Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ironis, Tatkala Guru (Selalu) Disalahkan

17 Oktober 2014   22:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:38 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Prihatin dan miris adalah kata-kata yang selalu saja tersirat dalam sanubari dan benak masyarakat Indonesia saat ini. Bahkan tanya perasaan yang muncul karena tak sedikit pula yang seketika itu pula mengatakan bodoh dan tak pantas menjadi guru lantaran tersiar kabar tentang kekerasan yang terjadi di sebuah lembaga pendidikan. Baik kekerasan yang terjadi antar siswa maupun antara guru dan siswa, tanpa melihat dahulu duduk persoalannya. Seolah-olah mereka yang mencela dan menuduh semua persoalan dalam dunia pendidikan adalah murni kesalahan guru padahal guru hanyalah satu unsur saja dalam dunia pendidikan. Karena ada faktor lain yang juga menentukan dalam proses pendidikan.

Dan anehnya lagi para komentator begitu mudah memberikan stempel buruk kepada para pendidik ini. Mendengar serangkaian hujatan saya hanya bisa mengeluhka betapa bangsa ini terlalu picik dalam menilai sesuatu.

Ada beberapa hal yang hakekatnya seringkali dialami para guru terkait bidang tugas mereka.

Pertama: tatkala guru mengeluh terkait kesejahteraan

Kesejahteraan dan kesempatan dalam memperoleh hak-hak tertentu yang sejatinya juga menjadi hak guru dianggap tabu. Misalnya tatkala guru menginginkan kehidupan yang baik dengan gaji yang sesuai pun seringkali mendapatkan pertentangan di mana-mana, bahkan dengan menyuarakan hak seorang profesional pun tak sedikit yang menghasilkan hujatan saja. Bahkan stigma yang terbentuk dalam masyarakat kita bahwa guru itu harus miskin, harus sederhana dan mesti menerima konsekuensi apapun terkait pilihannya ketika menjadi guru. Mungkin jika disepadankan kondisi kehidupan guru seperti si Umar Bakri bahwa guru mesti miskin dan hidup ala kadarnya. Percaya atau tidak kondisi menunjukkan hal yang demikian. Bahkan amat anehnya ketika pemerintah memberikan tunjangan kesejahteraan ternyata tak menyentuh kepada persoalan kehidupan guru secara komprehensif.

Orang-orang yang picik pikir selalu mengatakan bahwa guru tak layak sejahtera. Padahal baik-buruknya pendidikan kita pun juga dipengaruhi oleh kesejahteraan guru. Bagaimana mungkin mereka bisa menjalankan tugasnya dengan baik jika kehidupannya belum nyaman dan belum memperoleh derajat seorang yang telah berjasa. Bahkan lebih dari itu karena predikat pahlawan tanpa tanda jasa maka tak pantas pula para abdi negara ini menuntut kenaikan gaji misalnya. Sungguh penilaian yang tak adil.

Kedua : Ketika terjadi kenakalan siswa semua dikembalikan kepada guru

Tak habis pikir pula ketika terjadi kenakalan pada siswa semua nya disalahkan kepada guru, guru selalu dalam posisi yang keliru. Tapi mereka yang menyalahkan guru tak berpikir bahwa kehidupan anak-anaknya lebih banyak dihabiskan dirumah dandi lingkungan di mana mereka berada. Bagaimana buruknya para orangtua dalam mendidik anaknya. Para orangtua terlalu asyik dengan aktivitas mereka sendiri, padahal anak pun membutuhkan perhatian dan pengawasan yang intensif.

Bagi sebagian orangtua memilki anak hanya butuh diberi makan, seabrek permainan yang seringkali tak layak bagi sang anak. Bahkan lebih dari uang jajan dianggap cukup menggantikan peran orangtua karena sibuknya dalam pekerjaan. Pantas saja anak-anak sekarang bertumbuh menjadi generasi yang labil dan tak berbuday luhur.

Mereka menyalahkan guru padahal kesalahan orangtua juga yang abai kepada anak-anaknya. Dan ironisnya lagi setiap kekerasan pada anak selalu diidentikkan dengan kesalahan gurunya. Lalu kemana orang tuanya?

Ketiga : Ketika siswa berprestasi orangtua dan lingkungan memuji siswanya saja tanpa melihat siapa gurunya, tapi ketika anak melakukan kesalahan guru menjadi korban hujatan.

Hal inipun kerap terjadi dalam lingkup masyarakat kita secara mikro maupun masyarakat bangsa ini secara makro. Dimana tatkala anak-anaknya mendapatkan prestasi urung pujian dan ucapan terimakasih diberikan kepada gurunya, tapi tatkala anaknya mendapatkan prestasi buruk segera saja surat protes segera dilayangkan. Bahkan ada pula yang berbuntut ancaman kekerasan. Apalagi tatkala sang guru memberikan hukuman yang mendidik maka tak sedikit guru yang mendapatkan sanksi hukum dengan alasan tertentu. Padahal seorang anak merupakan titipan yang tentunya akan dididik sesuai dengan tanggung jawab penuh meskipun sangat anak sangat lah lemah intelegensinya.


Keempat : Jika semua kesalahan adalah tanggung jawab guru, maka sepatutnya kesejahteraan pun dimiliki semua guru. Itu jika ingin adil.


Seperti yang tertulis di awal tulisan ini bahwa guru pun abdi negara yang seharusnya berada pada posisi yang sama dengan abdi negara yang lain. Bahkan kalau boleh memilih guru harus berada setingkat lebih tinggi dari pegawai negeri lainnya, bahkan pejabat sekalipun karena tanggung jawabnya yang maha berat. Sehingga tidak ada alasan sedikit pun bagi guru untuk meminta kesejahteraan atau mengeluh lantaran urusan ekonomi. Jadi para guru ini benar-benar menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun