Dua partai politik yang awalnya mendukung sepenuhnya Koalisi Merah Putih (KMP) sepertinya sudah mulai mengalami sikap yang pro Jokowi. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya perwakilan kedua partai dalam acara Rakernas PDI-P di Semarang, Jawa Tengah.
Dengan hadirnya kedua perwakilan, atau setidaknya tokoh kedua partai ini paling tidak sudah menunjukkan sikap positif bahwa keputusan mereka tatkala melawan kebijakan yang mendukung rakyat semakin lama semakin disadari. Meskipun langkah kedua partai tersebut masih belum sepenuhnya dianggap mutlak. Karena belum memberikan pernyataan yang benar-benar mewakili partai. Karena selama ini beberapa partai yang tergabung dalam KMP seakan-akan masih jual mahal dan menunggu permintaan Jokowi agar mau merangkul mereka.
Sikap melemahnya PPP dan PAN hakekatnya buntut tekanan publik dan kegagalan kedua partai ini meraih simpati rakyat karena dengan ambisinya ingin memenangkan konstelasi politik tanpa memandang pergerakan suara di tingkat akar rumput. Misalnya, dengan mereka mendukung KMP berarti sudah melupakan suara-suara grass root yang justru mengakibatkan awal kekalahan KMP.
Saya menduga, dekatnya PPP dan PAN ke kubu Jokowi selain sebagai sinyal positif, sikap kompromistis kedua partai kebijakan Jokowi-JK terkait penempatan para menterinya, sepertinya sebuah sinyal kekhawatiran bahwa ketika mereka tetap ngotot menentang kebijakan presiden terpilih dan memilih menjadi oposisi sebuah kesalahan. Kesalahan akan kehilangan moment politik yang mereka bangun saat ini.
Tentu saja, PPP adalah partai tua yang sama tuanya dengan PDIP yang selama ini bisa menjalin kerjasama lintas partai demi tegakkan demokrasi rakyat, sedangkan PAN adalah partai yang muncul dalam era reformasi. Di mana saat itu pak Amien Rais sangat mendukung demokrasi rakyat. Sehingga ketika kedua partai ini tidak menentukan sikapnya mendukung pemerintahan Jokowi-JK, berarti mereka sudah melupakan eksistensi sebagai partai dari arus bawah dan partai yang menurut mereka adalah partai reformis.
Namun demikian, selain belum pastinya keputusan untuk bergabung dalam mendukung Jokowi-JK, paling tidak mereka akan kembali mendapatkan simpati rakyat karena telah mendukung sikap politik kubu Jokowi-JK untuk menegakkan demokrasi yang benar-benar menampung suara rakyat bawah.
Kontra sikap PAN terkait Pemecatan Wanda Hamidah
Baru-baru ini pula Wanda Hamidah dipecat oleh PAN. Pemecatan Politisi PAN ini diawali oleh sikap Wanda Hamidah karena mendukung Jokowi-JK, baik geraknya dalam kompetisi Pilpres 2014, maupun tatkala ada silang pendapat antara pro atau kontra RUU Pilkada. Pihak PAN memecat salah satu kadernya seakan-akan menganggap bahwa perbedaan pandangan sebuah kesalahan. Meskipun dalam aturan AD/ART partai para kadernya harus mendukung keputusan tertinggi partai. Namun karena keputusan ini keinginan Wanda Hamidah mendukung Pilkada Langsung, maka dia pun dicoret dari PAN. Tapi yang salah dari PAN adalah ia akan kehilangan salah satu kader terbaiknya di PAN, sama halnya keputusan Gerindra yang ingin memecat AHOK karena sikapnya mendukung Pilkada langsung.
Sikap pro dan kotra PAN terkait RUU Pilkada hakekatnya menunjukkan bahwa PAN tengah mengambil posisi aman, tapi dengan menghakimi kadernya sendiri. Boleh jadi karena sedari awal ingin mendukung KMP sampai terbentuknya kabinet yang definitif. Tapi PAN tak ingin kehilangan moment. Jika saat ini partai ini mendukung RUU Pilkada, bukan tidak mungkin suara arus bawah akan meninggalkan PAN.
Tapi yang cukup aneh, ketika partai ini mendukung Jokowi-JK kenapa mereka memecat Wanda Hamidah. Bukankah ini sebuah dualisme kepentingan?
Di satu sisi PAN ingin merapat ke Koalisi Jokowi-JK tapi di lain pihak tidak menghendaki kadernya mengambil keputusan pribadi dan menentang dukungannya terhadap RUU Pilkada.