Menilai seseorang selalu mudah saja dilakukan, apalagi untuk menilai hal-hal yang bersifat negatif, tentu tak membutuhkan aturan-aturan baku terkait penilaian seseorang ini. Karena kalau sudah negatif yang muncul tentu yang buruk-buruk. Meskipun apa yang menurut pandangan seseorang buruk boleh jadi ada sisi lain ada juga yang baik.
Tak jauh-jauh menilai sesuatu kog begitu mudahnya, seperti ketika kita menilai sebuah lukisan. Kadang lukisan itu hanya coretan-coretan tangan yang anak balita saja bisa melakukan, tapi bagi seorang penilai seni merupakan keindahan yang luar biasa. Sesuatu yang hakekatnya tak lazim sering dimaknai sebagai sisi lain yang positif dan patut untuk diapresiasi.
Selain penilaian terhadap benda mati, terhadap orang lain pun seringkali berawal dari penilaian negatif dulu, meskipun adakalanya menilai secara negatif pun bermanfaat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman tertentu, tapi ketika penilaian negatif ternyata menjadi stigma tersendiri dalam pikiran kita tentu dampaknya akan menjadi tak baik juga.
Misalnya, dalam biduk rumah tangga tentu saja perjalanan kehidupan tak selamanya seperti apa yang diinginkan. Pada awalnya begitu indah lambat laun persepsi pun berubah semua semakin terlihat sisi buruknya. Boleh jadi karena awalnya ditutup-tutupi, atau pengaruh cinta buta yang menjadikan seseorang tak bisa kritis lagi terhadap apa yang dihadapannya. Semua serba sempurna. Walau akhirnya pada akhir perjalanan hidup keburukan semakin terlihat.
Tapi, apakah keburukan ini yang akan menutup semua sisi positif seseorang? Tentu tidak 'kan? karena masih ada sisi kebaikan yang tentu jauh lebih banyak.
Seperti halnya menilai sebuah kebijakan pemerintah dari awal negeri ini berdiri hingga detik ini, tentu ada sisi positif dan negatif yang semua akan seiring sejalan. Semua tampak seimbang sesuai dengan aturan yang berlaku terhadap semua manusia. Bahkan seorang ada pula pendapat yang mengatakan jika seseorang memiliki kelebihan maka kekurangannya pun tak sedikit. Begitu pula semakin banyak kelebihan sebuah negara maka disanalah banyak ditemui hal-hal yang berbau negatif pula. Bahkan seorang pemimpin yang dipandang amat baik, ternyata memiliki segudang kekurangan yang sudah pasti seringkali menjadi situasi untuk direndahkan.
Sebut saja mantan presiden SBY, pada mulanya kebijakan menaikkan BBM sudah dianggap melampau batas, saya sering membaca sebuah artikel-bahkan dikompasiana sendiri sosok presiden SBY sewaktu masih menjabat, beliau seringkali mendapatkan hujatan akibat kebijakannya yang dianggap kontroversial. Bahkan yang amat keji lagi, seseorang yang mesti dihormati, dihargai dan dijunjung kehormatannya mendadak direndahkan serendah-rendahnya. Tak hanya bentuk hujatan saja yang dilayangkan, karena gambar-gambar berisi hinaan pun tak sedikit beliau dapatkan. Bahkan beberapa waktu lalu sebelum beliau meletakkan jabatannya sempat-sempat pula para kritikus dan lawan politiknya menyebarkan gambar presiden SBY dengan hidung panjang ala pinokio. Dengan maksud para penghujat ini ingin menyamakan sosok pemimpin di negeri ini sebagai orang yang pendusta. Kata-katanya tak ubahnya sebagai strategi politik semata untuk membohongi rakyat. Tapi rakyat yang mana yang merasa di bohongi?
Pak SBY dianggap berbohong karena tak mampu mengurus negara, padahal beliau pun memiliki tokoh-tokoh penting yang duduk di meja kabinet Indonesia Bersatu dari jilid 1 sampai jilid 2. Semua mewakili partai-partai di Indonesia. Tapi apalah daya para asisten presiden ini tak juga bisa mewakili keinginan rakyat yang harus memajukan indonesia dari berbagai sisi kehidupan. Dan masih banyak lagi hal-hal negatif mudah sekali disematkan meskipun ada banyak sisi positif yang tak boleh diabaikan.
[caption id="attachment_374115" align="aligncenter" width="531" caption="Bantuan Sosial (sumber: antaranews.com,beritasatu.com)"][/caption]
Beliau menaikkan BBM dengan alasan ingin menggunakannya demi kesejahteraan rakyat. Kala itu bentuknya adalah pemberian Beras Raskin dan BLT kemudian berganti BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) dan Bantuan Siswa Miskin. Tentu saja kebijakan ini akan membuat kaum miskin bisa tersenyum lantaran kebutuhannya menjadi terbantu. Dan tentu saja rakyat bawah merasakan sedikit dari uang gratis yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan mereka.
Tapi apalah daya, program yang tidak semerta-merta program presiden SBY karena program inipun dirapatkan bersama kabinet beliau ternyata juga tak berbuah manis. Sayang sekali di bawah program ini banyak di manfaatkan masyarakat kaya yang mengaku-ngaku miskin agar mendapatkan dana gratis ini. Akhirnya hujatan semakin keras, bahkan mantan presiden Megawati yang juga ketua umum PDIP pun berpidato secara lantang seolah-olah kebijakan presiden kala itu justru amat tak patut. Bahasa simpelnya rakyat jangan diberi ikan, tapi berilah kailnya agar rakyat semakin sejahtera. Itu dulu, dan kebaikan tersebut dibalas cacian para politisi senayan dan penulis-penulis di media. Tak hanya para politisi yang ikut menghujat ternyata rakyat yang tak mengerti pun ikut tergiring opini menjelekkan pemimpinnya.
Itulah sisi kebaikan yang sebenarnya dirasakan oleh sebagian rakyat ini dianggap tindakan (maaf) pembodohan. Tentu saja karena mereka adalah lawan politik yang tak ingin partai berkuasa duduk manis dalam singgahsananya.
Nah, saat ini, tatkala program pak SBY ini dilanjutkan oleh Presiden Jokowi dan didukung oleh Kabinet Kerjanya tentu juga mendapatkan celaan, umpatan dan hujatan yang bertubi-tubi. Program yang awalnya BLT dan BSM berupa beasiswa pendidikan ini awalnya dijadikan objek politik pencitraan. Padahal saat ini Presiden Jokowi pun turut menjalankan model kebijakan bagi wong cilik ini dengan bentuk KIS dan KIP dan KKS, yang tentu saja bentuknya kurang lebih sama hanya pada kartunya saja yang berbeda.
Apakah kebijakan KIS (Kartu Indonesia Sehat), KIP (Kartu Indonesia Pintar)Â dan KKS (Kartu Keluarga Sejahtera) ini salah? Tentu tidak semua bisa disalahkan, lantaran hanya program ini yang paling real dan tepat sasaran jika tak disalahgunakan pada tataran implementasinya. Namun, resikonya jika pendataan di bawah sebagai ujung tombak suksesnya program ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang di bawah seperti RT, RW bahkan kepala desa atau lurah yang masih kental dengan aura KKN, maka dampaknya hanya orang-orang yang dianggap keluarga lah yang paling banyak menikmati program ini. Tentu efek ini dapat diminimalisir jika melibatkan semua unsur masyarakat dan pemerintah selalu mengadakan evaluasi terkait program yang sudah berjalan.
Itulah sedikit gambaran betapa segalanya bisa dipandang negatif dan buruk. Tapi di sisi lain sepatutnya diapresiasi sebagai usaha yang paling sederhana dalam mengangkat kesejahteraan rakyatnya. Dengan kata lain, jika tak mampu memberikan modal yang besar untuk berusaha, masih mending diberikan subsidi yang jelas bagi kalangan bawah ini. Daripada mensubsidi BBM tapi digunakan oleh pengguna kendaraan mewah.
Subsidi BBM menyenangkan orang-orang berkantung tebal, sedangkan rakyat miskin selalu menjerit karena kehidupan mereka tetap saja morat marit. Rakyat sekarang tak butuh program dan teori ekonomi yang terlampau tinggi dan menghayal, rakyat hanya butuh kehidupan mereka terbantu. Harapannya lambat laun bantuan yang diberikan secara cuma-cuma ini benar-benar bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Mari dukung program pemerintah yang simpel ini dengan tidak menggunakan identitas palsu dan mengaku-ngaku keluarga kurang mampu (miskin), melaporkan pelanggaran kepada bihak yang berwajib dan selalu menjadi agen pendorong masyarakat yang berdikari agar lambat laun masyarakat tak hanya meminta belas kasih pemerintah, tapi benar-benar mandiri, berdiri di kaki sendiri.
Salam.
Metro, 07-11-2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H