Kupandangi wajah semeringahnya dengan kerut-kerut wajah nya yang lelah. Menandakan sebaris kata-kata perjuangan kerasnya.
Rezeki, baginya harus mempunyai prinsip. Dikatakanya bahwa sebagai perantau ia telah banyak mengalami pahit manis nya hidup, atau bahkan pahit yang akut telah membangkitkanya dari seorang tanpa daya menjadi terserap kekuatan daya semesta dalam dirinya.
Prinsip itu sederhana " tanah, rumah sebagai pondasinya jika tak mampu membeli jangan jual" ia menganalogikanya dengan diriku sebagai masyarakat betawi, sebenernya hal ini pun tak asing namun karena katanya menusuk tajam kearahku jadi aku meresapi juga kata-katanya, sekaligus mengiyakanya. Panjang lebar ia menanamkan pupuk katanya, termasuk kenapa masyarakat betawi di jantung kota sudah sangat sedikit ? Mereka semua menyingkir ke sudut-sudut kota, isinya ? Mengapa ? Dan sebagainya. Bagiku nanti berharap tumbuh subur dengan segala manfaat yang ku setujui.
Pasangan, menurutnya semua sisi ini diukur dengan kekuatan ekonomi. Bagiku, ia semacam mengidap marxisfobia atau barangkali pernah membaca manifesto komunis, Das Capital kritik Marx terhadap sistemik kapitalisme itu. Padahal kenyataanya, ia hanya seorang awam bahkan tak sempat menyentuh karya-karya epistemologi kiri tersebut, mungkin pengalaman sebagai orang rantau yang membentuk persepsinya.
Dari kontruksi bahasa yang dibangun era kapitalisme global tentang :
1. Harta
2. Tahta
3. Wanita
Hanya tahta yang ia tidak sentuh, mengapa ?
Karena ia hanya orang biasa dengan mimpi-mimpi yang sederhana, yang tidak mempunyai kedalam akses-akses birokrasi bahkan petinggi-petinggi korporasi ekonomi. Baginya, bertahan hidup saja sudah anugerah apalagi mempertahankan asetnya agar hidup tak terlindas oleh kesusahan membelit.
Lalu bagaimana dengan tahta ? Bagiku itu alamaiah, asal dilakukan dengan ikhlas dan pertanggungjawaban. Melakukanya dengan esensial bukan formal, melaksanakanya dengan membentuk kesadaran kemanusiaan bukan sekedar festival perayaan.
Dari dialog yang berjalan, ada sesuatu hal yang memang perlu jadi bahan pertimbangan dan juga ada yang perlu di buang dalam keranjang ide.
Yang pertama bagiku itu masuk akal, karena penekanan-penekanan pengalaman.
Yang kedua, tidak semuanya harus digerakan oleh faktor ekonomi, walaupun harus realistis di tengah arus kehidupan serba uang. Tapi ada yang dilupakan yaitu persoalan rasa, karena rasa itu adalah kehendak yang tidak bisa dikehendaki, ia pemberianya Tuhan yang dijalankan manusia dengan kesadaran dan ketidaksadaran.