Kondisi banjir informasi yang ditunjukkan di atas, disebut oleh Peter H. Diamandis dan Steven Kotler sebagai sebuah keberlimpahan (Abundance). Fenomenanya mereka tuliskan dalam sebuah buku dengan judul "ABUNDANCE, The Future is Better Than You Think". Keberlimpahan sumber daya yang tumbuh subur dalam ekosistem online menjadi fakta harian dan mendatangkan ribuan peluang bisnis bernilai jutaan dolar bagi para wirausaha   cerdik (start-ups entrepreneur) diberbagai belahan dunia, namun sebaliknya menjadi malapeka bagi usahawan atau perusahaan yang lamban menyesuaikan diri.
Internet memangkas waktu, proses, birokrasi, biaya produksi dan rantai pasokan sehingga mampu menurunkan / mengurangi harga akhir suatu produk (barang atau jasa) menuju nilai terendah, bahkan mencapai titik nol alias gratis. Bukalah mesin pencari Google, lalu ketikkan kata "Free e-Book", dalam sekejap muncul ribuan link website yang menyediakan buku elektronik gratis. Lakukan hal yang sama untuk mencari lagu (music), video dan film, lagi-lagi muncul berjubel sumber yang menyediakannya secara cuma-cuma. Konsultasi kesehatan, kecantikan, kuliner, keuangan, pajak, akuntansi, konstruksi bangunan, desain interior / eksterior dan sebagainya semua tersedia dalam berbagai bahasa. Begitu besar berkah yang disediakan oleh internet dan nyaris sulit ditemukan di alam nyata.
Hiperkoneksi vs Transaksi
Tahun 2009 lalu Chris Anderson menulis buku "FREE, The Future of Radical Price", secara ringkas Ia mendeskripsikan bentuk ekonomi gratis dalam empat model, yaitu : 1) Subsidi silang, 2) Pasar pihak ketiga, 3) Freemium dan 4) Pasar non moneter. Model kedua sukses dipraktekkan oleh Google, Facebook, Twitter dan hampir semua aplikasi jejaring sosial. Miliaran penggunanya (users) menikmati berbagai fitur yang mereka sediakan 24 jam penuh sepanjang hari, bulan dan tahun. Namun seluruh konsumen tersebut tidak pernah sekalipun menerima tagihan biaya pemakaian. Lalu darimana sumber penghasilan Facebook, Google, Twitter dan kawan-kawan berasal? Jawabannya dari iklan yang dipasang oleh pihak ketiga baik individual (perseorangan) maupun perusahaan yang memanfaatkan milyaran konsumen yang saban waktu wara wiri di sosial media tersebut. Konsumen-konsumen tersebut, sengaja atau tidak sekali waktu akan mengklik iklan yang beredar diseputaran menu / fitur aplikasi dan ketika itulah uang masuk ke kas Facebook dan kawan-kawan.
Sekarang mari cermati Smartphones, PDA atau Gadget yang dipakai sehari-hari. Hitung berapa banyak aplikasi yang ter-install, dari jumlah tersebut berapa aplikasi gratis dan berbayar? Kesimpulannya tentu sebagian besar aplikasi yang terpasang tidak berbayar alias gratis, sebuah fakta yang sulit dibantah. Bagaimana mungkin aplikasi yang dibuat dengan teknologi tinggi dapat dinikmati oleh konsumen dengan tanpa biaya? Kondisi ini disebut oleh Anderson sebagai model "Freemium", dimana sebuah aplikasi dapat ditawarkan ke konsumen dengan 2 versi, yakni Light version dan Full (upgrade) version. Konsumen yang memilih light version tidak dikenai biaya tetapi fitur dan menu aplikasinya dibatasi, sementara kelompok pelanggan yang menginginkan menu atau fitur secara lengkap dapat memperolehnya dengan melakukan upgrade ke full version dengan konsekuensi membayar sejumlah nominal tertentu. Dalam teori Freemium, jika 10% saja dari total konsumen suatu aplikasi menggunakan full version, maka bisnis tersebut sudah mampu survive dan mendapatkan keuntungan (profit) yang memadai.
Selanjutnya perhatikan aktifitas e-commerce yang berlangsung di sejumlah marketplace seperti Bukalapak, Tokopedia, Lazada, Dinomarket, Blibli dan lain-lain. Bagaimana sebuah produk baru yang belum di launching di pasar ditawarkan dengan harga lebih murah? Istilah yang mereka sering gunakan adalah "Pre-Order". Produk belum tersedia dipasar namun sudah dijual dengan berbagai pemanis (sweeteners) seperti diskon, cashback, cicilan 0% selama 12-24 bulan dan ditambah gimmick hadiah produk tertentu serta kadang-kadang gratis ongkos kirim. Eksekusi penawaran ini melibatkan produsen, supplier, bank, kurir dan penyedia marketplace. Mereka bekerja sama dengan konsep subsidi silang yang saling menguntungkan, misalnya diskon diberikan oleh produsen dan supplier, cashback dan fasilitas cicilan disediakan oleh bank penerbit kartu kredit dan potongan ongkos kirim ditanggung oleh jasa kurir. Apakah mereka rugi? Tentu saja tidak, keuntungan yang diterima per unit transaksi memang relatif kecil tetapi karena volume transaksinya besar maka efek multiplikasi memberi margin yang menguntungkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H