Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Betapa Mudahnya Menjadi Wartawan, Benarkah?

8 Desember 2014   03:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:50 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sementara saya tengah berbincang-bincang terkait beras raskin yang tak keluar selama empat bulan, meskipun uangnya telah disetor, tiba-tiba salah satu warga kampung muncul dan berbicara ngalor-ngidul bahwa beliau bisa melaporkan semua kasus di desanya. Termasuk misalnya tentang pungutan di sekolah. Ada banyak kepala sekolah yang tiba-tiba jatuh meriang lantaran kedatangan beliau. Meskipun anehnya tatkala beliau mengatakan bisa melaporkan kepala sekolah yang korupsi, kenapa tidak bisa menindak pamong desa yang menilep uang raskin dari warga desanya? Aneh.

Beliau adalah warga Kampung Sidokerto, Kecamatan Bumiratunuban, Lampung Tengah, Saya dan warga kampung ini biasa memanggil namanya "Mamang". Saat ini, menjabat sebagai kepala dusun sekaligus mengaku sebagai salah satu wartawan W*rta K*ta, entah koran atau tabloid yang mana yang dimaksud. Apakah yang memiliki jaringan dengan Tr*b*n Lampung itu? Beliau tak bisa menjawab dengan pasti, beliau mengaku sebagai seorang wartawan dan memiliki kartu. Beliau tambah bersemangat seolah-olah tengah memamerkan diri bahwa sosok wartawan mesti dipamerin dan dipakai untuk menakut-nakuti. Dengan menyampaikan bahwa ada KUHP dan UU Tipikor yang bisa menjerat pelaku kejahatan termasuk korupsi proyek sekolahan. Saya cuma tersenyum, dalam hati saya bertanya kog wartawan seperti ini cara bekerja?

Pernah pula beliau bertanya-tanya terkait informasi bahwa ada bantuan sebesar 40 juta untuk PAUD, beliau menanyakan kepada istri yang kebetulan pengelolanya. Dan saya balik bertanya Anda dapat dari mana informasi tersebut? Seperti biasa kata orang dinas ada bantuan untuk pendidikan bagi anak-anak usia dini, imbuhnya. Nah, kalau benar-benar uang 40 juta itu benar-benar ada, mungkin PAUD yang saya dirikan sudah memiliki gedung yang bagus. Tapi faktanya tak sepeserpun pemda mengulurkan bantuannya meskipun PAUD kami sudah lebih 5 tahun berdiri. Keuangan sekolah diperoleh dari swadaya pribadi dan sedikit sumbangan dari pabrik singkong di kampung kami yang tak seberapa.

Saya semakin heran dan geleng-geleng kepala, beginikah etika seorang yang mengaku wartawan, bertanya sesuatu hal yang ia sendiri tak jelas darimana sumbernya? Ditanya profesinya seperti apa, yang beliau pahami hanyalah mencari berita dan menekan kepala sekolah agar memberikan amplop berisi uang kalau tidak ingin kasus dirinya disebarkan di media cetak.

Saking penasarannya saya coba menggali informasi terkait profesi kewartawanan, baik hubungannya dengan sebuah surat kabar, kode etik wartawan, kartu wartawan dan organisasi yang membawahi aktifitas kewartawanan seperti AJI, PWI dan lain-lain.

Kata-katanya terlihat ngawur dan aneh, sekali lagi apakah ia benar-benar wartawan? Atau hanya mengaku-ngaku sebagai wartawan untuk memeras warga? Jika benar ia wartawan siapakah yang mengeluarkan surat keterangan profesi sebagai wartawan resmi. Nah, terkait kartu wartawan (id wartawan) apakah semudah itu W*rta K*ta memberikan Id Card kepada wartawanya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sampai saat ini masih saja menggelayut dalam benak saya terkait profesi wartawan yang sampai saat ini saya anggap terhormat. Lantaran sepengetahuan saya, seorang wartawan adalah sosok yang berpendidikan tinggi, minimal sarjana lantaran mereka adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan khusus tentang jurnalistik, menguasai tata bahasa pemberitaan, menguasai cara melakukan wawancara dengan baik. Dan tak kalah pentingnya, mereka adalah orang-orang yang bisa mempertanggung jawabkan profesinya baik terkait hubungan relasi dengan masyarakat dan pemilik perusahaan penerbitan surat kabar. Juga kode etik jurnalistik yang turut mengatur sekaligus melindungi tugas-tugas kewartawanan, agar tugasnya benar-benar legal dan bukan abal-abal.

Apalagi saya mengenal seorang kakak senior saya adalah seorang wartawan dari media cetak asal Lampung, tapi beliau adalah seorang sarjana dan kecerdasan serta wawasannya tentang hukum dan kode etik jurnalistik begitu dipegang dengan kokoh. Tak semerta-merta dengan membawa ID Card atau tanda pengenal lalu mengaku-ngaku sebagai seorang jurnalis dari koran terkemuka. Apalagi sampai memeras korbannya yang notabene para kepala sekolah yang kadang tak mengerti apa yang telah dilanggarnya lantaran kebijakan pemerintah daerah yang cukup rumit.

Entah kalau saat ini, mungkinkan wartawan bisa dari golongan tak berpendidikan tinggi, misalnya hanya lulusan SMA, atau lebih rendah lagi seseorang yang hanya lulusan SD mengaku sebagai wartawan profesional seperti pengakuan Mamang tersebut?

Ada juga sosok yang mengaku seorang wartawan dari media cetak dan online di Lampung. Mereka sering sekali ke sekolah kami. Tak tahu sumber beritanya dari mana tiba-tiba mereka bertanya tentang proyek ini dan itu. Saya kira mereka benar-benar ingin mencari berita, tapi ternyata mereka ke sekolah hanya ingin mendapatkan amplop gratis. Dan ada yang lebih memalukan, mereka tiba-tiba datang ke rumah kepala sekolah, tak mengenal waktu dan tiba-tiba meminta ongkos untuk kendaraan mereka. Ironis dan membuat miris

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun