Gambar : Sosok bu Fathonah yang bersemangat menjual jamu keliling kampung (doc. pribadi)"]
Pagi-pagi buta ba'da shalat subuh, ibu ini sudah mempersiapkan jamu-jamuan yang biasa beliau jual di sekeliling kampung di tempat tinggal saya Kelurahan Sumbersari, Metro Selatan, Kota Metro.Â
Kira-kira kurang lebih lima tahun usaha jamunya ini digeluti. Di sore hari sudah mempersiapkan bahan-bahannya untuk kemudian di malam hari produksi jamu dilakukan. Sedangkan di pagi hari jamu sudah bisa dipasarkan.
Dengan sepeda ontel dan obrok khusus meletakkan beberapa botol jamu, beliau pantang putus asa menjajakan jamunya kepada pelanggan yang kebetulan tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya.Â
Dialah bu Fathonah, seorang penjual jamu tradisional istri dari Kyai Sihabuddin. Tokoh kampung ini sekaligus imam masjid yang sudah cukup di kenal dan dihormati oleh masyarakat sekitar.
Dengan bahasa yang ramah beliau memasarkan jamunya, mulai dengan sedikit panggilan "Mbak, Ngresakne jamu mboten?Â
Ketika beliau menawarkan jamunya kepada keluarga kami. Dan tak perlu menunggu lama, kami sekeluarga segera menghampiri untuk menikmati pahit dan manisnya jamu. Pahit untuk jamu temu lawak kunir asem, dan manis untuk jamu beras kencur yang biasanya dipakai sebagai penawar rasa pahit.Â
Untuk anak-anak saya memilih jamu yang manis beras kencur untuk kesehatan pencernaan dan memudahkan buang angin karena pencegah perut kembung. Alhamdulillah berkat jamu ontel Bu Fathonah, kami merasakan manfaatnya. Apalagi anak-anak jarang sekali terkena penyakit masuk angin dan nafsu makan juga sangat baik.
Ibu Fatimah memang penjual jamu yang cukup telaten. Bahasanya yang digunakan memang halus, memakai bahasa jawa yang cukup sopan dengan dialek kromo inggel. Jadi ketika mendengar panggilan beliau, tak bisa menolak untuk membeli, selain karena sopan, tentu karena manfaat yang diberikan cukup manjur melawan serangan penyakit dan menjaga vitalitas fisik.
Lumayanlah, meski terlihat sederhana, tapi dalam sekali jualan beliau bisa meraup penghasilan lebih kurang 50 ribu rupiah. Sudah lumayan pendapatan segitu, dibandingkan dengan melamun dan tidak melakukan usaha apa-apa di tengah-tengah himpitan ekonomi. Apalagi dengan beraneka biaya yang cenderung meroket kegiatan tersebut dapat membantu kebutuhan harian. Dengan bersepeda ontel, beliau mencari penghasilan semampunya dan sekuatnya asalkan masih diberikan kesehatan.
Penjual jamu, seperti yang dilakukan oleh Ibu Fathonah memang cukup lama dilakukan rakyat Indonesia dari masa ke masa. Tak hanya bersepeda ontel, karena di antara mereka ada pula yang hanya bermodalkan tenggok kemudian digendong. Maka masyarakat menyebutkan penjual ini dengan mbok jamu gendong, lantaran ketika menjual, jamunya digendong. Meski digendong atau diontel memakai sepeda, jamu tetaplah warisan leluhur yang sepertinya tak akan punah, jika generasi penerus bangsa ini mau melestarikannya.