. Sayang sekali bukan hasil kerja kerasnya selama ini tak juga dapat dinikmati kedua orang tuanya. Bahkan setahun sekali yang semestinya bisa menengok kesehatan sang ayah bundanya, ternyata urung pula dilakukan. Entahlah, mungkin karena berat diongkos dan eman-eman jika uang gaji harus dihabiskan untuk kilar-kilirmenengok orang tuanya. Mending untuk menikah saja. Begitulah pantasnya. Tapi benar, setelah sepuluh tahun beliau bekerja di perantauan, sang istrilah rezeki yang didapatkan. Bahkan kabarnya saat ini memilih tinggal di tempat mertuanya di salah satu daerah di Jawa Tengah. Bertahun-tahun merantau ditunggu hasilnya, ternyata dapatnya istri. Masih rezeki karena bagaimana jadinya jika gaji habis di tempat bekerja dan tak dapat istri pula. Alamaak. Meskipun di antara pekerja ini ada yang bisa mengirimi keluarganya di rumah, ternyata si Badu (bukan nama sebenarnya) justru mengirimkan kabar pernikahannya. Sontak saja orang tua di rumah terperangah, terkejut bercampur bingung plus pusing tujuh keliling. Sebab, anak yang semestinya bisa menjadi pengganti orang tuanya ternyata meninggalkan kesan sedih bagi keluarganya. Bagaimanapun kondisi ini tak juga harus menyalahkan si Badu sebagai seorang buruh pabrik, di mana posisinya amat tidak jelas. Apalagi keputusan adanya sistem kerja kontrak (out sourcing) menjadikan sosok seperti Badu ini seperti kehilangan harapan tuk masa depannya. Mereka berharap bekerja mendapatkan penghasilan yang layak dan dapat membantu orang tuanya ternyata gajinya hanya cukup untuk ongkos hidup di tanah orang. Untung saja orang tua si Badu masih sanggup mencukupi kebutuhan mereka. Meskipun hanya seorang petani utun, ternyata hasil panen singkong dan karet mampu menopang kebutuhan ekonomi yang semakin meroket. Kondisi Badu dan pekerja pabrik lainnya merupakan situasi yang mudah kita temukan. Tidak hanya teman saya sendiri, ada banyak pekerja pabrik yang bernasib sama. Bahkan ada pula yang harus kehilangan anggota tubuhnya karena kecelakaan kerja. Tidak hanya anggota tubuhnya yang dikorbankan, nyawap un harus siap tercerabut dari jasad karena resiko pekerjaan. Seperti pula kejadian naas yang dialami buruh kapal yang tenggelam di tengah-tengah samudra lantaran badai yang menghantam kapal mereka. Dengan ijazah Madrasah Aliyah si Badu merantau demi mendapatkan peningkatan status dari mengangguran menjadi pekerja. Dari tak berduit menjadi berkantung tebal (harapannya). Tapi faktanya tatkala kita melihat berapa besaran gaji para buruh ini jauh dari kata pantas. Dengan gaji tak lebih dari 1.6 jt plus lemburan menjadi 2 jt selama  sebulan tak bakalan bisa mencukupi kebutuhan mereka. Apalagi kehidupan di kota sangat jauh berbeda dengan kehidupan di kampung. Di kampung dengan lahan di kebun mereka bisa bercocok tanam yang dapat dijadikan penghasil sayuran untuk menopang kehidupan mereka. Tapi bagaimana jika di kota? Saya rasa amat sulit untuk melakukannya. Tentu saja karena biaya hidup yang teramat mahal. Masih untung jika rumah yang ditempati adalah rumah sendiri di mana penghuninya menggunakannya secara bebas. Tapi, bagaimana jika rumah yang ditempati adalah kontrakan. Sudah tidak dapat dibayangkan betapa berat kehidupan di perkotaan. Ditambah lagi masyarakat perkotaan biasanya loe-loe - gua-gua, urusanmu ya urusanmu dan urusan saya ya saya yang menanggungnya. Itulah salah satu gambaran kehidupan teman saya yang menjadi pekerja pabrik di Tanggerang, selama sepuluh tahun menjadi buruh ternyata kehidupannya tidak juga berubah. Jangankan mendapatkan kehidupan yang mewah, mendapatkan status mapan saja seperti jauh panggang dari api. Nasib Pekerja Outsourcing, Tak Menentunya Kehidupan Pekerja Sampai saat inipun mungkin demonstrasi masih saja dilakukan. Tidak hanya berpusat di Ibukota, di Medan, Surabaya dan kota-kota lain para pekerja ini menuntut status pekerjaan mereka. Mereka menghendaki pemerintah memperhatikan nasib pekerja ini dengan mengembalikan status mereka dari pekerja kontrak menjadi pekerja tetap. Tentu saja ada alasan tersendiri. Di mana ketika mereka menjadi pekerja tetap, maka posisi mereka perusahaan tersebut tidak terhitung tahun, bisa sampai mereka pensiun mereka masih mendapatkan gaji. Ditambal lagi uang pesangon yang mereka dapatkan tatkala mereka sudah harus resign baik mengundurkan diri atau karena harus pensiun. Itulah bedanya pekerja outsourcing dengan pekerja tetap. Hak-hak sebagai pekerja penuh waktu dengan gaji yang sesuai akan mereka rasakan. Tak dibayang-bayangi akan pemutusan pekerjaan karena masa kontrak mereka telah habis. Boleh jadi ketika mereka benar-benar menggantungkan hidup mereka dari pekerja pabrik, tentu saja separuh hidupnya akan mereka habiskan untuk melayani sang pengusaha (bos besar) yang memperkerjakan mereka. Nah, jika kehidupan mereka saja harus dikorbankan kepada perusahaan, mengapa kerja keras mereka tidak dihargai? Boleh jadi sebuah strategi manajemen pekerja untuk memangkas pengeluaran dari tunjangan-tunjangan yang harus diterima pekerja ditambah lagi tunjangan pensiun yang harus dinikmati para pekerjanya. Sebuah strategi bisnis keji, dan tak berperikemanusiaan. Mereka menganggap pekerja tak berharga dengan memberikan upah rendah tapi tenaga mereka diporsir tak mengenal waktu. Pendapatan dari pesangon pun harus dipangkas. Alih-alih ingin mendapatkan keuntungan bisnis tapi membunuh banyak orang. Tapi itulah nasib para pekerja. Tatkala kehidupan mereka pun tak jelas, apalagi yang dapat mereka lakukan selain berdemo, menuntut hak serta meminta belas kasihan dari perusahaan agar status serta gaji mereka dinaikkan. Dari status pekerja kontrak menjadi pekerja tetap. Dari gaji pas-pasan bahkan kurang meningkat menjadi gaji yang mencukupi. Derita Lain Para Pekerja (Buruh) Pabrik Indonesia Saya ikut kembali tertegun tatkala melihat kisah perjalanan pekerja pabrik di Jakarta yang ditayangkan salah satu televisi swasta, boleh  jadi kehidupan pekerja ini akan sama dengan kehidupan si Badu teman saya yang bekerja di Tanggerang. Tatkala pekerja ini menceritakan bahwa gajinya seringkali tak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Dengan dua orang anak yang sudah memasuki usia sekolah, mereka masih tinggal di sebuah kontrakan yang cukup mahal. Bahkan mirisnya mereka selalu meminjam tetangga tatkala kebutuhan mendesak. Sehingga sang ayahpun harus mati-matian ikut kerja lembur demi mendapatkan uang tambahan untuk mengembalikan hutangnya. Yang lebih membuat miris lagi adalah, tatkala pekerja ini tak mampu lagi membiayai sang anak yang tengah terbaring lemah karena penyakit yang dideritanya. Mereka mau membawa ke rumah sakit, tapi tak mempunyai biaya. Jangankan untuk berobat untuk memberikan cukupan gizi harian saja tentu sangat sulit. Miris dan sangat memprihatinkan. Kisah ini sejatinya akan dialami oleh setiap pekerja Indonesia yang bekerja di pabrik. Meskipun ada yang sudah status kontrak dengan gaji yang tinggi, tapi keberadaan mereka dapat dihitung jari jika dibandingkan dengan ribuan pekerja lain dengan status outsourcing. Pekerja tanpa kejelasan status dan kehidupan mereka. Persoalan rumit yang menghantui laman pekerja-pekerja Indonesia di negeri sendiri sejatinya menjadi gambaran pahit. Tatkala pemimpin negeri ini diminta mensejahterakan rakyatnya, toh sampai saat ini nasib pekerja ini pun seperti dialam hayalan saja. Harapan kehidupan yang sesuai dan pantas sepertinya masih sulit mereka dapatkan. Meski setiap hari buruh internasional para pekerja ini berdemo meneriakkan tuntutan akan kesejahteraan, sampai saat ini kehidupan mereka tidak sejahtera. Tapi inilah potret buram dan kejam negeri ini, tatkala warga negaranya banyak yang belum mendapatkan kesejahteraan seperti apa yang mereka dapatkan. Semoga saja, presiden terpilih nanti adalah sosok yang memikirkan nasib para pekerja ini. Bukan hanya kebutuhan tapi kewajiban. Karena takkan mungkin pula prestasi dan etos kerja akan naik manakala penghasilan mereka tak mencukupi. Pengusaha, pemilik modal dan pekerja adalah satu sistem yang tak dapat dipisahkan. Jika ketiganya mendapatkan haknya secara patut, tentu saja kinerja perusahaan akan semakin meningkat. Dan tentu saja takkan ada lagi para pekerja yang harus meninggalkan tugasnya demi tuntutan penghasilan yang memadai. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun