[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Presiden Joko Widodo di dampingi oleh Ibu Negara Iriana peluncuran Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kantor Pos Besar, Jakarta Pusat, Senin (3/11/2014). Peluncuran kartu yang di hadiri oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani,Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek dan menteri Kabinet Kerja lainya tersebut sebagai pemenuhan janji Jokowi semasa kampanye dulu. (Warta Kota/Henry Lopulalan)"][/caption] Apalah jadinya, jika di jaman serba cepat dalam segala hal terutama dalam bidang informasi ternyata masih ada saja yang ketinggalan berita terkini. Mereka begitu sibuknya dengan urusan pekerjaan di kebun dan perladangan, tapi mereka tak pernah mengenal yang namanya program kesejahteraan bagi masyarakat.
Seperti KIS, KIP dan KKS yang sejatinya sudah didengungkan jauh-jauh hari, bahkan aplikasinya sudah berjalan semenjak Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla resmi memimpin negeri ini.
Masyarakat ini tinggal di Kampung Sidokerto Bumiratu Nuban, salah satu wilayah di Kab. Lampung Tengah sebagai salah satu kampung yang berdekatan dengan wilayah Kab. Pesawaran. Mereka mengakui sama sekali belum mengerti dengan istilah KIS, KIP dan KKS tersebut tatkala saya mencoba bertanya, apakah mereka sudah mengerti tentang adanya tunjangan kaum miskin dari pemerintah ini.
Pertanyaan saya lontarkan tatkala saya turut membantu rehabilitasi salah satu rumah kerabat di kampung tersebut. Kebetulan di daerah ini, kegiatan apapun berkaitan dengan kemasyarakatan lebih banyak dikerjakan dengan bergotong royong. Singkat kata, setelah berkali-kali saya mencoba menanyakan perihal kartu-kartu truf dari Pak Jokowi tersebut sepertinya hanya masyarakat perkotaan saja yang sudah mengerti bahkan ada pula yang sudah mendapatkannya.
Ketidak pahaman tentang beberapa kartu yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi tersebut tentu bukan kesalahan pemerintah, akan tetapi sebagian besar masyarakat di kampung ini selalu disibukkan dengan persoalan perut. Pergi pagi ke ladang untuk mengelola tanah pertanian mereka.
Namun, sebagian besar masyarakat di kampung ini adalah pekerja tobong, sebagai pengrajin batu bata. Pergi pagi dan pulang petang, hingga berita-berita terkini terkait program pemerintah pun sama sekali menjangkau masyarakat ini. Mungkin karena kurang begitu respect dengan berita nasional, juga karena mereka cenderung lebih menyukai tontonan film dan sinetron yang saat ini banyak digandrungi masyarakat.
Jangankan menyimak dan mengkritisi informasi yang beredar, mau menonton berita saja sudah enggan, apalagi harus berlangganan koran, tentu mereka berpikir dua kali lantaran tak mungkin mereka berlangganan koran atau internet dengan mengabaikan kebutuhan perut mereka.
Terkait ketidak pahaman mereka terkait informasi tersebut, tentu saja diawali dengan kondisi SDM masyarakat setempat yang relatif rendah, kebanyakan mereka adalah lulusan SD dan sebagian SMP. Sedangkan anak-anak mereka baru bisa menempuh jenjang SMA dan sebagian kecil ada yang lulus sarjana. Itupun 1 : 100 dari keseluruhan masyarakat di kampung ini. Padahal pemerintah sudah menggalakkan program wajib belajar sembilan tahun, dan kedepannya diwajibkan sampai dua belas tahun. Karena kondisi pendidikan di Indonesia masih kalah jauh dari negara tetangga, seperti Malaysia. Apalagi kualitas pendidikan masyarakat Singapura yang jauh di atas rata-rata pendidikan masyarakat di Indonesia. Semua bukan tanpa sebab, karena selama ini pendidikan lebih banyak terkonsentrasi di wilayah padat penduduk (perkotaan), sedangkan di wilayah perdesaan masih jauh dari akses pendidikan yang memadai.
Sebuah catatan kelam bahkan buruk mengingat Indonesia merupakan negara yang sudah 69 tahun merdeka, tapi ada di antara warganya yang tidak mengenyam pendidikan. Terlepas dari ketidak pahaman terkait informasi terkini, di antara anak-anak mereka justru lebih banyak terlibat dalam urusan mencari uang. Mereka enggan bersekolah lantaran mereka beranggapan bersekolah tinggipun tidak menjamin kehidupan mereka menjadi sukses. Banyak anak sekolah tinggi yang justru menganggur dan membebani orang tuanya.
Sehingga sudah dapat dipastikan, akibat penilaian negatif inilah dampaknya para orang tua enggan menyekolahkan anak-anaknya. Bahkan lebih dari itu mereka tak begitu peduli dengan program-program yang dijalankan pemerintah. Selain ketidak mengertian tentang program kesejahteraan bagi masyarakat kecil ini, mereka menyebut kenaikan BBM yang terus menerus terjadi seperti ingin mencekik kehidupan mereka. Yang awalnya mereka dapat melakukan usaha dengan menggunakan kendaraan bermotor, saat ini keinginan tersebut mesti pupus lantaran tingginya harga bahan bakar.
Namun, yang lebih membuat penulis terperangah adalah, tatkala para masyarakat bawah ini mendapatkan efek kenaikan BBM, ternyata program bantuan untuk kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan ini pun luput dari pengetahuan mereka. Mereka menjadi korban kenaikan BBM tapi mereka sama sekali belum mendapatkan konseksuensi dari naiknya bahan bakar tersebut. Mungkin saja karena program ini belum sampai pada mereka, atau pemerintah terlalu lambat dalam menjalankan program ini? Akan tetapi, ketika implementasi program kompensasi atas naiknya BBM ternyata tidak menyentuh kehidupan masyarakat perkampungan yang notabene masyarakat dengan kehidupan yang serba minim, tentu menjadi catatan buruk bahwa program tersebut belum sepenuhnya menyentuh kebutuhan masyarakat miskin pada umumnya.