Semakin larut malam, dingin mengusap kulit ari para insan yang sedang asik mendengar kemudian berbicara bergantian secara acak namun pasti. Malam itu dua orang sahabat yang setelah sekian lama tak bersua mendapatkan kesempatan emas mereka untuk berbincang kembali layaknya dua orang tentara yang kembali dari peperangan. Terlihat canda tawa begitu santun meluncur di wajah mereka, kelakar berlalu lalang di sekeliling mereka namun keseriusan tetap menjadi pembalut dalam persahabatan.
Dua orang itu adalah Daniel dan Firza. Dua lelaki yang berumur ranum 23 tahun dalam dekapan suasana kampung. Pertemuan ini terjadi di saat liburan kampus, Daniel yang kuliah di Bogor dan Firza yang kuliah di Surabaya mereka mendapatkan jatah libur yang nyaris sama saat mendekati lebaran. Tanah Donggala di pinggir jalan mereka bertemu dan melakukan perbincangan dalam rangka melepas kerinduan.
“Eh Daniel, bagaimana kabarmu ? Potongan kamu nih sudah seperti anak ibukota aja” Firza berkelakar sambil menyapa Daniel. “Ah tidaklah, saya masih seperti biasa. Tapi kamu lihatlah !!! Tapi lihatlah saya masih tak kurang apapun. Kamu gimana ?” Tanya Daniel kembali. “Ya sama ajalah, hehehehe” Firza menjawab. Dari raut wajah keduanya, masing-masing dari mereka sadar bahwa tidak terlalu banyak yang berubah. Namun kali ini percakapan mulai menaiki level eksplorasi dalam pemikiran. Rasa penasaran ini muncul di antara mereka berdua secara beriringan. Pembicaraan yang tadinya penuh kelakar dan canda tawa mulai berbelok ke arah yang lebih serius.
“Kamu sudah pernah baca tentang komunitas Flat Earth ?” cukup tendensius Daniel bertanya. “Ya cukup tau !!” Firza dengan enteng menjawabnya. Kemudian diskusi berlanjut cukup sengit kadang tegang di hati mereka, namun khalayak memaksa mereka meredamnya dalam tindakan. Dalam iringan nada yang cukup tendesius membuat mereka terpaksa untuk mengambil jalan yang selalu berseberangan dalam Pro dan Kontra. Kali ini giliran Firza “Kamu ngerti ngga ISIS adalah tentara buatan Amerika untuk melawan dominasi Rusia di Syria ??” cukup menguji pengetahuan Daniel. “Ya saya pernah dengar” Daniel menjawab dengan cukup sinis. Perdebatan ini terus berlanjut karena adanya keangkuhan dari tanah rantau yang mereka sadari bahwa lawan bicaranya mempunyai hal itu, namun selalu luput dari keduanya hal itu pun melekat pada dirinya sendiri. Mereka berdua tidak sadar ada jarak kian lebar dibuat akibat perdebatan yang di sandiwarakan oleh mereka. Kampung sudah kehilangan kemampuannya membuat sejuk di pikiran mereka.
Ada pengetahuan dalam diri mereka, bahwa pembicaraan ini tak seharusnya terjadi. Namun ini adalah kolam lumpur yang di bawa dari kota dan mereka berdua telah terjebak di dalamnya. Kesombongan akan ekosistem persaingan membuat segala aroma kesejukan menjadi naif dan begitu transparan. Tujuan silaturahmi menjadi semakin berjarak akibat kolam lumpur itu. Ini semacam keramahan yang diisi dengan nilai-nilai borjuis. Anak rantau yang pintar namun tidak membawa kebijaksanaan dalam perjalanan menemui keluarga dan sahabatnya. Hingga saatnya mereka harus merantau lagi untuk mendapatkan nilai dari terasingkan. Sebagai anak rantau, mereka harus lebih waspada dalam mengendalikan hasrat persaingan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H