Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Ironi Hukuman Ratu Atut dan Hukuman Mati Akibat di "Massa"

3 September 2014   12:28 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:45 1863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Publik kembali digemparkan dan digegerkan oleh keputusan tak adil yang dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR). Kasus kejahatan yang termasuk kejahatan luar biasa ternyata hanya mendapatkan hukuman yang terlampau ringan. Ialah Ratu Atut Chosiyah yang mendapatkan hukuman 4 tahun penjara, denda 200 juta rupiah dan subsider kurungan 5 bulan.

Keputusan yang tak sesuai atas perbuatan terpidana karena ulahnya menyuap Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochar, bersama-sama dengan Tubagus Chairi Wardana. Penyuapan terkait sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, Banten dengan nilai suap 1 miliar rupiah.

Terang saja gegernya publik karena hukuman yang diberikan tak setimpal, ketika Ratu Atut dianggap melakukan tindak pidana "berlipat" seperti halnya yang dituduhkan beberapa waktu lalu, ternyata hanya dijatuhi hukuman 4 tahun penjara, denda 200 juta rupiah, ditambah subsider hukuman kurungan 5 bulan penjara. Padahal jika melihat dampak dari perbuatan tersebut, kemiskinan demi kemiskinan semakin menggurita di masyarakat yang dipimpinnya.

Hukuman yang menurut publik dirasakan terlampau ringan jika melihat kasus yang menyakiti hati rakyat ini. Padahal jika ditelaah lebih mendalam sepatutnya pelaku penyuapan ini semestinya dihukum lebih berat atas "dosa" yang telah diperbuatannya. Maklum saja kasus yang menimpa ratu Atut juga membuka kedok bahwa di Provinsi Banten telah terjadi dinasti pemerintahan yang berujung korupsi berjamaah.

Terlepas dari kasus yang saat ini mendapatkan hukuman yang "ringan" tersebut, dan jika kita melihat betapa beratnya sanksi sosial yang dilakukan terhadap aksi kejahatan kelas "teri" sepertinya benar-benar jauh dari rasa keadilan. Misalnya pencuri ayam yang tertangkap tiba-tiba dikeroyok massa hingga babak belur. Bahkan banyak di antara pelaku pencurian ini yang sampai meregang nyawa. Tak sedikit masyarakat yang gerah melihat para pencuri yang nilainya tak lebih dari 100 ribu harus diakhiri hidupnya dengan sadis, tapi bagaimana mungkin seorang pencuri uang rakyat hanya dijatuhi 4 tahun penjara? Ada apa dengan hukum di Indonesia.

Bahkan jika melihat beberapa kasus korupsi yang telah diputuskan hukumannya dengan hukuman yang terlampau ringan, dibandingkan juga dengan dampak kematian akibat aksi bakar massa yang berujung kematian pada si pelaku pencurian.

Bagaimana mungkin seorang penjahat kelas kakap dengan dampak korbannya rakyat banyak justru dihukum dengan hukuman yang ringan? Bahkan jika dibuka kembali kasus-kasus yang lampau, banyak pula di antara narapidana kasus korupsi yang akhirnya hanya dihukum beberapa tahun saja lantaran mendapatkan remisi. Sudah diremisi mendapatkan fasilitas yang mewah. Sangat kontradiktif jika dikaitkan dengan pelaku kejahatan pencurian ayam yang harus meregang nyawa akibat ulahnya yang hakekatnya tak seberapa nilainya. Meskipun sekecil apapun nilai barang yang dicuri ya tetaplah pencurian, tapi ketika disandingkan dengan kasus Ratu Atut dan dinasti yang dibangun di Provinsi Banten selayaknya seperti langit dan bumi.

Ada juga kasus pencurian karena sebuah timun atau semangka yang tak seberapa harus dihukum beberapa bulan penjara, padahal mencurinya karena terlilit persoalan ekonomi. Ia mencuri karena perutnya lapar. Sedangkan kasus korupsi dan penyuapan bukan karena persoalan kelaparan yang menimpa mereka tapi faktor keserakahan ingin menguras uang negara dan uang rakyat demi kekayaan pribadi dan keluarganya.

Begitu kerasnya hukuman bagi wong cilik. Telampau keji bagi penjahat kelas teri yang hanya ingin mengganjal perutnya yang kosong daripada hukuman terhadap kasus yang hakekatnya telah memiskinkan dan membunuh ribuan penduduk di negeri ini, khususnya di Provinsi Banten.

Berkaca dari ringannya hukuman Ratu Atut, Ketika hukum masih saja milik penguasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun