Mungkin penilaian saya ini jauh dari semua opini atau penilaian dari para kompasianer. Dan boleh jadi masing-masing pendukung kubu capres tersebut sama-sama tak sepaham dengan tulisan saya ini. Tapi, ya sudahlah, saya hanya menulis sedikit banyak yang saya tangkap dari hasil debat capres ke- 3 tadi malam.
Maksud tulisan ini pun bukan sebuah penilaian yang dapat dijadikan rujukan bahwa salah satu lebih baik atau lebih buruk. Tapi semata-mata merupakan tulisan orang desa yang ingin berbagi dengan pembaca budiman.
Saya melihat berdasarkan debat capres tersebut, Prabowo terlihat lebih bijak, dimana ketika beliau menanyakan bebera hal kepada Jokowi yang berkaitan dengan ketahanan negara, baik tentang hak-hak atas batas wilayah, kepemilikan saham indosat Prabowo selalu mengatakan "saya sepakat" bahkan ketika ada penonton yang bersorak justru Prabowo mengatakan para penonton debat seperti penonton bola. Mereka ribut-ribut melebihi ributnya capres dan cawapres.
Sikap Prabowo Subianto ini terbilang unik, tatkala semua capres yang bersaing memperebutkan kursi RI-1 tentu akan mengatakan ide dan konsep tentang kenegaraan akan selalu lebih baik. Sehingga yang muncul, jika kedua capres memiliki visi dan misi yang dianggap paling "menggigit" maka sang capres akan membela mati-matian konsepnya dengan alasan dan pertimbangan tertentu. Beliau tidak lantas menjatuhkan Jokowi tatkala Jokowi menjelaskan pertanyaan-pertanyaan Prabowo.
Meskipun dalam situasi tersebut dan menurut penilaian saya Prabowo sangat bijak, dengan mengatakan "setuju" dan sepaham dengan apa yang disampaikan Jokowi, secara tidak langsung Prabowo sudah mengakui bahwa Jokowi memang capres yang memiliki visi dan misi yang baik. Meskipun kata-kata "saya setuju dengan pak Jokowi" menjadi bahan gunjingan dan celaan di medsos termasuk Kompasiana. Yang pasti sikap bijak Prabowo ini sudah ditunjukkan, sebuah realitas sikap seorang negarawan yang sangat mendukung kemajuan Indonesia.
Namun, kondisi ini justru tidak menguntungkan Prabowo, di satu sisi Prabowo saya anggap bijak, tapi di sisi lain penentang Prabowo akan melecehkan dan membuli. Seakan-akan Prabowo hanya ngikut saja kata-kata Jokowi. Inilah salah satu dampak ketika percaturan politik bermain.
Di sisi lain, Jokowi adalah sosok yang cerdas, dengan visi dan misi yang dipaparkan terlihat jelas bahwa beliau benar-benar memiliki konsep yang applicable. Hal ini terlihat tatkala menjelaskan persoalan posisi beliau terhadap kasus perbatasan. Beliau mengatakan kurang lebih jika berkaitan dengan perbatasan, jika batas-batas wilayah tersebut memang riil mengambil wilayah Indonesia, maka Presiden siap menempuh kebijakan meskipun dengan resiko terberat apapun. Bahkan dalam ungkapan beliau tersirat pesan "seandainya wilayah tersebut benar-benar milik Indonesia, maka tak ada jalan lain ketika Indonesia harus menyelesaikan dengan perang, maka caraitulah yang ditempuh. Namun demikian, semua dikembalikan pada perundingan dan lobi agar penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cara damai.
Setelah pemaparan Jokowi, Prabowo pun mengatakan "setuju" dan merasa program Jokowi patut diapresiasi. Sehingga terlihat bahwa tidak ada satupun gelagat Prabowo untuk menjatuhkan Jokowi dengan statemen negatif. Berbeda dengan opini-opini yang berkembang bahwa keduanya "dianggap" bermusuhan dan saling menjatuhkan.
Persoalan lain tatkala ditanyakan persoalan kemerdekaan Palestina, Jokowi pun mendukunug sepenuhnya kemerdekaan Bangsa Palestina dan beliau pun mendukung negara itu menjadi anggota penuh PBB. Sebagaimana anggota-anggota lainnya.
Dugaan beberapa orang, bahwa Jokowi dianggap "antek" Israel sudah terjawab pada debat ke-3 ini. Dengan sikap tegasnya, beliau benar-benar membela Palestina dan mendukung sepenuhnya kemerdekaan Palestina dari bangsa Israel. Nah, jika Jokowi adalah antek Israel, maka akan kecil kemungkinan Jokowi melontarkan kata-kata tersebut. Meskipun menurut salah satu kompasianer ungkapan Jokowi ini dianggap blunder karena bertentangan dengan "fitnah" yang sampai saat ini berkembang.
Prabowo ketika ditanyakan persoalan negara, beliau dengan lugas mengatakan bahwa ketika Indonesia ingin dihargai bangsa lain, maka rakyat Indonesia harus sejahtera dan berdiri di kaki sendiri. Dengan kata lain, ketika Indonesia berharap menjadi negara yang berdaulat secara ekonomi, maka tak dapat disangkal lagi, rakyat Indonesia harus sejahtera secara ekonomi, dan tumbuhnya usaha-usaha kreatif yang turut mendongkrak kemandirian bangsa Indonesia. Dampaknya jika seluruh rakyat Indonesia bisa mandiri secara ekonomi, maka besar kemungkinan ekonomi negara dari sektor bisnis usaha kreatif akan meningkat pesat. Sehingga Prabowo pun menghendaki perusahaan-perusahaan di Indonesia selayaknya dinasionalisasi, yaitu semua perusahaan yang ada di Indonesia sepatutnya dimiliki oleh negara. Namun faktanya berdasarkan survey di media, justru dengan menasionalisasi perusahaan swasta, justru hanya beberapa perusahaan saja yang mau menjual asetnya kepada pemerintah. Sebagian besar menolak rencana tersebut.
Saya menduga, perusahaan tersebut menolak dinasionalisasi tentu para pengusaha memiliki perspektif berbeda, salah satunya lemahnya posisi pemilik perusahaan terhadap aset-aset mereka. Namun demikian, Prabowo menandaskan bahwa perusahaan yang hendak dinasionalisasi atau di kelola oleh negara adalah perusahaan manufaktur yang mampu menyerap tenaga kerja dari negeri sendiri.
Terkait sikap Prabowo atas kebocoran anggaran negara, tentu saja Prabowo menginginkan segala bentuk transaksi yang dirasa merugikan negara sedikit banyak hendak dipangkas dengan mekanisme yang lebih ketat. Meskipun ungkapan Prabowo ini justru dianggap menjadi blunder bagi Prabowo-Hata sendiri karena capresnya pun mantan Menteri Koordinator Perekonomian yang tahu betul teknis penyelenggaraan dan pengelolaan uang negara. Sehingga sangat besar kemungkinan justru Hatta Rajasa mengerti betul mengapa uang negara bisa hilang dan tak jelas kemana arahnya.
Tokoh Muhammadiyah Mendukung Jokowi, Blunderkah bagi Prabowo?
Terlepas dari penilaian subyektif saya terhadap Prabowo dan Jokowi di atas, sepertinya Jokowi mendapatkan angin segar tatkala mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh Muhammadiyah. Tentu saja bentuk dukungan tersebut paling tidak akan mengurangi suara Prabowo-Hatta dari Muhammadiyah. Meskipun secara umum pemuda Muhammadiyah membela Jokowi.Akan tetapi, yang pasti masyarakat dalam hal ini pengikut organisasi ini lebih bebas dalam menentukan pilihannya. Tidak dipaksa untuk memilih salah satu capres. Namun, dengan kata-kata tokoh Muhammadiyah tersebut paling tidak membuat Hatta Rajasa menjadi gerah, seandainya tokoh-tokoh tersebut mendukung Jokowi-Jk maka suara Jokowi akan semakin melesat tajam.
Begitu juga suara NU yang saat ini tidak pula dapat diprediksi, karena bagaimanapun juga NU bukan PKB dan PKB bukanlah NU. Karena PKB hanya satu bagian saja partai politik yang didirikan oleh masyarakat NU. Sedangkan sebagaimana keputusan Majelis Syuro NU, organisasi ini konsisten akan bersikap netral dan tidak memihak pada siapapun. Terlepas ada beberapa kiyai yang "katanya" mendukung Prabowo atau Jokowi yang pasti suara Kiyai tersebut tidak mewakili suara NU secara organisasi.
Dan sampai saat ini, NU tetaplah sesuai dengan khittahnya sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan. Sehingga sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakat, tak pantas jika NU dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Atau tokoh-tokoh partai justru memanfaatkan NU sebagai alat untuk memenangkan pergulatan politik.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H