Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masalah RUU Pilkada, Kompasianer Mulai Mlempem

24 September 2014   12:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:43 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini jika dirunut beritanya menjadi semakin menarik saja. Kadang berita yang seharusnya 'gak perlu dibahas ternyata masih saja bergulir dan tak menemui titik temu, mana benar dan mana salah alias "nggak jelas" apakah A yang benar atau sebaliknya B yang benar. Padahal ketika berbicara hukum tidak ada istilah kata-kata abu-abu, kalau benar ya benar kalau salah ya salah. Dan itu disepakati oleh semua orang.

Seperti halnya kasus matematika anak SD yang juga belum jelas arahnya. Bahkan kalau semakin diperhatikan pernyataannya semakin "ngaco" meskipun sudah dijelaskan secara mendetail oleh ahlinya, toh kesimpulannya juga belum jelas. Sayangnya pegawai kementrian pendidikan justru memberikan pernyataan yang sama kurang jelasnya terkait cara melakukan perkalian.

Tapi ya sudahlah mungkin apa karena takut semakin heboh, atau persoalan lain. Yang pasti, saat ini semakin jelas bahwa jangankan masyarakat yang kurang konsisten kementrian sendiri sulit menjelaskan dengan pasti. Segalanya menjadi abu-abu.

Kembali pada persoalan antara benar dan salah, di luar konteks kepentingan, sejatinya kompasianer termasuk saya sendiri akhir-akhir ini kurang begitu antusias membicarakan atau mengopinikan tentang RUU Pilkada, apakah ini sebuah sinyal negatif, bahwa kita mulai setuju bahwa Pilkada memang disepakati oleh para awak kompasianer dengan cara keterwakilan, tidak mendukung demokrasi secara langsung seperti yang telah terjadi pada pemerintahan sebelum-sebelumnya.

Apakah kompasianer sudah lupa atau mulai malas membicarakan RUU Pilkada ini? Padahal RUU Pilkada sangat berkaitan dengan bagaimana sebuah pemerintahan (kepemimpinan) daerah dibangun dan diletakkan sesuai proporsinya. Bahwa kita sepakat negeri ini ingin benar-benar dibangun dengan demokrasi rakyat dengan sepenuhnya, dan pemerintahan benar-benar karena didukung oleh partisipasi publik dan bukan keterwakilan. Seandainya para rakyat sudah sudah sepakat dengan pemilihan kepala daerah diwakili oleh anggota legislatif, maka sudah cukup untuk diperbincangkan.

Biarkan saja sejarah indah demokrasi yang mengikutsertakan partisipasi rakyat daerah untuk menentukan pilihannya ini diakhiri dengan arogansi parlemen yang ingin kembali menguatkan posisi sebagai penetu kebijakan daerah. Padahal sedari dulu mereka sudah memiliki peran membuat peraturan daerah dengan persetujuan kepala daerah. Tapi kalau sepakat semua kebijakan di tangan wakil rakyat di DPR, berarti kita kembali menjalankan demokrasi parlementer. Parlemen yang berkuasa, Bupati, Gubernur dipilih oleh anggota legislatif, bahkan mungkin Presiden akan dipilih mereka juga (DPR). Sebuah keadaan yang mengkhawatirkan.

Kalau misalnya dampaknya lebih enak presiden dipilih DPR, maka hegemoni parlemen benar-benar akan terjadi di setiap level pemerintahan kita. Maka jangan heran, seorang kepala daerah atau kepala negara menjalankan negara tanpa memiliki sikap, karena semua sudah disetting oleh kebijakan parlemen. Benarkah kita masih bingung antara demokrasi yang benar-benar suara rakyat atau suara dewan?

Selain risiko kepemimpinan daerah kembali berada posisi terhegemoni oleh anggota dewan, permainan uang sepertinya akan menjadi sebuah virus yang siap-siap menerjang pemerintahan republik ini selanjutnya.

Meskipun pertempuran opini awalnya semakin jelas antara mendukung dan yang menolak sistem demokrasi daerah ini, namun saat ini semakin bias saja. Saya menduga ini adalah pertanda bahwa kita memang sepakat pilkada dilakukan secara keterwakilan. Jadi rakyat tinggal menunggu saja hasil pemilihannya menurut anggota dewan. Ya sudahlah kalau memang sepakat demikian, berarti sudah tidak ada kesempatan lain bagi bangsa Indonesia untuk menegakkan demokrasi seadil-adilnya tanpa intimidasi. Rakyat siap-siap menutup mata dan tinggal menunggu apa yang terjadi.

Mudah-mudahan saja sikap mendukung atau tidak mendukung murni panggilan jiwa, bukan karena unsur kepentingan kelompok tertentu atau kepentingan pribadi.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun