Pada tahun 2005, Thomas L. Friedman menulis sebuah buku dengan judul "The World is Flat". Menurut Friedman, ada sepuluh faktor yang menyebabkan dunia berubah wujud dari bentuk semula yang bulat menjadi datar (secara virtual). Satu dari sepuluh faktor tersebut adalah steroids. Steroids direpresentasikan oleh teknologi digital yang memungkinkan perangkat komputer dan telepon seluler hadir dalam ukuran mini dengan kemampuan ratusan bahkan ribuan kali lipat dibanding pendahulunya 2 dekade yang lampau. Kapabilitas canggih yang dimiliki oleh steroids memungkinkan tumbuhnya kolaborasi dan integrasi kesembilan flattener lainnya (outsourcing, uploading, supply chaining dan seterusnya), sehingga memacu kecepatan perubahan berbagai bidang kehidupan umat manusia. Mulai dari sektor ekonomi, interaksi hubungan sosial, layanan publik hingga kegiatan spritualitas, semuanya terkontaminasi oleh fenomena serba online.
Gejala instan, praktis dan masif yang melekat pada ekosistem online menyebabkan segala sesuatu berubah dengan sangat cepat. James Manyika dkk (dan kawan-kawan) dari Institut Global McKinsey menyebutkan bahwa akselerasi perubahan yang tengah berlangsung dewasa ini 10 kali lebih cepat dengan intensitas skala 300 kali lebih kuat dan berdampak 3.000 kali lebih dahsyat dibanding dengan pengaruh yang dihasilkan oleh revolusi industri dimasa lalu. Kekuatan fundamental yang berkontribusi besar dalam sirkulasi perubahan tersebut adalah urbanisasi, perkembangan teknologi, tantangan penuaan dunia dan koneksi global. Pertumbuhan ekonomi yang pesat pada kota-kota emerging market merupakan medan magnet yang menyedot pelaku bisnis, pekerja dan pemodal untuk datang berkerumun di area tersebut. Tarikan permintaan jumlah tenaga kerja dalam volume yang besar menimbulkan gelombang arus urbanisasi lintas wilayah dan negara. Migrasi populasi global meningkat rata-rata mencapai 65 juta jiwa per tahun selama hampir 30 tahun terakhir (data Mckinsey). Konstelasi kekuatan ekonomi dunia tidak lagi didominasi oleh Amerika dan sejumlah negara Eropa, tetapi telah bergeser dan menyebar ke berbagai kawasan seperti Asia, Amerika Latin dan Timur Tengah. Beberapa negara dalam zona dimaksud adalah China, India, Brazil, Taiwan dan Dubai.
Kemajuan teknologi memberi efek multiplikasi dan serempak pada aspek scope dan scale semua jenis bisnis dan industri. Dukungan dan penguasaan teknologi informasi yang mumpuni menyebabkan perusahaan-perusahaan seperti Google, Facebook, Twitter, Youtube dan sebagainya menikmati pertumbuhan yang sangat cepat baik dalam peningkatan jumlah pengguna (users), aplikasi (content) maupun pengiklan (advertiser). Dengan basis tersebut, kinerja keuangan dan kapitalisasi pasarnya melambung secara eksponensial hanya dalam rentang waktu yang relatif singkat.
Mayoritas perusahaan-perusahaan tradisional dalam Fortune 500 memerlukan waktu sekitar 20 tahun untuk mencetak nilai kapitalisasi pasar sebesar $1 Miliar. Namun bagi perusahan start-ups seperti WhatsApp, Instagram, Uber dan lain-lain, performansi tersebut dicapai hanya kurang dari 5 tahun. Pesatnya kinerja bisnis ini disokong oleh jejaring sekitar 8 miliar steroids yang berinteraksi satu sama lainnya sepanjang waktu dari seluruh penjuru dunia. Koneksi global steroid dengan steroid (Machine to Machine, M2M), steroid dengan manusia (Machine to Human, M2H) dan manusia dengan manusia (Human to Human, H2H) melahirkan sumber daya yang melimpah (Abundance).
Fenomena keberlimpahan ini diuraikan dengan detail oleh Peter H. Diamandis dan Steven Kotler dalam buku "Abundance, The Future is Better Than You Think" dengan empat dimensi, yaitu exponential technologies, the DIY Innovator, technophilanthropists dan the rising billion. Teknologi eksponensial adalah setiap bentuk teknologi yang mengakselerasi kurva pertumbuhan eksponensial dan menggandakan output entitas bisnis ratusan hingga ribuan kali lipat dari kondisi sebelumnya. Â
Â
                     Sumber : Ismail dkk, 2014 (Buku : Exponential Organizations, hal 17)
Eksistensi jejaring internet, social media dan steroids mengungkit keterlibatan, interaksi dan partisipasi manusia dalam kelompok dan komunitas online. Dalam komunitas tertentu terdapat orang-orang kreatif dengan motivasi tinggi dan visi masa depan yang brilian, mereka ini yang disebut oleh Diamandis dan Kotler sebagai generasi DIY (Do-It-Yourself) Innovator. Ciri positif yang dimiliki oleh DIY Innovator adalah kemauan yang besar untuk berbagi (sharing) dan berkolaborasi dalam menyelesaikan berbagai isu sesuai dengan minat dan kompetensi mereka tanpa ikatan dan imbal jasa finansial. Dengan model crowdsourcing dan crowdfunding, mereka bergotong royong menyelesaikan proyek tertentu.
Meskipun kontribusi setiap member relatif kecil, namun karena jumlah partisipannya ribuan orang maka pekerjaan tersebut tuntas dalam waktu singkat. Karya-karya besar dan spektakuler yang dihasilkan oleh DIY Innovator antara lain adalah Wikipedia dan beberapa software open source seperti Mozilla dan Android. Selain berkontribusi pada proyek publik, DIY Innovator juga menghasilkan banyak aplikasi bisnis baik berkelompok maupun individual. Mereka inilah yang digelari sebagai start-ups entrepreneur dan melahirkan berbagai perusahaan dengan kapitalisasi pasar jutaan hingga milyaran dollar. Sebutan "The Rising Billion" disematkan oleh Diamandis dan Kotler bagi perusahaan-perusahaan seperti What'sApp, Snapchat, Instagram, Uber dan lain-lain karena lonjakan nilai asetnya yang exponensial dalam waktu singkat.
Kehadiran start-ups entrepreneur dengan bisnis model dan ekosistem digital menyentak dan memukul perusahaan-perusahaan incumbent dalam berbagai industri yang telah puluhan tahun mengendalikan mainstream market. Mereka mengalami disorientasi pasar dan tidak memiliki kesempatan untuk merespon perubahan yang berlangsung sangat cepat. Pada kondisi seperti itu, hanya sedikit incumbent yang mampu bertahan dan menyelamatkan diri, selebihnya terpaksa meninggalkan arena (misalnya Kodak dan Nokia). Tergusurnya perusahaan-perusahaan besar dalam industri tertentu oleh bisnis start-ups disebut oleh Clayton M. Christensen sebagai "disruptive innovation".
Kecepatan pergeseran ekonomi makro global yang ditandai dengan tingginya arus urbanisasi dan terbentuknya area emergent market yang baru serta peran dominan teknologi eksponensial, menyebabkan dunia berada pada era hyperconnected society. Dalam era hyperconnected, pola kerja yang linier dan hirarkis tidak lagi relevan. Situasi ini disebut oleh James Manyika dkk sebagai gejala "the trend has been broken". Ada 3 karakteristik yang menyertai gejala dimaksud, yaitu perubahan berlangsung dengan cepat (speed), tiba-tiba atau cenderung tidak terduga (sudden shift) dan menimbulkan efek kejut (surprise) bagi banyak pihak. Menggunakan konsep DIY Innovator, setiap waktu lahir ratusan bisnis start-ups dengan kekuatan disruptive yang tinggi dan mendobrak semua kemapanan perusahaan yang leading diberbagai industri selama bertahun-tahun. Ini mengindikasikan bahwa "sudden shift" telah menjadi sebuah realitas baru dalam era hyperconnected.
Pada forum Markplus Conference tanggal 10 Desember 2015 yang lalu, Hermawan Kerjaya mengajukan pertanyaan "why sudden shift to new normal?". Jawabannya tentu sederhana, yaitu karena penduduk bumi telah memasuki era "hyperconnected society". Jaman dimana lebih dari 4 miliar manusia dan sekitar 8 miliar steroids dapat saling berinteraksi (sharing), melakukan pertukaran dan transaksi ekonomi serta berkolaborasi secara rieltime kapanpun (anytime) dan dimanapun (anywhare) tanpa kendala demografi dan geografi. Fakta ini mengkonfirmasi kebenaran teori "borderless world" dari Kenichi Ohmae sekaligus menguatkan tesis Thomas L. Friedman tentang dunia yang datar.
Dalam konteks sudden shift menjadi normalitas maka daya tahan perusahaan berada pada arena yang rawan dan rentan mengalami disruption. Untuk menghindari dampak tersebut, Ismail dkk menganjurkan agar semua stakeholder melakukan adaptasi sehingga lebih fit dengan ecosistem  bisnis yang baru, yaitu mentransformasikan perusahaan menuju organisasi ekponensial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H