Mohon tunggu...
Kamalia Purbani
Kamalia Purbani Mohon Tunggu... -

Pelayan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Anakmu Bukan Milikmu

4 Desember 2013   19:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:19 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sebuah siklus kehidupan yang mesti dilalui oleh seorang manusia. Lahir, tumbuh, berpasangan, memiliki anak, cucu, menjadi tua. Pada masa kanak-kanak, saya acapkali merasa bahwa ibuku tidak menyayangiku dengan sikapnya yang keras, tegas dan disiplin. Saya juga bahkan merasa bahwa ibuku lebih menyayangi adikku dibanding diriku. Dalam beberapa hal saya merasa bahwa ibuku bersikap diskriminatif kepadaku. Perasaan seperti ini terus menghinggapiku dan mempengaruhi masa kanak-kanak dan remajaku. Saya bersyukur bahwa ayahku mampu menjadi penyeimbang. Ayahku selalu menjadikanku anak yang paling istimewa. Puluhan tahun kemudian saya baru faham bahwa setiap anak memang memiliki karakteristik tersendiri yang perlu diperlakukan secara berbeda pula.

Pada saat saya telah memiliki anak, saya baru bisa merasakan betapa besarnya cinta dan kasih sayang orangtuaku kepadaku. Saya bisa merasakan bagaimana khawatirnya kedua orang tuaku saat saya tidak pulang waktu mendaki gunung karena tersesat. Bagaimana kemarahan ayahku yang bercampur dengan kelegaan saat akhirnya saya ditemukan. Saya bisa faham bagaimana cemasnya mereka kepadaku yang selalu ingin mencoba hal-hal yang baru dan menantang. Mereka sangat menkhawatirkan keselamatanku dan takut kehilanganku. Pada saat itu saya lebih merasakan sebagai sebuah belenggu yang menghalangi kebebasanku.

Pada saat saya memiliki anak, saya merasa bahagia dengan kedekatan dan ketergantungannya kepadaku. Padahal saya juga tahu suatu saat dia harus terbang tinggi dan mandiri. Kalau kuikuti perasaanku rasanya tak ingin memberinya izin untuk menimba ilmu dan bekerja jauh dariku. Saya masih ingin selalu mendekapnya, menggenggam tangannya dan tidak ingin melepaskannya. Masih tergambar dengan jelas seperti sebuah film kehidupan, sejak saat dia dilahirkan, tumbuh dan berkembang, kebersamaan yang selalu membahagiakan.

Seorang anak cepat atau lambat akan menemukan kehidupannya dan meninggalkan orangtuanya. Saya kadang merasa belum ikhlas melepasnya. Saya juga harus ikhlas saat dia tidak lagi merasa memerlukan ibunya. Saya harus bisa selalu bersyukur kepada Tuhan bahwa dia sudah menemukan hidupnya dan juga memberikan kesempatan untuk menyimpan ribuan momen-momen indah bahagia yang bisa kusimpan dalam album kenangan kehidupanku. Hanya tersisa satu harapan, dia tidak akan pernah melupakanku, orang yang telah melahirkannya ke dunia ini. Tak terasa mataku mulai perih saat membaca sebuah puisi karya Kahlil Gibran yang maknanya begitu dalam.

Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu pada dirinya sendiri

Patut kau berikan rumah untuk raganya tapi tidak untuk jiwanya

sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan

Kaulah busur, anak-anakmulah anak panah yang meluncur

Meliuklah dalam suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemurah

Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat

Bandung, 4 Desember 2013


K

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun