[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="(Sumber: Kompas.com)"][/caption]
Kemenangan koalisi pengusung Jokowi-JK tatkala hajat pilpres kemarin sebenarnya sudah di depan mata, karena secara dejure dan defakto MK sudah memutuskan menolak semua gugatan dari Koalisi Merah Putih atas dugaan pelanggaran pilpres kemarin. Sehingga sudah dapat dipastikan posisi KMP di bawah koalisi JW-JK. Meskipun kemenangan dalam sidang MK itu pun tak pelak mengundang pro dan kotra dari kedua kubu yang saling bersaing.
Setelah kemenangan mutlak kompetisi meraih kursi Presiden dan Wapres, ternyata tidak semulus sewaktu sidang pembahasan RUU Pilkada dengan kemenangan telak dari kubu KMP. Sudah dapat dipastikan, saat ini peta politik di daerah sudah berada dalam genggaman koalisi merah putih. Meskipun ada beberapa pengamat yang menyangsikan kondisi ini.
Aka tetapi, secara logika jika ternyata keputusan pemilihan kepala daerah ternyata di bawah kendali DPRD di mana saat ini suara terbanyak berada dalam koalisi merah putih, tentu saja sebuah tantangan terberat bagi Jokowi-JK dalam mengatualisasikan program-program kerja lima tahun mendatang. Hal ini disebabkan kondisi di arus bawah ternyata lebih banyak dikuasai yang mengusung Prabowo-Hatta tersebut. Sehingga pada akhirnya kewenangan pemerintahan pusat dalam hal ini kebijakan Presiden, tentu akan mendapatkan resiko perlawanan dari parlemen daerah selaku yang memiliki kebijakan memilih kepala daerah.
Satu sisi di tataran kepala negara, presiden dan wakil presiden diharapkan dapat mewakili rakyat bawah, ternyata sampai di daerah posisinya justru terbalik, karena diyakini ataupun tidak semua kebijakan terkait pemerintahan daerah justru berada dalam wilayah kekuasaan parlemen daerah. Tentu saja karena sosok kepala daerah setengahnya menjadi kepanjangan tangan dari dewan. Dampak negatifnya, sudah pasti kebijakan pro rakyat bisa saja dimentahkan jika antara kepala daerah dan parlemen justru terlibat lobi-lobi politik yang kotor demi memuaskan hasrat kekuasaan mereka. Semoga saja tidak terjadi. Meskipun semuanya bisa terjadi dan sangat mungkin terjadi, di mana Presiden seperti memimpin wilayah-wilayah yang dahulunya menjadi kantung suara dari partai-partai pengusung Jokowi-JK, sedangkan untuk wilayah lain tentu menjadi sebuah preseden buruk.
Aksi walkout kader demokrat menjadi titik didih kemenangan KMP
Kemenangan kubu merah putih yang sejatinya sudah diprediksi sebelumnya pun ternyata benar-benar terjadi. Meskipun beberapa kader dari koalisi JW-JK sudah mengadakan lobi-lobi pada partai demokrat ternyata justru partai demokrat lebih melakukan walk out. Karena aksi inilah keputusan pemilihan kepala daerah melalui mekanisme anggota dewan menjadi paripurna. Beberapa pengamat politik termasuk kompasianer sendiri mengatakan dengan tidak diterimanya keputusan DPRD terkait UU Pilkada tersebut, mau tidak mau keputusan itu tidak dapat dilaksanakan. Meskipun setelah melihat UUD 1945 pasal 20 ayat 5 bahwa seandainya presiden tidak menandatangani keputusan dewan tersebut setelah 30 hari undang-undang tersebut tetap akan berlaku. Sebuah amandemen undang-undang yang sedikit banyak telah memberangus kewenangan kepala negara dalam setiap undang-undang. Padahal siapakah yang melaksanakan UUD tersebut? Tentu Presiden sebagai lembaga eksekutif yang menjalankan roda pemerintahan. Sebuah undang-undang produk amandemen yang sedikit aneh dan setengah memaksa presiden untuk mengikuti keputusan sepihak dari DPR.
Terlepas dari ketidakterimaan presiden SBY terkait diketok palunya Undang-undang Pilkada tersebut, tentu ada yang paling dianggap bersalah. Yaitu Partai Demokrat sendiri. Dan ketika berbicara partai tentu kebijakan tertinggi berada di tangan ketua umum. Dalam hal ini Presiden SBY selaku kepala negara sekaligus merangkap ketua umum partai.
Terjadi ambiguitas kepentingan partai demokrat dalam sidang pembahasan RUU Pilkada tersebut, Pertama, sebagai partai yang saat ini berkuasa tentu sedikit banyak ingin menempatkan posisinya pada situasi yang paling aman, aman dari ancaman tekanan partai lain yang tergabung dalam KMP atau rakyat pada umumnya. Partai demokrat ingin berada dalam jalur yang paling aman. Apalagi beberapa permintaan partai demokrat yang tidak diterima oleh pemimpin sidang. Tentu hal ini berimbas pada semakin kecilnya nilai tawar partai ini di tingkat parlemen. Apalagi saat ini partai demokrat tengah dirundung persoalan kadernya yang juga telah bermain api dan sedikit demi sedikit menengelamkan popularitas Presiden SBY dan partai Demokrat dalam kancah perpolitikan di negeri ini. Padahal dua periode silam (2004-2014) posisi Partai Demokrat sebenarnya sudah mendapatkan simpati rakyat. Terbukti pileg dan pilpres 2014 suara perolehannya masih cukup signifikan. Meskipun jauh turun dari periode sebelumnya.
Boleh jadi semakin menurunnya citra PD beberapa bulan terakhir akibat para kadernya sudah merusak reputasi partai. Partai yang sempat mengusung semangat anti korupsi ternyata para kadernya justru yang paling banyak disidang karena kasus ini.
Mau tidak mau, partai demokrat ingin mendudukkan posisi di tengah-tengah, antara mendukung pilkada langsung maupun tidak langsung. Yang pasti sikap ini diharapkan posisi pemilihnya masih tetap aman. Walaupun ternyata justru keputusan walk-out para kadernya ini justru mengundang hujatan dari kalangan netizen dan masyarakat luas lantaran karena sikapnya ini RUU Pilkada pun akhirnya berhasil diketuk palu. SBY meradang, karena keputusan tertinggi partai ini tidak diikuti oleh para kadernya.
Posisi Presiden SBY selaku posisinya sebagai ketua umum PD, pun sama nasibnya dengan Prabowo yang justru ditelikung oleh kader-kadernya yang juga mendukung pilkada langsung dan mendukung terpilihnya Jokowi-JK.
Karena Walk-out, PD kehilangan moment dan simpati rakyat
Saya mengatakan simpati rakyat tentu saja rakyat yang mendukung pemilihan kepala daerah secara langsung, dan tidak berlaku bagi rakyat yang mendukung pilkada melalui DPRD. Karena sampai saat ini saja dua kubu yang berbeda ini memiliki massa yang sama-sama memiliki keinginan antara pilkada langsung atau tak langsung.
Mungkin Partai Demokrat sedikit bisa aman karena bisa menghindari konflik pentingan di kalangan elit partai lain, toh meskipun saat ini saja keputusan PD tidak jelas antara mendukung pilkada langsung maupun tak langsung. Tak jelas sikap karena kepentingannya tidak diapresiasi ketua sidang.
Meskipun dari beberapa pembicaraan tatkala kunjungannya ke Amerika Serikat, Presiden SBY tetap mendukung apapun keinginan rakyat, karena kapasitasnya sebagai presiden. Seandainya kapasitasnya dikembalikan pada partai tentu keputusannya bisa saja berbeda.
Terlepas dari ambiguitas partai demokrat plus presiden SBY selaku petinggi partai ini, tentu saja menjadi pelajaran berharga, bahwa ternyata merangkap jabatan antara presiden dan ketum partai sedikit banyak menelikung kebijakan yang bersifat personal. Semua dikembalikan kepentingan yang berbeda. Di sisi partai, posisi partai demokrat masih mendukung Prabowo, dan KMP yang menghendaki pilkada tidak langsung, tapi sebagai seorang kepala negara, Presiden SBY berusaha tetap netral dan menangkap semua suara arus bawah yang berkembang tak tentu arah tergantung isu-isu panas dan kondisi-kondisi negatif terkait pilkada langsung. Tapi sekali lagi, sebuah resiko seorang kepala negara yang merangkap jabatan, tentu akan berada pada situasi yang cukup sulit. Apalagi menurut hasil keputusan sidang UU Pilkada tersebut tentu terjawab sudah, bahwa sepatutnya seorang kepala negara terlepas dari kepentingan partai. Sehingga apapun keputusannya adalah murni sikap kepala negara yang harus mengayomi kepentingan seluruh rakyatnya.
Lalu, bagaimana dengan hujatan yang dialamatkan kepada Presiden SBY? Hanya si penghujatlah yang bisa menjawab kenapa mereka melakukan itu.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H