Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ini Alasannya Kenapa Wanita Memilih Berkarier

27 Desember 2014   23:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:21 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14196787751302923297

[caption id="attachment_386509" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi (Foto: Tribunnews.com)"][/caption]

Benar kata-kata bijak, bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu, dan disindir dalam hadits pun demikian kedudukan wanita jauh melampau kedudukan pria, bagaimanapun kondisi sang pria. Apakah mereka seorang pekerja berat atau jutawan, yang pasti tak kan melampau mulianya kedudukan wanita di hadapan manusia lain, apalagi di hadapan Tuhan.

Bukan sekedar kata-kata ngawur kenapa tulisan ini membicarakan hal yang berkaitan dengan wanita. Dan kenapa para wanita selalu saja mendapatkan tempat terhormat dalam agama manapun lantaran mereka mempunyai beban yang berat semenjak lahirnya harus menerima kelemahan dan ketidak mampuan dibandingkan para pria. Banyak wanita yang dari kecil sudah dianggap lemah dari anak-anak laki-lakinya. Sehingga sudah dapat diduga, karena kelemahan ini mereka acapkali bahkan cenderung mendapatkan tempat yang tak semestinya. Mereka selalu saja dicap lemah dan tempatnya selalu di belakang (dapur) karena dianggap tak bisa berbuat apa-apa. Meskipun keberadaan mereka di belakang, sebenarnya juga tak mengurangi kodrat mulia yang telah Tuhan ciptakan untuk mereka.

Tapi, melihat fenomena yang ada, wanita saat ini cenderung lebih memilih beraktifitas di luar rumah, dengan berbagai alasan, misalnya karena dengan bekerja mereka merasa dihargai. Karena rata-rata orang yang dihargai adalah yang memiliki uang yang banyak. Bukan kecantikan semata. Karena bukti menunjukkan meskipun para wanita ini cantik rupawan, ketika mereka tak bekerja di luar yang menghasilkan pundi-pundi uang, maka keadaan mereka selalu dicap sama. Wanita yang dianggap "menyusahkan" pria.

Dan karena kondisi inilah, maka para wanita berinisiatif untuk mencari penghasilan pula, demi sebuah kebanggaan dan berusaha untuk tidak selalu merepotkan suaminya. Selain faktor uang, tak sedikit para wanita yang sengaja keluar rumah karena mereka merasakan kehidupan yang seutuhnya sebagai makhluk yang memiliki derajat yang sama. Meskipun kadangkala sedikit melupakan eksistensi kemanusiaannya sebagai pengasuh anak-anaknya.

Berdasarkan beberapa kondisi di atas, tentu beberapa hal di bawah ini membuat para wanita enggan berada di rumah.

Pertama, wanita seperti stigma masyarakat tempo dulu selalu menganggap mereka sebagai sosok yang harus selalu bisa meletakkan posisinya di dapur, sumur dan kasur. Dengan kata lain, tatkala seorang ibu melahirkan anak wanita, seolah-olah mereka ditakdirkan untuk selalu di dapur dengan hidangan yang dipersiapkan oleh suaminya, di sumur dengan segudang cucian yang tak habis-habisnya termasuk memandikan anaknya serta merawat rumah tangganya. Dan yang tak dapat dihilangkan dari status wanita, bahwa bagaimanapun juga para wanita selalu harus bisa menjadi teman tidur suaminya. Sehingga tak pantas seorang wanita bekerja di luar rumah, karena dianggap melangar norma-norma tertentu. Meskipun ketika wanita berkarir tak sedikit dari mereka yang masih harus mengurus rumah dan menyusui anak-anaknya.

Kedua, selain image dapur, sumur dan kasur, ternyata wanita identik dengan pekerja tanpa kenal waktu. Mereka bekerja tak tahu lagi mulai pukul berapa dan kapan saatnya mengakhiri pekerjaannya. Bagaimana tidak, ketika para wanita ini adalah sosok ibu rumah tangga, maka mereka harus siap bangun pagi-pagi buta untuk mempersiapkan kebutuhan dapur keluarganya, membersihkan rumah yang tak kecil, dan mencuci segala macam pakaian yang bertumpuk di sumur. Seolah-olah para wanita hanya sebagai pekerja penuh waktu yang tak mengenal kompensasi sedikitpun. Seandainya mereka menginginkan istirahat, tentu ada anggota keluarganya yang memintanya untuk memenuhi kebutuhannya.

Di pagi hari harus mengurus rumah, di malam hari pun sang suami harus mendapatkan perhatian dan kehangatan. Sungguh berat beban tugas dari seorang ibu rumah tangga. Meskipun berat mereka selalu dianggap remah dan dikucilkan oleh para pria dan wanita lainnya. Para wanita yang mengabdikan dirinya untuk berada di rumah seolah-olah menempati kedudukan lebih rendah dari para pekerja kantoran. Para pekerja kantoran bisa berpakaian serba mewah, sedangkan wanita rumahan tak memiliki cukup waktu lagi untuk berdandan yang molek. Apalagi harus berpakaian rapi ala pegawai kantoran tersebut.

Kondisi inipun menjadi kondisi yang seakan-akan menggurita dan tak mampu dilepaskan oleh para wanita. Mereka acapkali ingin menikmati kehidupannya dengan ketenangan, ternyata harus tetap berada di rumah dengan seabrek pekerjaan rumah yang tidak sedikit.

Ketiga, para ibu rumah tangga selalu "terpaksa" menerima kondisi apapun terkait keuangan rumah tangganya. Seandainya sang suami memiliki penghasilan yang berlebih, tentu kehidupan para wanita ini akan sedikit terbantu lantaran mereka bisa mendapatkan bantuan dari asisten rumah tangga. Tak semua pekerjaan dikerjakan sendiri karena ada sosok yang membantu beban rumah tangganya. Tapi bagi para ibu yang suaminya sederhana? bisa dibayangkan, mereka akan menerima konsekuensi apapun dari minimnya kehidupan mereka. Tak bisa menolak apapun yang terjadi, sedikit penghasilan maka mereka harus menerima dengan syukur. Meski dalam hati selalu menggerutu, kog gajinya cuman segini? inikan gak cukup, yah? Bagaimana lagi memang keadaannya begitu. Sekali lagi para wanita rumahan selalu terpaksa menerima konsekuensi apapun terhadap kondisi suaminya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun