Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Ketika Sesama Kompasianer Bertukar Nomor HP

20 Agustus 2014   18:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:03 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama ini, salah satu Kompasianer, Mas Tebe, mengirimkan sms via kompasiana dan saya juga membalasnya seperti apa yang ditanyakan. Kebetulan beliau meminta nomer HP yang tentu saja ingin mengetahui nomer kontak yang dapat dihubungi. Tidak hanya itu, saya pun memberikan nomer PIN BB saya.

Saya yakin Mas Tebe tidak hanya cuap-cuap kosong dan mengumpulkan beberapa nomer hp untuk dijadikan koleksi. Meskipun saya tidak tahu maksud yang sebenarnya.

Setelah saya berkirim nomor HP, beliau menelpon dan memastikan bahwa sayalah pemilik nomer tersebut. Kebetulan percakapan tidak terlalu lama, karena terlihat ada kesungkanan antara kami berdua. Maklum, kami belum sama sekali mengenal.

Mas Tebe hanya bertanya nama saya dan tempat tinggal saya, dan setelah itu terputus kemudian dilanjutkan via SMS. Saya pun menjawab namun tidak berlangsung lama. Karena saya sendiri karena waktu itu memang memiliki kesibukan jadi pembicaraan kami terpotong.

Kadang memang menjalin persahabatan itu tak mudah, mesti benar-benar mengenal karakter dan kesibukan masing-masing. Selain itu tentu ada privasi yang tak boleh dilanggar oleh masing-masing.

Dengan saling bertukar nomer HP tersebut, saya sih inginnya bisa berkomunikasi atau minimal bertanya terkait bisnis, buku-buku atau bertanya alamat dan jalan di Jakarta (kebetulan katanya beliau tinggal di Jakarta) jadi saya berharap ketika saya tersesat maka saya bisa bertanya pada sahabat kompasianer ini. Bahkan lebih dari itu, syukur-syukur kami bisa saling mengunjungi tempat tinggal untuk sekedar silaturrahmi. Itulah harapan kenapa kita sesama kompasianer harus saling sharing dan connecting, bukan justru mencari musuh.

Ingat kata bijak teman seribu kurang musuh satu terlalu banyak. Itulah gambaran bagaimana kita menjalin persahabatan di Kompasianer ini.

Mungkin tidak hanya saya yang ingin menjalin pertemanan atau persebatan yang lebih intens dengan sesama kompasianer. Karena sebagai sesama penulis di media sosial ini, tentu mengharapkan ada ikatan persaudaraan walau bukan persaudaraan sejati, tapi dengan saling mengenal satu sama lain akan terasa bahwa konsep awal saling berbagi dan terhubung sedikit demi sedikit.

Bukan mau promosi, tapi sedikit harapan ketika pertemanan lebih intensif maka kemungkinan besar ada silaturrahmi yang lebih baik. Akan berbeda jika kita tak pernah saling mengenal satu sama lain, maka akan terlihat sebuah jurang yang amat dalam. Jika batas tersebut menganga lebar, bukan tidak mungkin persahabatan akan terlihat dingin.

Kadang terlihat tak peduli, bahkan yang lebih rumit lagi tatkala persahabatan tersebut seperti tak memberi arti dan sebuah makna keikutsertaan kita dalam media sosial ini. Sehingga, sebuah persahabatan jika ingin dibangun dengan lebih intens, ada baiknya tidak hanya berkutat pada haha-hihi semata, tapi benar-benar sama-sama memberikan solusi, meskipun solusi tersebut pendapat-pendapat yang dianggap baik, meskipun adakalanya sebuah pendapat dari seorang teman tidak akan mempengaruhi keputusan dan hasil akhir dari sebuah persoalan.

Apalagi sudah setahun ini saya aktif di Kompasiana karena di tahun 2011 hanya sebatas pembaca dan sebagai member di Kompas.com. Saya mulai rajin menulis di awal Juni 2013. Tentu saja karena rasa gatal jika tak menyempatkan diri menyapa teman-teman sesama member dengan tulisan-tulisan sederhana.

Dengan bergabung dengan medsos ini, tentu saja bukan semata-mata membuang kotoran, tapi benar-benar ingin menjalin persahabatan lintas agama dan lintas budaya. Bahkan jika diperbolehkan persahabatan yang jujur bukan sekedar lip service berdasarkan lintas pendidikan. Maklum, bagi saya yang pendidikan dan jam tulis menulis (di Kompasiana) katergori masih sedikit, tentu saja berharap memiliki relasi pertemanan atau persahabatan yang benar-benar dibangun atas kesamaan tujuan. Tapi bisa enggak ya? Entahlah.

Yang pasti, saat ini saya berusaha tetap menulis, dengan banyak keterbatasan dan pengetahuan. Memiliki kenalan sahabat di kompasiana pun memberikan saya pengalaman dan pengetahuan yang tak terhitung jumlahnya dan tak ternilai harganya.

Mas Tebe dan sahabat-sahabat senior lain di Kompasiana saya anggap memiliki pengalaman lebih dalam hal tulis menulis, makanya saya pernah meminta buku hasil karyanya agar saya bisa membaca hasil karya yang ditulis beliau. Meskipun sampai saat ini keinginan saya pun belum terkabul. Ya sudahlah, suatu saat saya akan mencari dan membeli buku-buku milik Kompasianer di Gramedia dan mudah2an saja akan saya ketemukan. Tentu saja sebagai bahan pembelajar dan penambah pengalaman saya dari para senior.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun