Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apakah Perlu Dilegalkan Saja Politik Uang?

12 Juni 2014   01:28 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:10 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memori pileg 2014 belum beranjak dari ingatan. Selain tingginya antusiasme pemilih yang nimbrung menyampaikan aspirasi mereka, juga tak kalah eforianya para warga yang mencalonkan diri sebagai sosok caleg. Bahkan hampir semua orang jika dibolehkan menjadi calon legislatif maka mereka pun ingin memajang foto mereka di kertas surat suara. Semua bukan tanpa sebab, karena sama-sama ingin mendapatkan hak dalam berpolitik. Terlepas apapun visi, misi maupun motif seseorang dalam berpolitik.

Selain begitu antusiasmenya perhelatan akbar tersebut, yang juga tak luput dalam ingatan adalah tingginya permainan politik uang (money politic). Tidak hanya kaum elit yang mengenal sistem menjaring massa ini, karena saat ini saja masyarakat awam begitu kental dengan idiom ini. Apakah ini pertanda bahwa memang masyarakat kita benar-benar ingin ikut larut dalam eforia kebebasan politik. Kebebasan bermain politik meskipun tak sedikit (jika boleh dibilang hampir semuanya) bermain politik uang. Meskipun cara-cara ini sangat tidak dibenarkan.

Meskipun dalam bahasa politik, politisi selalu mengaitkan jargon money politik ini dengan istilah beramal, sedekah, sumbangan atau apapun. Yang jelas bentuknya adalah membayar calon pemilih agar menambatkan suaranya kepada sosok partai atau caleg tertentu. Jika dibilang beramal atau sedekah tentu saja tidak ada yang salah dalam hal ini. Tapi sayangnya, sedekah ini diberikan tatkala perhelatan akbar dimulai. Pertanyaannya kenapa tidak dari dulu mereka bersedekah? Tidak jauh-jauh hari mereka menyumbang ke masjid atau lembaga tertentu?. Nah, jika sumbangan mereka sudah sejak lama dilakukan sepertinya kesan politik curang akan dapat dihindari. Meskipun niatnya tetap sama mencari simpati sebanyak-banyaknya dari calon pemilih.

Melihat sudut pandang bagaimana para politisi ini bermain, seakan-akan memang gerakan serangan fajar-kata lain dari money politic-hakekatnya tidak mudah untuk dihapuskan. Tidak terbatas partai agamis maupun non agamis, mereka bermain cara-cara kotor ini. Dan ini real para caleg dan pengurus partai sendiri mengatakan bahwa "tak ada uang tak ada perahu". Dengan kata lain jika Anda ingin mencalonkan diri tentu saja harus berani keluar uang. Uang pun seperti yang terjadi baru-baru ini nilainya mencapai milyaran rupiah hanya untuk memenangkan pemilihan caleg. Apalagi pemilihan cagub, cabub dan yang lebih mengejutkan lagi jika dikaitkan dengan pemilihan presiden.

Tentu saja, tidak ada satu orang pun non partisan yang rela politik ini dikotori dengan permainan jual beli suara. Bahkan kesan yang muncul permainan curang ini banyak menimbulkan keresahan dan justru terjadi pembangkrutan pada diri calegnya. Tidak hanya kebangkrutan bagi caleg, terjadinya kegoncangan jiwa kerap terjadi. Dampaknya ketika cara-cara politik ini dilegalkan, maka permainan curang ini menjadi sah. Semua caleg dan partai bisa menggunakan cara-cara yang tidak jujur ini. Berbeda dengan para politisi yang cenderung menggunakan bermacam-macam cara untuk mengelabui calon pemilihnya. Mereka menganggap permainan curang ini sebagai tindakan legal dan sah dimata politik. Bahkan untuk menghilangkan kesan buruknya mereka menggunakan kata sedekah dan sumbangan. Meskipun ketika caleg tersebut tidak terpilih uang sumbangan pun akhiranya dicabut kembali. Sebuah gaya politik tak santun.

Tapi melihat tingginya ekspektasi permainan politik uang ini dalam bentuk bagi-bagi sembako maupun bentuk lembaran uang, hakekatnya rakyat sudah tak memperdulikan lagi bagaimana para politisi ini bermain. "Ada uang Anda saya coblos." Sebuah kondisi yang cukup memprihatinkan.

Namun, apalah artinya sebuah peraturan dan undang-undang yang dilanggar pun ternyata tak berdampak padapenyelesaian hukum pada kasus money politik ini. Meskipun pelaku money politik sudah dilaporkan ke Bawaslu faktanya di antara mereka yang terlapor tak satupun yang dijadikan tersangka. Dengan alasan kasus tersebut amat bias. Mereka beranggapan siapa yang memberi uang pun tak jelas. Apakah caleg yang menang atau justru caleg yang kalah. Segalanya menjadi tidak tentu arah dan undang-undang pelarangan money politikpun menjadi amat tumbul, mentah dan tak memberikan efek apa-apa.

Mereka menjadi terlapor dengan bukti-bukti akurat pun tak dapat dituntut secara hukum bahkan mereka dapat dilantik meskipun gugatan masih saja mengalir. Fakta yang cukup rumit.

Kalau memang para politisi dan masyarakat sepakat bahwa mereka berprinsip bahwa "tidak ada uang perahu tak datang" atau "Ada uang Anda saya Coblos" maka sepatutnya money politik ini dibiarkan saja, atau bahasa lazimnya dilegalkan sebagai hukum kontemporer ala politisi kotor.

Apalagi pada moment capres cawapres ini, seakan-akan gerakan money politik sudah mulai kentara dan serangan fajar sudah mulai dilakukan. Dari mana sumbernya pun sudah tidak lagi jelas, seperti halnya kasus ketika pileg yang begitu banyaknya bukti yang diungkap tapi tak satupun yang mengaku sebagai pelaku.

Bagi masyarakat yang menghendaki kejujuran dalam politik hakekatnya money politik tetaplah buruk dan zalim, tapi sekali lagi karena Indonesia sendiri sudah kadung kental dengan money politik maka sepertinya permainan ini dianggap sah dari pada tak jelas halal atau haram. Seperti halnya kasus pelacuran yang dilegalkan karena pertimbangan masyarakat penyuka sek bebas dan pertimbangan ekonomi PSK dan sang mucikari. Kalau menurut saya sih jangan dilegalkan, tapi bagaimana menurut Anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun