Mohon tunggu...
Kamalia Purbani
Kamalia Purbani Mohon Tunggu... -

Pelayan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kupanggil Ayahku Baba

16 Desember 2010   05:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:41 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba saja saya teringat Baba. Sudah hampir duabelas tahun Baba pergi meninggalkanku dan keluargaku. Saya selalu tak dapat menahan air mata setiap saat mengenang keberadaanmu Baba. Baba adalah orang yang sangat-sangat super special dalam kehidupan saya. Saya merasa bahwa hidup saya tidak pernah bisa sama lagi semenjak beliau pergi.

Saya tidak tahu persis mengapa sejarahnya mengapa kami memanggilnya Baba, tidak bapak, ayah ataupun papa. Tidak ada jawaban yang pasti ketika hal ini saya tanyakan pada mamah ataupun ‘Nni (nenek, ibunya baba). ‘Nni bilang bahwa baba adalah panggilan bagi orang Minang terhadap ayahnya (kakek, ayahnya baba adalah asli dari Minangkabau). Tapi saya punya teman-teman yang juga orang Minang, tidak memanggil ayahnya dengan sebutan baba. Saya menyukai panggilan baba, walaupun kadang-kadang saya merasa malu karena memanggil ayah dengan nama yang sedikit berbeda dengan teman-teman yang lain.

Sejak saya kecil sampai dewasa dan memiliki suami dan anak, saya merasa hubungan emosional dengan baba sangat dekat. Di mata saya, beliau adalah seorang manusia yang “super baik” karena tampaknya misi hidup beliau adalah bagaimana cara untuk selalu menyenangkan atau memuaskan perasaan orang lain. Sangat jarang terjadi beliau memikirkan diri sendiri. Buatnya, kebahagiaan adalah apabila bisa membuat orang lain berbahagia. Tak heran semasa hidupnya beliau banyak memiliki teman-teman dansahabat pada semua level usia.

Jauh sebelum konsep keadilan dan kesetaraan gender didengung-dengungkan, Baba sudah terlebih dahulu menerapkannya dalam kehidupan nyata. Menurut cerita mamah, kami berlima anak-anaknya cukup kenyang diurus sama Baba. Sejak dari menggantikan popok dan membersihkan ketika buang air besar ketika bayi, memasak dan menyuapi makanan, memakaikan baju dan banyak lagi kegiatan lainnya yang seringkali dicap sebagai pekerjaan perempuan, Baba tidak menganggapnya tabu. Menurut mamah, pada tahun 60-an, masalah Keluarga Berencana belum digembar-gemborkan, sehingga tiga anak lahir dalam tahun yang berurutan, sementara dua anak lainnya berjarak dua dan tiga tahun. Mamah yang bekerja sebagai guru sekolah negeri yang secara rutin harus berangkat pagi pulang siang atau sore telah membuat Baba ikhlas mengambil alih tugas-tugas mamah. Pekerjaan Baba sebagai wartawan yang harus mengawasi proses pencetakan surat kabar, membuatnya harus lebih banyak bertugas pada malam hari.

Salah satu masakan Baba yang menjadi makanan favourite saya adalah nasi goreng ebi atau nasi goreng oncom. (Ketika saya mempraktekan pembuatan nasi goreng oncom pada saat sudah menikah, suami saya mengatakan bahwa seumur hidup, dia belum pernah tahu ada nasi goreng oncom). Untuk menyuapi kami bertiga (dua adik saya yang lain berbeda makanannya karena masih batita), biasanya Baba cukup menggunakan satu piring yang cukup besar. Kalau kami nakal dan selalu berlarian ketika makan, baba tidak pernah memukul atau menjewer, tapi cukup “menyetrap” kami dengan cara diuruh berdiri dalam satu lingkaran (memakai kapur tulis) dengan tangan keatas selama waktu tertentu. Hukuman yang paling parah adalah ketika kami harus dikurung di kamar mandi. Khususnya bagi saya, hukuman tersebut sangat menyiksa karena saya merasa sangat pengap walaupun kamar mandi kami tidaklah sempit.

Ada cerita tentang masa kecil saya yang seringkali membuat hati saya tersentuh. Ketika kecil, atau bahkan sampai sekarang, saya dikenal sebagai orang yang sangat keras kepala dan sedikit egois. Kalau saya menginginkan sesuatu hal harus terlaksana. Ketika tidak bisa, saya bisa menangis berkepanjangan.

Kebiasaan saya ketika kecil adalah melepas Baba pergi bekerja naik motor dengan melambaikan tangan. Kalau saya melewatkan kesempatan itu, saya bisa ngamuk dan Baba harus kembali lagi ke depan pintu rumah. Yang repot adalah kebiasaan melambaikan tangan pada kapal terbang yang lewat. Apabila saya terlambat untuk mengetahui pesawat lewat, saya bersikeras menginginkan pesawat tersebut kembali lagi. Satu hal yang nggak mungkin kan? Biasanya Baba dengan sabar membujuk saya agar kemarahan dan kekesalan saya reda dengan cara mengalihkan perhatian pada hal-hal yang menyenangkan saya, misalnya dengan membawa saya berkeliling naik motor keliling-keliling kompleks.

Ya Allah, saya selalu tak bisa menahan deraian airmata ketika saya mengingat Baba. Belum pernah ada satupun sesorang yang pernah membuat saya menangis sedih seperti ini ketika teringat masa-masa indah bersamamu. Kasih sayang yang engkau berikan padaku terasa begitu tulus. Olehmu saya merasa sangat disayangi, dicintai dan dikagumi.

Banyak sekali nasehat beliau walaupun tidak begitu banyak yang saya ingat dengan jelas.

Salah satu yang tak kan pernah saya lupakan adalah saat beliau memanggilku saat saya akan menikah, beliau mengatakan:  "Geulis (panggilan cantik bagi anak gadis dalam bahasa Sunda), akan sangat sempurna hidup ini dan membahagiakan, apabila kita menikah dengan orang yang kita cintai dan mencintai kita. Tetapi ketika kita harus memilih antara menikah dengan orang yang kita cintai atau yang mencintai kita, pilihlah menikah dengan orang yang mencintai kita meskipun kita tidak terlalu mencintai dia. Cinta akan datang kemudian, sejalan dengan proses ketulusan seseorang mencintai kita. Hidup bersama dengan orang yang mencintai kita setulus hati, membuat segala masalah yang muncul dalam perkawinan akan mampu diselesaikan dengan cinta juga"

Baba, saya ingin memohon ampun dan maaf apabila semasa beliau hidup saya belum sempat memberikan yang terbaik. Semoga engkau sekarang berbaring dengan tenang tentram dan damai,  ditempat yang terbaik disisiMu ya Allah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun