Bila diibaratkan dalam hal perang, Panca Sila seharusnya menjadi senjata yang kita pegang, yang kita pakai untuk menebas musuh-musuh kita, bukan sebagai 'sosok' yang dibaringkan di sebuah singgasana dan hanya diam menyaksikan perang. Perpu ini tidak membuat saya melihat bahwa Panca Sila telah berhasil menumpas musuh-musuh (berupa ormas), karena posisinya tengah digantikan oleh kehadiran Perpu No. 2 Tahun 2017 yang apabila kita cermati, senjata berupa perpu tersebut hanya sebagai 'senjata-dadakan' yang digunakan tanpa alasan yang jelas.
Sehubungan dengan maksud saya menulis tulisan ini, di mana pada awalnya saya menyinggung tentang Marhaenis-Marhaenis yang mengaku anak ideologis Sukarno, saya menyayangkan ketika mereka lupa bahwa sasaran-utama pemerintah melalui perpu ini adalah mereka yang berada dalam payung radikalisme. Gerakan marhaenis tempat saya dan lawan bicara saya bernaung saat ini merupakan salah satu organisasi yang menuntut kami untuk berpikir secara radikal-mengakar. Mereka lupa bahwa perpu inilah yang barangkali berpotensi mengurangi arah gerak organisasi serta daya kritis yang memang harus dibangun sebagai Marhaenis.
 Mereka lupa bahwa di dalam organisasi ini, kami belajar menjadi sosok yang berpikir progresif dan mendalam, bukan sebagai seorang penjilat yang takut dicap sebagai komunis maupun pemberontak. Dan mereka pun lupa, bahwa Marhaenis-Marhaenisme bukanlah trend maupun brand fashion yang digunakan hanya sebatas-sebagai prestise untuk gagah-gagahan ketika berbicara, tetapi juga sebagai mesin pengingat bahwa kita masih memiliki tuntutan-menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H