Mohon tunggu...
Anshar Daud
Anshar Daud Mohon Tunggu... Mahasiswa S3 Manajemen Pemasaran Undip Semarang -

Anshar Daud, CPM(A) adalah praktisi pemasaran dalam industri telekomunikasi. Ia merupakan anggota aktif IMA (Indonesia Marketing Association) dan IMARC (Indonesian Marketing Academy). Saat ini terdaftar sebagai Mahasiswa S3 Bidang Pemasaran Univ. Diponegoro Semarang.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Hiperkoneksi, Keberlimpahan dan Ekonomi Gratis

2 Januari 2016   14:17 Diperbarui: 4 Januari 2016   11:43 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika melakukan perjalanan menuju ke salah satu kota baik domestik maupun manca negara dan membutuhkan informasi tentang hotel, penginapan, pusat kuliner, lokasi wisata dan sebagainya, tidak perlu repot-repot membuka Yellow Pages atau menelepon call center untuk mencari informasi tersebut. Cukup update status di sosial media seperti Facebook dan Twitter atau broadcast message di grup BBM, What'sApp, Line, Telegram atau lainnya. Tunggu beberapa saat kemudian, puluhan bahkan ratusan orang secara instan dan sukarela akan menyampaikan semua informasi yang diperlukan. Metode lain yang dapat digunakan adalah setelah tiba di kota tujuan, buka aplikasi Google Maps, ketik nama hotel atau lokasi yang ingin dituju kemudian klik tombol search. Dalam sekejap Google Maps akan membukakan peta digital tempat dimaksud beserta rute jalan yang tersedia, jarak antara tujuan dan lokasi dimana saat ini berada dan perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai lokasi tujuan.

Beruntunglah umat manusia karena memiliki teknologi Web 2.0 (website generasi kedua) yang memungkinkan sebagian besar aktifitas di dunia nyata (offline) dapat dimigrasikan ke ekosistem maya (online) dengan keamanan dan kenyamanan yang makin baik serta harga yang terjangkau. Dalam industri telekomunikasi, terdapat 3 unsur utama yang menyokong sehingga layanan tersebut dapat terselenggara, yakni : Device, Network dan Application atau disingkat DNA. Device adalah semua jenis perangkat elektronik pintar yang dapat digunakan oleh konsumen dan penyedia jasa untuk mengakses internet seperti PDA / Gadget, Smartphones,  netbook, laptop maupun PC. Sedangkan jaringan (network) merupakan elemen yang menghubungkan antara device dengan keseluruhan mesin (server) sistem internet. Jaringan tersebut bisa berupa kabel fisik (fiber optik atau tembaga) maupun nirkabel (wireless). Komponen ketiga adalah application, bentuknya berupa piranti lunak (software) yang berfungsi untuk menjalankan device dan network.

"We Are Social" mencatat bahwa di awal tahun 2015 terdapat 3 miliar manusia yang menggunakan internet dan 2,1 miliar diantaranya memiliki akun media sosial aktif. Dari jumlah akun tersebut, terdapat 1,7 miliar yang mengakses akunnya dari perangkat bergerak (mobile), sehingga memungkinkan mereka tersambung non stop selama 24 jam. Mengacu pada data populasi online dimaksud, maka tidak mengherankan jika member portal sosial media melonjak fantastis. Jumlah pengguna Facebook dilaporkan sebanyak 1,55 miliar, sedangkan Twitter memiliki 316 juta member, sementara Youtube mempunyai member sekitar 1 miliar. Jumlah akun (dalam satuan juta) terdaftar pada jejaring sosial yang lain seperti Whats'App, QQ, WeChat, Instagram, Skype, Line dan BBM masing-masing secara berurutan adalah 900, 860, 650, 400, 300, 211 dan 100 (sumber data : statista.com). Web Statista.com pada bulan November 2015 melansir data 20 portal sosial media dengan total akun terdaftar sebesar 8,233 miliar, namun ada sejumlah portal sejenis yang belum dicantumkan seperti Google+, Path, Telegram, Myspace, Kaskus dan lainnya. Google+ sendiri diestimasi dihuni oleh 300 juta akun, sehingga bila akun seluruh sosial media diakumulasi, maka totalnya tidak akan kurang dari angka 9 miliar. Nominal tersebut telah melampaui jumlah populasi penduduk bumi yang mencapai angka 7,21 miliar. Berdasarkan fakta ini, dapat disebutkan bahwa rata-rata user internet memiliki 3 akun media sosial. Interaksi antara kecepatan penetrasi internet, maraknya akun sosial media dan besarnya volume device yang terkoneksi dengan jaringan internet menciptakan ekosistem masyarakat global yang serba terhubung atau biasa disebut "hyperconnected society".

Hiperkoneksi vs Transparansi

Jaringan dan ekosistem internet yang menghubungkan sekitar 8 miliar device, 9 miliar akun sosial media dan lebih dari 3 miliar manusia mengalirkan puluhan hingga ratusan miliar informasi setiap harinya. Seluruh informasi tersebut dapat diakses dengan mudah, murah dan cepat oleh seluruh penghuni dunia maya, sehingga nyaris tidak ada lagi ruangan dan tempat yang luput dari pantuan. Kegiatan intelijen yang selama ratusan tahun beroperasi secara tertutup dan senyap belakangan mulai terkuak oleh aksi warga sipil. Ulah Snowden yang membocorkan aktifitas penyadapan percakapan sejumlah pejabat Indonesia oleh agen Australia membuat hubungan kedua negara memanas hingga beberapa waktu. Ini membuktikan bahwa hiperkoneksi global melalui internet melahirkan gelombang transparansi dalam berbagai bidang. Dalam sektor hukum seperti kasus Cicak-Buaya yang menempatkan 2 wakil Ketua KPK sebagai tersangka, faktor transparansi publik melalui jejaring sosial mengambil peran yang sangat besar. Gerakan 1 juta Facebookers dukungan untuk Bibit-Candra mengalir deras tak terbendung dan memaksa Presiden SBY kala itu melibatkan diri untuk menengahi dan menyelesaikan masalah tersebut.

Sebagai warga netizen (masyarakat maya internet), transparansi merupakan kekuatan baru yang mempunyai daya dombrak tak terbendung. Hal sejenis ini sangat sulit diperoleh pada masyarakat citizen yang basisnya offline, isu dan masalah sosial sangat mudah ditutup-tutupi dan dibelokkan oleh banyak kepentingan. Sesuai kondisi tersebut, tentu sangat benar jika Theo Priestley (Chief Evangelist di Software AG) menyebut bahwa transparansi adalah mata uang yang baru. Dengan transparansi, maka skandal-skandal politik, hukum, ekonomi (misalnya kasus Papa Minta Saham), sosial, layanan publik dan sebagainya sangat mudah diungkap diruang-ruang publik dan memaksa semua pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menyelesaikannya dengan segera secara proporsional.

 

Hiperkoneksi vs Keberlimpahan

Tahun 2009 lalu, Prita Mulyasari dijatuhi sanksi perdata oleh Pengadilan Tinggi Banten dan diharuskan membayar denda sebesar Rp 204 juta kepada RS Omni International. Atas sanksi tersebut, ratusan relawan bergerak tanpa dikomando menggalang program "koin untuk Prita" baik melalui posko (offline) maupun online di jejaring sosial. Dari gerakan itu, akhirnya terkumpul dana sebanyak Rp 825,7 juta. Keberhasilan kegiatan ini tentu karena kepedulian dan keterlibatan puluhan ribu netizen melalui sejumlah jejaring sosial. Liputan media massa, riuhnya ciutan di Twitter dan sharing status serta komentar di Facebook membetot perhatian dan emosi publik dan membangkitkan kesadaran untuk mengulurkan bantuan. Meskipun bantuan citizen dan netizen relatif kecil (uang koin recehan), tetapi karena dilakukan secara masif oleh ratusan ribu orang, maka dampaknya luar biasa besar.

Kegiatan pilantrofi seperti digambarkan di atas dalam jagat maya internet biasa disebut sebagai crowdfunding. Istilah umumnya adalah crowdsourcing, yakni sekelompok netizen mengerjakan sesuatu  secara kolektif dan kolaboratif (identik dengan ekonomi gotong royong di Indonesia) dengan sukarela, tanpa ikatan formal dan imbal jasa keuangan. Chris Anderson (penulis buku populer : "The Long Tail") memimpin sebuah komunitas internasional yang Ia beri nama "DIY Drones Community" untuk menciptakan drone yang mengadopsi 98% kapabilitas drone militer Amerika Serikat. Komunitas ini beranggotakan lebih dari 55.000 orang fanatik dari berbagai negara dan mampu membuat drone dengan harga hanya $300 per unitnya, bandingkan dengan harga drone militer AS yang biayanya mencapai $4 miliar. Kok bisa? Tentu saja bisa karena proyek open source seperti itu tidak memerlukan lisensi / patent, biaya riset yang mahal, gaji karyawan, sewa gedung, pengembalian modal dan keuntungan untuk investor.

Michael Brenner (VP of Marketing and Content Strategy SAP) menyebut bahwa dalam era yang serba connected, setiap orang menjadi penerbit (publisher) content baik bagi dirinya sendiri maupun untuk orang lain, situasi ini disebut sebagai user generated content (UGC). SAP melaporkan bahwa perusahaan-perusahan yang menjadi pelanggannya di seluruh dunia mengirimkan 1,8 miliar lalu lintas pesan per hari. Sementara sosial media seperti Facebook menghasilkan 4,5 miliar like/hari, Twitter 500 juta twit/hari, Youtube 4 miliar view video/hari dan Instagram 70 juta foto-video/hari. Jika seluruh trafik pesan teks, foto dan video yang mengalir diinternet diakumulasi setiap hari, minggu, bulan dan tahun sudah tentu jumlahnya sangat-sangat besar dan mencengangkan.

Kondisi banjir informasi yang ditunjukkan di atas, disebut oleh Peter H. Diamandis dan Steven Kotler sebagai sebuah keberlimpahan (Abundance). Fenomenanya mereka tuliskan dalam sebuah buku dengan judul "ABUNDANCE, The Future is Better Than You Think". Keberlimpahan sumber daya yang tumbuh subur dalam ekosistem online menjadi fakta harian dan mendatangkan ribuan peluang bisnis bernilai jutaan dolar bagi para wirausaha   cerdik (start-ups entrepreneur) diberbagai belahan dunia, namun sebaliknya menjadi malapeka bagi usahawan atau perusahaan yang lamban menyesuaikan diri.

Internet memangkas waktu, proses, birokrasi, biaya produksi dan rantai pasokan sehingga mampu menurunkan / mengurangi harga akhir suatu produk (barang atau jasa) menuju nilai terendah, bahkan mencapai titik nol alias gratis. Bukalah mesin pencari Google, lalu ketikkan kata "Free e-Book", dalam sekejap muncul ribuan link website yang menyediakan buku elektronik gratis. Lakukan hal yang sama untuk mencari lagu (music), video dan film, lagi-lagi muncul berjubel sumber yang menyediakannya secara cuma-cuma. Konsultasi kesehatan, kecantikan, kuliner, keuangan, pajak, akuntansi, konstruksi bangunan, desain interior / eksterior dan sebagainya semua tersedia dalam berbagai bahasa. Begitu besar berkah yang disediakan oleh internet dan nyaris sulit ditemukan di alam nyata.

Hiperkoneksi vs Transaksi

Tahun 2009 lalu Chris Anderson menulis buku "FREE, The Future of Radical Price", secara ringkas Ia mendeskripsikan bentuk ekonomi gratis dalam empat model, yaitu : 1) Subsidi silang, 2) Pasar pihak ketiga, 3) Freemium dan 4) Pasar non moneter. Model kedua sukses dipraktekkan oleh Google, Facebook, Twitter dan hampir semua aplikasi jejaring sosial. Miliaran penggunanya (users) menikmati berbagai fitur yang mereka sediakan 24 jam penuh sepanjang hari, bulan dan tahun. Namun seluruh konsumen tersebut tidak pernah sekalipun menerima tagihan biaya pemakaian. Lalu darimana sumber penghasilan Facebook, Google, Twitter dan kawan-kawan berasal? Jawabannya dari iklan yang dipasang oleh pihak ketiga baik individual (perseorangan) maupun perusahaan yang memanfaatkan milyaran konsumen yang saban waktu wara wiri di sosial media tersebut. Konsumen-konsumen tersebut, sengaja atau tidak sekali waktu akan mengklik iklan yang beredar diseputaran menu / fitur aplikasi dan ketika itulah uang masuk ke kas Facebook dan kawan-kawan.

Sekarang mari cermati Smartphones, PDA atau Gadget yang dipakai sehari-hari. Hitung berapa banyak aplikasi yang ter-install, dari jumlah tersebut berapa aplikasi gratis dan berbayar? Kesimpulannya tentu sebagian besar aplikasi yang terpasang tidak berbayar alias gratis, sebuah fakta yang sulit dibantah. Bagaimana mungkin aplikasi yang dibuat dengan teknologi tinggi dapat dinikmati oleh konsumen dengan tanpa biaya? Kondisi ini disebut oleh Anderson sebagai model "Freemium", dimana sebuah aplikasi dapat ditawarkan ke konsumen dengan 2 versi, yakni Light version dan Full (upgrade) version. Konsumen yang memilih light version tidak dikenai biaya tetapi fitur dan menu aplikasinya dibatasi, sementara kelompok pelanggan yang menginginkan menu atau fitur secara lengkap dapat memperolehnya dengan melakukan upgrade ke full version dengan konsekuensi membayar sejumlah nominal tertentu. Dalam teori Freemium, jika 10% saja dari total konsumen suatu aplikasi menggunakan full version, maka bisnis tersebut sudah mampu survive dan mendapatkan keuntungan (profit) yang memadai.

Selanjutnya perhatikan aktifitas e-commerce yang berlangsung di sejumlah marketplace seperti Bukalapak, Tokopedia, Lazada, Dinomarket, Blibli dan lain-lain. Bagaimana sebuah produk baru yang belum di launching di pasar ditawarkan dengan harga lebih murah? Istilah yang mereka sering gunakan adalah "Pre-Order". Produk belum tersedia dipasar namun sudah dijual dengan berbagai pemanis (sweeteners) seperti diskon, cashback, cicilan 0% selama 12-24 bulan dan ditambah gimmick hadiah produk tertentu serta kadang-kadang gratis ongkos kirim. Eksekusi penawaran ini melibatkan produsen, supplier, bank, kurir dan penyedia marketplace. Mereka bekerja sama dengan konsep subsidi silang yang saling menguntungkan, misalnya diskon diberikan oleh produsen dan supplier, cashback dan fasilitas cicilan disediakan oleh bank penerbit kartu kredit dan potongan ongkos kirim ditanggung oleh jasa kurir. Apakah mereka rugi? Tentu saja tidak, keuntungan yang diterima per unit transaksi memang relatif kecil tetapi karena volume transaksinya besar maka efek multiplikasi memberi margin yang menguntungkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun