Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tatkala Orang Tua (Terlalu) Mengeskploitasi Anak Disabilitas

31 Mei 2014   04:39 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:55 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="554" caption="Ilustrasi/Kompasiana (tribunnews.com/iStockphoto)"][/caption]

Seperti biasa, saya melaksanakan tugas sebagai pendidik di salah satu sekolah penyandang disabilitas di Lampung, kebetulan di hari Jum'at ini saya menyampaikan materi tentang pendidikan karakter dan siswa-siswi memberikan tanggapannya terhadap cerita atau kisah terkait sikap seseorang tatkala dibenturkan dengan tugas-tugas harian. Dengan antusiasmenya para siswa, menjawab dengan bahasa apa adanya, semampu mereka mampu memahami kalimat saya dan menerjemahkan menjadi kata-kata untuk menilai sikap dari seseorang yang saya ceritakan. Saya menggunakan metode ini agar saya bisa menggali lebih dalam pengetahuan dan penilaian mereka terhadap sikap seseorang.

Dan seperti biasa pula, tatkala saya meminta anak-anak tersebut menjawab, mereka mampu menjawab dengan tanggapan baik hati, jujur, menolong orang tua, bertanggung jawab, namun adakalanya menanggapi dengan kata "jelek" maksudnya sikapnya tidak baik. Meskipun kata-kata tersebut teramat sederhana, namun saya memahaminya sebagai sebuah penilaian tulus tatkala mereka diminta menanggapi cerita dan kisah yang seringkali mereka temui dalam kehidupan sehari-hari. Tujuannya agar anak-anak ini mampu bersikap yang baik tatkala dihadapkan dengan tanggung jawab mereka seperti anak-anak sebayanya.

Setelah anak-anak tersebut menanggapi cerita saya, kemudian secara bergantian mereka menceritakan aktifitas sehari-hari yang berkaitan dengan pengamalan karakter dan sikap yang baik atau buruk. Dan siswa lain pun menanggapi cerita teman-temannya.

Seiring proses bercerita dan menanggapi cerita tersebut, secara polos dan jujur mereka menceritakan bagaimana mereka melakukan pekerjaan rumah selayaknya asisten rumah tangga. Sepulang sekolah mereka langsung diminta mencuci piring, memasak dan menyapu halaman. Bahkan adapula yang tidak sempat lagi beristirahat karena orang tua (ibu dan saudaranya) justru memerintahkan si anak untuk melakukan pekerjaan ala PRT. Tanpa mempertimbangkan kelelahan atau rasa letih setelah setengah hari mereka belajar. Tidak hanya pekerjaan-pekerjaan ringan, karena kegiatan menyiapkan masakan dan mencuci pakaianpun menjadi kewajibannya. Anak-anak tuna grahita yang setengahnya dipaksa untuk melakukan sesuatu yang seharusnya orang tua memberikan toleransi. Aktivitas yang seyogyanya sebagai latihan kemandirian dan bukan bentuk eksploitasi tenaga mereka.

Sebuah sikap yang teramat berlebih-lebihan yang dilakukan orang tua mereka. Mereka mendidik anak-anak ini teramat keras, bahkan terlalu keras sampai tidak memberikan kesempatan mereka untuk beristirahat meski hanya sesaat saja. Meskipun saya memahami apa yang dilakukan bertujuan agar anak-anak ini lebih mandiri, tapi karena terkesan mengeksploitasi sepertinya amat tak patut.

Anak-anak penyandang disabilitas, khususnya anak-anak tuna grahita memiliki kelemahan secara fisik dan psikis, selain itu mereka memiliki kelemahan intelegensi di bawah rata-rata. Jadi sepatutnya para orangtua mendidik dan melatih yang sesuai dengan karakter dan kondisi mereka. Meskipun tidak bermaksud membedakan dengan anak normal, sepatutnya tidak terkesan memperkerjakan mereka seperti halnya pembantu (asisten rumah tangga) yang harus melakukan pekerjaan sendirian. Bahkan dari cerita anak-anak tersebut ada pula yang mengeluh merasakan sakit perut selama berbulan-bulan (menurut saya gejala maag kronis) setelah saya selidik ternyata akibat dari pola makan yang tidak teratur. Di saat makan siang ketika mereka harus menikmati hidangan, mereka harus mengerjakan pekerjaan rumah tanpa diberi toleransi istirahat, tidur dan menikmati makan siang. Tapi justru para orang tua ini memerintahkan mereka mengerjakan semua pekerjaan rumah ala pembantu.

Karena saya ingin memastikan bagaimana anak-anak ini diperlakukan di rumah, maka saya melakukan konfirmasi terhadap para orang tua mereka. Dan benar di antara orang tua mereka justru menganggap anak penyandang disabilitas ini seperti pembantu yang harus mengerjakan semua pekerjaan di rumah. Sebuah kondisi yang teramat miris.

Rendahnya Perhatian Orang Tua Terhadap Kondisi Anak

Selain terlalu berlebihannya orang tua dalam "memperkerjakan" anak di rumah, seringkali saya melihat anak-anak ini kurang mendapatkan perhatian. Misalnya kondisi pakaian yang seringkali terlihat kotor, adapula dari mereka yang tak memakai seragam sesuai hari yang sudah ditentukan, dengan alasan pakaian belum dicuci, padahal seharusnya enam hari yang lalu pakaian tersebut sudah disiapkan sebelumnya.

Melihat kondisi ini, saya selaku guru kelasnya berusaha menyampaikan surat peringatan atau sekedar saran melalui buku penghubung yang dikirimkan kepada orang tua siswa, dengan tujuan orang tua semakin memperhatikan kondisi anaknya. Setelah saya kirim peringatan atau pemberitahuan, satu atau dua hari si anak terlihat rapih dan disiplin dalam berpakaian, tapi seminggu kemudian terlihat lagi kebiasaan sebelum diberikan buku penghubung. Selain itu orang tua selalu saya ajak berdiskusi mengenai kondisi anak dan bagaimana cara orangtua memberikan perhatian kepada anak-anaknya. Meskipun cara ini cukup efektif, sayang sekali hanya berjalan beberapa pekan, selebihnya orang tua kembali berkurang perhatiannya.

Dan yang lebih membuat saya miris adalah tatkala pemerintah memberikan Bantuan Siswa Miskin (BSM) justru para orang tua menggunakannya untuk keperluan lain yang tidak berkaitan dengan urusan pendidikan anak-anaknya. Seperti membeli keramik, pakaian dan lain-lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan pendidikan bagi anak-anaknya. Kontan saja, meskipun setiap tahun anak-anak ini mendapatkan bantuan dari pemerintah melalui sekolah, justru orangtuanyalah yang banyak menikmati ketidak mampuan anak-anaknya. Mereka menganggap anak-anak mereka sebagai alat pencetak uang dan sedikit sekali tanggung jawab mereka terkait bantuan dari pemerintah ini. Wajar saja setelah saya amati anak-anak ini masih saja terlihat kumuh, ada saja siswa yang tidak berganti pakaian dan buku-buku serta alat belajarmereka yang selalu saja tidak tercukupi.

Fakta inilah yang membuat saya prihatin, tatkala pemerintah sudah memperhatikan kondisi anak-anak disabilitas justru para orang tua memanfaatkan anak-anak mereka untuk memperoleh kekayaan. Dan lebih dari itu mereka menganggap anak-anak disabilitas ini sebagai anak yang bisa dimanfaatkan tenaganya demi meringankan pekerjaan mereka.

Semoga saja kedepannya para orang tua penyandang disabilitas tetap memanusiakan mereka seperti anak-anak sebayanya. Memberikan mereka kesempatan untuk berkembang dan bersosialisasi tanpa diberikan beban yang melebihi kemampuan mereka.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun