Mohon tunggu...
Malikus Senoadi Widyatama
Malikus Senoadi Widyatama Mohon Tunggu... -

Wirausahawan sederhana, mudah, rajin menabung, kreatif, cepat tanggap, cerdas cermat, mudah dicari di toko terdekat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kearifan Lokal untuk Menyelamatkan Sungai Citarum (Bagian pertama)

23 April 2011   11:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:29 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semburat Kisah dari Hulu Sungai Citarum

Waktu menunjukkan pukul 06.30 pagi, saat itu pemandangan matahari pagi dari Gunung Wayang begitu eloknya. Dinginnya pagi begitu menusuk. Kebanyakan orang hawa sedingin itu paling enak dinikmati dengan menyeruput kopi susu panas. Tetapi tidak dengan kami yang melakukan ekspedisi dengan menggunakan jalan darat untuk melihat hulu Sungai Citarum.

Ekspedisi ini kami ditemani oleh Pak Hendra yang senang untuk bersepeda di wilayah pegunungan. Beliau sumber inspirasi kami untuk memulai ekspedisi. Kami berangkat dari Pengalengan kami berjalan ke arah barat daya, naik ke Gunung Wayang. Daerah yang kami lewati memiliki nama yang tidak biasa seperti Arjuna dan ada juga daerah yang dinamakan Samudera. Mungkin nama Arjuna sangat berkaitan dengan nama Gunung Wayang itu sendiri. Nah yang belum dapat kami jawab adalah nama Samudera, padahal tempat itu berada di daerah pegunungan.

Kami melewati jalan berliku mendaki pegunungan Malabar, melewati perkebunan teh dan area geotermal Wayang Windu. Suasana yang berkabut yang salah satunya berasal dari uap geothermal membuat perjalanan semakin menggairahkan. Tidak jauh dari jalan yang kami lalui terdapat jalur pipa uap yang diambil dari sumur-sumur geotermal. Perjalanan yang melelahkan dapat terobati dengan adanya pemandangan alam yang sangat berbeda dari apa yang saya lihat setiap hari di Kota Jakarta.

Gurat-gurat cahaya matahari terlihat muncul dari balik rimbunnya pepohonan ketika kami sampai pada celah diantara Gunung Windu dan Gunung Malabar. Kami mulai memasuki wilayah hutan dan perladangan penduduk. Kemudian tidak lama kami menyusuri lembah, sehingga terlihat permukiman penduduk Desa Pejaten yang bersebelahan dengan hutan pinus. Daerah ini merupakan hulu Sungai Citarum. Lereng Gunung Wayang arah ke utara terdapat Situ Cisanti. Daerah ini merupakan wilayah konservasi alam, sehingga kerimbunan pepohonan masih terlihat.

Senyum dan sapa ramah dalam bahasa Sunda ketika kami masuk ke Desa Pejaten. Desa itu berada pada Kecamatan Kertasari selain menghasilkan sayur mayur juga merupakan daerah penghasil susu. Sungai di daerah tersebut dinamakan Cibereum atau artinya air merah. Sebagian air sungai tercemari dengan limbah kotoran sapi.Asal kata Pejaten berasal dari kata jati. Konon di sekitar wilayah ini memiliki mitos tentang kerajaan Sunda jaman dahulu. Seperti di sebelah Gunung Wayang ada sebuah bukit yang dinamakan Gunung Bedil, yang alkisah dahulu kala terdapat meriam atau bedil menuju istana kerajaan. Di dekat puncak Gunung Wayang ada tempat yang sering dijadikan tempat bertapa para dalang dalam mencari ilmu dalangan. Menurut kisah warga setempat kenapa wilayah tersebut dinamakan Gunung Wayang, karena konon dahulu di sekitar Gunung Wayang orang sering mendengar suara-suara gamelan wayang.

Matahari semakin naik posisinya. Kami terus menuju ke arah bawah dari Desa Pejaten. Kami menemui banyak perkampungan. Kami berjalan menyusuri jalan diantara celah perbukitan yang juga merupakan alur Sungai Citarum yang mulai membesar alirannya. Subhanallah pemandangan alam semacam ini seperti menghilangkan semua permasalahan yang ada pada pundak kami. Rasa capek saya serasa terobati.

Mulai tampak pemandangan bukit-bukit yang menjadi kebun sayur mayur di tanah-tanah miring. Sepertinya perekonomian masyarakat dibentuk dengan berkebun sayur mayur dengan menjadikan wilayah tanah bukit yang pada sekitar dua dasawarsa lalu masih berupa hutan rimbun, digunduli menjadi gundukan-gundukan tanah kebun. Apakah karena kebutuhan ekonomi masyarakat desa yang mendesak atau ada hal lain yang membuat mereka begitu aktif untuk membuka area hutan ?Pertanyaan itu muncul dalam diskusi kami dalam perjalanan setelah melihat kondisi wilayah itu.

Kami berusaha untuk mencari jawabannya. Lalu kami berusaha datang ke salah satu warung milik warga untuk beristirahat sambil menanyakan kisah perubahan area hutan menjadi tanah kebun. Kisah tentang perubahan area hutan menjadi kebun sayur mayur ternyata tidak hanya berhenti sampai itu saja. Menurut masyarakat setempat, penggunaan pupuk kimiawi secara berlebihan menjadikan tanah menjadi tidak subur setelah beberapa tahun. Sehingga produktivitas hasil pertanian menurun, pembukaan lahan-lahan baru dengan mengorbankan hutan yangtanahnya masih subur menjadi tidak terhindarkan. Sedih memang mendengar cerita tersebut. Apalagi setelah beberapa tahun, tanah-tanah yang terbuka membuat lapisan atas tanah yang subur, menjadi tererosi sehingga menjadikan Sungai Citarum membawa erosi tanah-tanah tersebut kemudian menjadi coklat warnanya.

Diskusi tentang erosi pun berlanjut, masih ketika kami beristirahat sambil ditemani dengan bandrek ataupun teh dan kopi susu ditemani dengan singkong rebus. Kami melanjutkan tema mengenai pendangkalan dan sedimentasi sungai. Kejadian banjir pada musim hujan bukan merupakan cerita baru. Tetapi akibat semakin tergerusnya lapisan tanah subur menyebabkan pembukaan area hutan menjadi tidak tertahankan. Tanah-tanah terbuka semakin banyak, sehingga kemampuan tanah untuk menyerap air dengan bantuan dari pepohonan tidak terjadi. Akibat lebih jauh, pada musim kemarau akan terjadi kekeringan, dan kemungkinan terjadinya tanah longsor pada musim hujan juga tidak dapat dicegah apabila kemampuan menyerap tanah menjadi jenuh dan tidak dapat menampung limpahan air.

Perjalanan kami lanjutkan, sehingga kami sampai di daerah Pacet. Banyak petani setempat menanam pohon-pohon stroberi. Ada juga kios-kios yang menyediakan produk olahan stroberi, ada juga yang menyediakan kebun stroberi dapat dipetik langsung. Penanaman stroberi tidak membutuhkan lahan yang luas, selain itu juga dapat menjadi daya tarik wisata agro. Pada saat liburan sekolah atau pada akhir pekan wilayah ini ramai dikunjungi wisatawan lokal. Hasil dari agrobisnis dan agrowisata stroberi cukup menguntungkan. Sehingga masyarakat tidak perlu membuka lahan hutan atau menggunduli perbukitan.

Tidak lupa saya membeli selai stroberi di salah satu kios, untuk oleh-oleh perjalanan di daerah Pacet ini. Lumayan harganya sesuai dengan isi dompet saya. Bahkan tidak lupa teman saya juga membawakan untuk keluarga mereka.

Kami meneruskan perjalanan sampai di Kota Ciparay. Daerah ini mulai datar dan terhampar daerah persawahan yang luas. Apabila kami memandang ke arah utara terlihat daerah Bandung, dan ke arah selatan terlihat perbukitan yang memuncak pada Gunung Malabar dan Gunung Puntang. Pemandangan perbukitan yang sudah tampak gundul dari kejauhan. Kemudian dari Ciparay ke utara, sampai di daerah Sapan. Tampak di daerah Sapan ini Sungai Citarum tidak lagi elok. Air yang menjadi keruh kecoklatan, mengalir dengan lambat di musim kemarau, dan deras arusnya ketika di musim hujan. Daerah ini yang selalu menjadi langganan banjir pada musim hujan, karena DAS Citarum dan hamparan persawahan saling berdekatan.

Menutup kisah dari hulu Sungai Citarum untuk masuk ke dalam pengamatan lanjutan saya berikutnya. Ada sebuah mitos dari sekitar hulu Sungai Citarum, yaitu di bagian atas dari Situ Cisanti ada dua buah pohon tua yang batangnya berdekatan, kata masyarakat itu merupakan simbol keris dan kujang dari Raja Siliwangi. Bilamana kedua pohon tersebut sampai berjauhan itu merupakan pertanda akan terjadinya konflik di negeri ini.

Saya memaknai mitos tersebut dalam perspektif Sungai Citarum, yang mana DAS Citarum merupakan wilayah yang melewati batas antar Kabupaten dan Kota. Selain itu merupakan DAS terpanjang di wilayah Jawa bagian Barat, meliputi 12 wilayah administrasi Kabupaten/Kota. Sumber daya DAS Citarum merupakan wilayah sungai lintas propinsi Jawa Barat - DKI Jakarta - Banten. Sehingga apabila pengelolaannya tidak saling berkaitan maka akan terjadi konflik untuk pengelolaan sumber daya dan potensi DAS Citarum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun