Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nilai Lomba Komputer 9,8 Gagal Melanjutkan Pendidikan

7 Oktober 2014   22:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:00 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedikit banyak saya mempercayai sebuah slogan klasik, bahwa "tak ada uang maka cita-cita melayang". Seperti halnya tulisan ini lahir dari keprihatinan saya tatkala melihat salah satu kerabat yang kebetulan adalah adik sepupu curhat dan menyampaikan keluhannya lantaran ia gagal masuk ke lomba tingkat nasional program teknisi IT / Komputer. Sebut saja namanya Ajad, ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Anak yang menikmati usia sekolah tanpa orang tua (ayah) di sisinya karena wafat. Meskipun ia memiliki beberapa orang kakak, tapi karena merekapun memiliki kebutuhan hidup untuk keluarga sendiri maka untuk membantu biaya sekolahnya urung bisa dilakukan. Ajad sebenarnya anak yang memiliki kecerdasan yang baik, bersekolah di SMK Negeri di salah satu  kota di Lampung Timur. Meski tak memiliki biaya ia nekad belajar di daerah ini karena awalnya mengikuti saran sang kakak yang katanya ingin menyekolahkan sampai selesai. Namun dengan alasan tertentu ia lebih memilih tinggal di sebuah kost-kostan dengan biaya murah demi menyelesaikan pendidikannya. Pada awalnya ia hampir berputus asa lantaran tak memiliki biaya sekolah, tapi setelah dilakukan wawancara sekolah, ia pun lolos mendapatkan beasiswa anak miskin. Dan sampai selesai ia bebas biaya alias gratis. Sebenarnya menjadi siswa "miskin" bukanlah harapannya, tapi apalah daya, tak ada yang mau dan meminta ia terlahir dengan keluarga yang sederhana. Jangankan untuk pendidikan dengan fasilitas yang cukup, ia bisa sekolah saja sudah lumayan. Anak ini tergolong pendiam tapi melihat prestasinya di sekolah ia pun tak kalah bersaing dengan anak-anak juara di sekolah tersebut. Meskipun predikat juara pertama ternyata bukan murni karena prestasi, tapi ada unsur X yang ternyata masih dimainkan oleh para guru dan ortu demi predikat rangking. Tapi bagaimanapun ia tetap menganggap bahwa temannya memang sudah mujur, bisa mendapatkan ranking di kelas. Sedangkan dirinya harus rela menerima predikat lima besar saja. Awal sekolah ia menumpang di salah satu kakaknya yang kebetulan sudah berkeluarga dan berkecukupan. Tapi saudara kan yang laki-laki, sedangkan yang perempuan hanyalah kakak sepupu. Tak mungkin pula mencintainya secara penuh. Melainkan lebih mencintai anak-anaknya sendiri. Karena melihat usahanya ingin sekolah merelakan dirinya harus ikut kakaknya yang tinggal di Lampung Timur, tapi entah apa pasal, kira-kira kelas 3 ia memutuskan untuk indekost demi konsentrasi dalam belajarnya. Menempati salah satu kamar kost pun dengan ongkos yang teramat murah, ia mau menjalaninya lantaran tak ada lagi sosok yang bisa membiayai sekolahnya dengan fasilitas yang meamdai lantaran sang ayah sudah wafat terkena penyakit cancer yang menggerogoti tubuhnya. Apa yang dia cita-citakan bisa lulus SMA di sekolah negeri ternyata terjawab sudah, ia lulus dengan nilai yang cukup tinggi pada materi komputer 9 (sembilan), meskipun nilai tinggi dalam bidang jurusannya saat itu, ia harus menyerah lantaran matematikanya mendapatkan nilai 5. Nilai kecil yang ketika diakumulasi keseluruhan nilai rata-rata hanyalah 6,9. Sebuah nilai perolehan yang kecil meskipun di beberapa nilai lain sudah sangat besar. Namun persoalannya bukan karena nilai matematika yang kecil, tapi karena kegagalan dirinya hendak mendaftar di perguruan tinggi lantaran ketiadaan biaya. Seandainya orang tua masih genap mungkin impiannya tak kandas begitu saja. Tapi karena sang ibu hanyalah pemilik warung kecil-kecilan sedangkan kakak-kakaknya semua mempunyai tanggungan yang juga tak ringan, maka ia pun merelakan masa depannya kandas karena tak ada biaya sedikitpun untuk melanjutkan pendidikan. Saya merasakan keprihatinan dengan apa yang dialami anak ini, meski saya prihatin dan ingin membantu, tapi apalah daya kami pun masih memiliki beban kehidupan yang tak juga ringan. Karena juga harus menyekolahkan adik sendiri di SMK.

*****

Belum lama ini, kira-kira pertengahan bulan Agustus ia diikutkan oleh sekolah mewakili Kabupaten Lampung Timur untuk mengikuti lomba tingkat propinsi, dan tembus ia mampu menjadi juara pertama dengan nilai 9,8 di bidang teknisi komputer. Mendengar berita kemenangan ini saya sangat terharu dan bangga karena prestasi yang diperolehnya. Namun sayang entah permainan apakah sebenarnya, seorang anak yang hakekatnya pantas masuk lomba tingkat nasional harus kandas dengan alasan-alasan yang tak masuk akal. Tiba-tiba keputusan tim penjaringan peserta lomba tingkat nasional justru membatalkan tiket si Ajad untuk bisa masuk bursa lomba tingkat nasional. Menurut ceritanya katanya karena saat ini ia sudah kelas 3 jadi tak berhak lagi mengikuti lomba. Meskipun hati saya turut kecewa, tapi melihat alasan yang mengharuskan masih bersekolah maka saya pun memaklumi karena itu alasan prinsip. Terlepas dari gagalnya mengikuti lomba tingkat nasional mewakili Propinsi Lampung, ternyata cita-citanya ingin mengenyam pendidikan yang lebih tinggi juga belum tercapai. Semua diawali karena ketiadaan biaya. Padahal, ketika ia bisa lolos lomba tingkat nasional, paling tidak jika bisa mampu tembus 3 besar dalam perlombaan itu, hadiahnya bisa untuk persiapan kebutuhannya. Syukur-syukur bisa mencari informasi beasiswa dan tambahan pendaftaran, tp sekali lagi, seringkali kesempatan urung dapat dinikmati lantaran terlalu banyak orang yang menginginkan kesempatan tersebut meskipun taraf ekonomi mereka sudah mencukupi. Dampaknya tak sedikit anak-anak yang berprestasi dalam bidang tertentu harus terkendala ketika harus mengikuti program pendidikan lebih tinggi. Karena koneksi kadang sebuah prestasi sedikit diabaikan. Kepentingan sesaat demi pesanan orang-orang tertentu prestasi anak "miskin" pun tergadaikan. Padahal semua anak berhak memperoleh pendidikan yang layak. Ketika Ekonomi Menghambat Siswa Berprestasi Selain karena koneksi dengan pihak panitia lomba, persoalan uang juga turut menjadi faktor penghambat seorang siswa yang berprestasi bisa tembus tingkat nasional. Dan itu sudah menjadi rahasia umum, bahwa yang mewakili tingkat nasional seringkali bukan anak-anak yang benar-benar berprestasi. Terbukti meskipun nilai lombanya mendekati 100 tapi ia harus merelakan kesempatannya kandas dan diserahkan kepada anak lain meskipun nilainya selisih jauh dari nilainya. Padahal menurut keterangan sang juri lomba, nilai Ajad ini adalah tertinggi sepanjang sejarah lomba diadakan di wilayah ini. Sebuah prestasi yang membanggakan. Terlepas prestasinya dalam bidang IT dan Teknisi komputer dan jaringan, ternyata tak serta merta ia bisa mendapatkan tiket beasiswa di salah satu perguruan tinggi nasional. Entah, apakah surat panggilan justru diambil pihak lain atau apalah ia pun kurang mengerti. Tapi sekali lagi, bahwa kemiskinan seringkali menghambat seseorang untuk meraih pendidikan yang diinginkannya. Jangankan di sebuah universitas yang mahal, di pergruan tinggi yang murahan saja usahanya belum membuahkan hasil. Mungkin apa yang dialami Ajad juga dialami oleh siswa-siswi lain di Indonesia. Mereka dengan kemampuan tinggi dalam bidang tertentu ternyata tidak mampu membawanya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lantaran ketiadaan biaya dan kesempatan. Mereka hanya mencari dan mencari kesempatan tapi selalu saja kalah bersaing dengan yang memiliki cukup uang. Dalam seleksi beasiswapun kadangkala tak berjalan mulus. Ada saja prilaku oknum yang sengaja merekayasa nilai demi mendapatkan pundi-pundi uang. Anak-anak yang berprestasi harus tersisih oleh siswa dari seorang yang berkedudukan tinggi. Nasibnya mungkin akan sama yang dialami oleh temannya yang bernama Hendri (bukan nama sebenarnya) dia mendapatkan peringkat pertama di SMK yang sama tapi nasibnya bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi harus kandas di tengah jalan. Terpaksa, daripada ia menganggur dan tak bisa sekolah, ia pun rela bekerja sebagai honorer di sekolah yang sama dengan gaji rendah alias pas-pasan. Kisah di atas hakekatnya masih banyak kita temukan, anak-anak yang berprestasi gemilang masih banyak yang belum menikmati kemudahan dalam mengenyam pendidikan. Apalagi dewasa ini perguruan tinggi negeri mematok biaya pendidikan yang mahal sehingga tak mampu diikuti oleh anak-anak dari keluarga miskin. Lembaga pendidikan acapkali menjadi alat mencari uang, mereka membuka sebuah yayasan atau lembaga pendidikan dengan tujuan mencari kekayaan dengan memeras uang orang tua siswa. Semoga saja, kedepannya pemerintah lebih memberikan kesempatan yang luas bagi anak-anak bertalenta dan berprestasi di sekolahnya. Agar anak-anak berprestasi ini mendapatkan kesempatan yang sama mengenyam pendidikan. Harapannya semua anak Indonesia menjadi generasi penerus yang cerdas dan kompetitif dalam dunia global meskipun dari segi ekonomi adalah golongan sederhana. Salam Gambar; suneducationgroup.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun