[caption id="attachment_356145" align="aligncenter" width="544" caption="Kicauan Florence di Twitter (https://twitter.com/florencj_)"][/caption]
Saya tertarik berita akhir-akhir ini terkait adanya pernyataan seorang mahasiswa S2 yang dianggap melecehkan Provinsi Yogyakarta dengan sebutan yang tak pantas dalam akun Pathnya.
"Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal Jogja," tulis Florence.
Dan saya berusaha tidak turut campur terkait pemberitaan yang berkembang. Karena kesalahan ucap ini, akhirnya Florence Sihombing mesti berurusan dengan masyarakat Jogyakarta, khususnya pihak Universitas Gajah Mada yang menjadi institusi di mana ia saat ini tengah menempuh pendidikan S2-nya.
Tapi terlepas dari tindakan "ngawur" dan "khilaf" tersebut saya menduga mahasiswi ini memang terbiasa tak sabar melihat betapa antrinya pengisian BBM di salah satu SPBU di propinsi ini.
Karena tindakan khilaf, saya katakan khilaf karena beliau adalah manusia biasa yang sama seperti penulis kompasiana. Kita semua yang nimbrung di blog bersama ini, dan tentu saja semua rakyat Indonesia pun pernah khilaf dan mengucapkan kata-kata yang tak patut.
Semua kembali pada tabiat manusia sebagai makhluk yang tak sempurna. Seandainya kita yang merasa tersakiti dengan kata-kata itu maka amat wajar meluapkan emosi dan kembali memaki apa yang dilakukan Flo, tapi kembali kepada sifat dan jatidiri manusia adalah tidak lepas dari kesalahan. Ketika saat ini kita salah dan disudutkan karena kesalahan tersebut maka esok hari akan jadi pelajaran berharga.
Begitu juga dengan orang-orang yang "memaki-maki" secara sporadis maka orang-orang tersebut "boleh jadi" akan mengalami nasib yang sama tatkala "keceplosan" mengucapkan kata-kata yang tak sepatutnya. Kita yang awalnya mengatai dengan kata-kata buruk, esoknya bisa saja kita yang akan dimaki. Itulah konsekuensi hidup yang seringkali kita jalani dan tak dapat diprediksi.
Florence sudah melakukan kesalahan karena telah menghina Jogya dan sekaligus masyarakatnya. Tapi yang saya pahami masyarakat Yogyakarta, seperti juga keluarga saya keturunan Yogyakarta yang tinggal di Sumatera, tidak pernah membalas makian seseorang dengan sadis, tapi justru masyarakat Jogja selalu berusaha menjaga silaturrahmi dan menjalin pertemanan kepada siapa saja. Bahkan seandainya kami dihina pun akan kami jawab "yo wes ben seng waras ngalah" itu saja yang biasanya kami katakan dan tidak membalas apa yang diperbuat orang yang telah menyakiti kita.
Lalu bagaimana dengan ungkapan yang menjelekkan kota yang menurut saya masyarakat Yogyakarta amat ramah dan berbudaya luhur itu? Tentu saja kembali pada persoalan bahwa tidak ada makhluk yang sempurna. Entah siapa saja pasti suatu saat merasakan bagaimana mendapatkan celaan dari orang lain. Meskipun kita sudah melakukan yang terbaik tapi seringkali kita harus mendapatkan hinaan.
Sikap Florence Benar-benar Murni Wujud Kesatria
Saya bukan hendak membela siapa yang benar dan tidak pula mencela siapa yang salah. Tidak ada kepentingan untuk pribadi saya, karena meskipun saya juga keturunan Jogya, kesantunan dan etika tetaplah nomor satu. Bahkan seandainya ada masyarakat yang datang ke daerah kami, akan kami sambut dengan ramah dan hidangan yang lezat. Semampu dan sebisa saya. Paling tidak budaya Jawa tetap akan kami pegang hingga akhir hayat meskipun kami berada di perantauan.
Jika melihat ungkapan Florence yang meminta maaf kepada masyarakat Jogjakarta, saya salut dan bangga karena bersedia mengakui kesalahannya. Padahal "secara" mahasiswa S2 biasanya selalu membalas dengan alasan-alasan subyektif dan ingin membela diri.
Banyak orang yang tidak menyadari kesalahannya dan terus saja mencari pembelaan meskipun telah keliru dan salah dalam tindakan.
Tapi Florence berbeda, ia dan keluarganya justru secara terang-terangan mengatakan bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah kesalahan dan sepatutnya dimaklumi karena hanyalah manusia biasa. Dan tentu saja setelah itu harapannya sentimen SARA tak lagi terbentuk di bumi Yogyakarta lantaran kesalahan yang setiap orang bisa melakukannya. Sikap seorang mahasiswa yang sejatinya juga harus dihormati dan dihargai.
Tentu saja kedepannya tidak ada Flo-flo lagi ke dua, dan seterusnya yang akan melakukan perbuatan yang sama yang justru mencoreng nama baik pelakunya serta perguruan tinggi yang saat ini menjadi tempat menempa diri dan menggali ilmu.
Dan harapan terbesar adalah mudah-mudahan kesalahan tersebut segera dimaafkan oleh masyarakat Jogjakarta, sebagai pembuktian bahwa masyarakat Jogja selalu memegang tradisi ketimuran dan budaya yang terpuji dan patut ditiru oleh bangsa lain.
Kita adalah saudara, Jogjakarta adalah milik kita, mari kita jaga persaudaraan sejati di daerah ini, dan di daerah Indonesia secara seluruhnya. Karena hanyalah kita yang bisa merawat indahnya persaudaraan Jogya agar selalu menjadi corong sebagai kota pendidikan dan menjadi rujukan budaya atau tradisi luhur dari negeri kita tercinta.
Salam Indonesia Raya
Metro, 29-8-2014
Baca juga artikel terkait:
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/08/29/ramahnya-masyarakat-jogjakarta-684041.html
Berita terkait
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H