Mohon tunggu...
Mala Silviani
Mala Silviani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ihdinas shiraatal mustaqim.

Berusaha meluangkan waktu untuk menulis, karena dengan menulis saya tahu siapa diri saya sebenarnya.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mitos Penjatuhan Pidana Mati Menteri Sosial

7 Januari 2021   20:03 Diperbarui: 8 Januari 2021   12:00 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangannegara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah)dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."

Sementara itu, Pasal (2) berbunyi:

"Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan."

            Atas dasar bunyi Pasal 2 Ayat (2) yang demikian, apa maksud dari frasa "dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan". Akan tetapi adakah sejarah dalam perjalan hukum di Indonesia bahwa terpidana kasus korupsi pernah ada yang dijatuhi hukuman mati?

            Namun dalam kenyataannya, sudah 22 tahun (dua puluh dua tahun) sejak keluarnya UU No. 31/1999, sampai saat ini belum ada seorang koruptorpun yang dijatuhi pidana mati bukan? Berbeda halnya dengan pelaku tindak pidana narkotika, yang sudah banyak dijatuhi pidana mati oleh negara. Mengapa hal ini bisa terjadi? Biarkan penulis lemparkan pertanyaan ini kepada para pembaca.
            Akan tetapi, untuk memperkaya muatan tulisan berbasis ilmu ini penulis merasa perlu juga menguraikan apa saja hal-hal yang menyetujui serta menolak adanya pemberlakuan pidana mati dalam penjatuhan pidana. Terlebih sudah banyak sekali perdebatan-perdebatan alot mengenai keberlakuan penjatuhan pidana mati dengan alasan hak asasi manusia atau tidak terbuktinya efektivitas dari penjatuhan pidana mati.

            Alasan pertama menyetujui adanya pidana mati ialah bahwa Pidana mati dianggap sebagai sarana yang dapat mencegah seseorang untuk melakukan kejahatan karena pidana mati dianggap sebagai hal yang menakutkan atau menjerakan, sehingga ada rasa takut bagi orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan yang diancam dengan pidana mati. Hal ini berkaitan dengan pendapat dari Anselm Von Feuerbach dengan teorinya Psycologische Zwang (paksaan psikologis). Akan tetapi teori tersebut tidak berlaku secara umum. Selain itu, secara yuridis hal mengenai pidana mati pun masih bisa ditemukan di dalam KUHP dan Undang-Undang Khusus yaitu dalam hal ini Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Jadi sebetulnya keberadaan pidana mati di Indonesia mempunyai dasar hukumnya.

            Adapun alasan-alasan untuk menolak pidana mati yang banyak digaungkan oleh pembela hak asasi manusia ialah bahwa dikaitkannya muatan sila kedua pada Pancasila yang menempatkan manusia dalam keagungan dan martabatnya sebagai makhluk dari Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, termuat pula pernyataan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah diamandemen Pasal 28A disebutkan: "setiap orang berhak mempertahankan hidup dan kehidupan." Secara eksplisit, penulis melihat bahwa bunyi dari Pasal tersebut mengamanatkan bahwa seseorang tidak boleh dijatuhi pidana mati. Lagi pula sesungguhnya tujuan menghukum seseorang bukanlah untuk membalas apa yang diperbuatnya, tetapi untuk mendidik yang bersangkutan  agar kembali ke jalan yang benar, dan hal itulah yang menjadi fungsi daripada Lembaga Pemasyarakatan.

            Lagi pula patut dipertimbangkan pendapat dari Roeslan Saleh yang mengatakan "...dengan tindakan memidana mati itu negara hanya memperlihatkan ketidakmampuannya, kelemahannya untuk memberantas kejahatan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun