Bismillahirrahmaanirrahim..
Berawal dari sebuah buku yang dibeli Penulis dua minggu yang lalu, Penulis tersentak ketika membacanya pada halaman-halaman sub-bab pembuka, hingga sampailah dipertemukan dengan sub-bab halaman yang menuliskan menyisipkan pesan yang bertuliskan "Kalau yang terpenting dalam hidup Anda saat ini adalah meneruskan hidup, maka apapun pekerjaan dan kegiatan yang Anda lakukan, semata-mata tertuju untuk menghiasi dan mencukupi hidup".Â
Tepatnya, tak sedikit dari kita sebagai manusia berlomba mengumpulkan materi untuk menyambung hidup dan menuntun serta membentuk kita menjadi pribadi yang menghamba pada sifat dan sikap materialistis dengan kata lain terlalu money oriented.
Lalu, apa hubungannya dengan judul pada tulisan Penulis kali ini? tentu saja ada, dalam pemahaman Penulis ada koheren di antara keduanya. Bagaimanapun, ketika hidup dibutakan oleh syahwat untuk menumpuk materi demi memuaskan diri maka sifat nasionalisme dalam diri akan terkikis secara perlahan namun pasti.Â
Menyambung hidup memang penting. Tapi, bukankah memaknai hidup jauh lebih penting? lagipula tak jarang alam pikir kita tegas mengatakan "apa gunanya sih mencintai Bangsa/Negara ketika Negara tak mampu melindungi hidup dan memberi hak-hak rakyatnya, termasuk saya!".Â
Terlebih di zaman induvidualistis saat ini. Namun, bukankah ada sindirian yang mengatakan "Jangan tanyakan apa yang Negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang sudah kamu berikan kepada Negara."
Bagi kaum Populis (rakyat kecil) jangankan memikirkan bagaimana mampu berkontribusi dalam upaya perbaikan bangsa, memperbaiki hidup diri sendiri pun masih minim upaya.Â
Demikian juga bagi para pesimis, dalam hal ini termasuk penulis. Memang, sulit rasanya mampu berkontribusi untuk memperbaiki suatu Bangsa/Negara yang jika dilihat dari segi apapun itu, politik, ekonomi dan atau sosial sudah banyak disorientasi, hanya saja saat ini kita tinggal menunggu datangnya malapetaka dari tumpukan kekacauan yang sudah ada.
Namun, pasti akan selalu ada jalan keluar untuk mengupayakan keluar dari jeratan yang terasa mencekikan ini. Bagaimanapun, ketika Negara tak mampu memenuhi apa yang seharusnya Negara berikan kepada Rakyat, maka jangan harap rakyat akan memberikan cinta dan baktinya pada Negara.Â
Perangkap inilah yang memang diciptakan setan dan berhasil membuat manusia tak mampu untuk menolaknya, perangkat tentang kalau keadilan ekonomi hilang, maka tinggal saatnya menunggu kerusakan umat manusia.Â
Bukankah kemiskinan mampu melumpuhkan keimanan? Kemiskinan pula jugalah gerbang menuju kekufuran, karena kemiskinan laksana kunci emas yang mampu menyesatkan manusia dari kebenaran dan membuka pintu untuk berpaling dari Sang Pencipta.Â
Kala seseorang dijerat kemiskinan apakah mereka akan peduli dengan masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh negara? tentu saja tidak! coba kau tanya kepada si miskin, kepada si lapar, kepada si sakit, kepada si terasing, kepada si gelandang, kepada si gangguan jiwa, apakah mereka peduli terhadap upaya perbaikan Bangsa-nya?
Syahdan, rupanya hal yang krusial saat ini terhadap respon daripada kekacauan yang ada ialah perbaikan diri dalam upaya perbaikan bangsa. Yaa, perbaikan diri dalam upaya perbaikan bangsa. Kalimat ini saya dengar dari salah teman kampus saya yang mana beliau juga mendapatinya dari salah satu seniornya dalam kajian.Â
Namun, hal ini hanya dapat disadari oleh orang-orang berakal saja yang mencintai persatuan bangsanya. Semua itu dapat kita lakukan dari hal yang sederhana, misalkan, menolak menjadi pribadi yang apatis serta skeptis, mengurangi tenggelam dalam bermedia sosial untuk hal-hal yang terbuang, menghindari menjadi agen-agen penyebaran berita hoax yang dapat menyebabkan pembodohan massa secara masal, enggan meleburkan pikiran untuk hal-hal percintaan yang remeh temeh yang merenggut banyak waktu, menolak bertindak hedonisme yang merajalela di lingkungan teman kampus atau lingkungan kerja.Â
Lalu, menggantinya dengan berpuasa media sosial dan mengisi waktu untuk lebih banyak memahami film dokumenter tentang perjuangan bangsa serta film-film yang mengajarkan pentingnya mempertahankan moral, ataupun membaca buku agaknya mampu mendorong kita sebagai langkah awal untuk memupuk upaya perbaikan diri dalam upaya perbaikan Bangsa/Negara.Â
Apapun itu banyak hal-hal positif yang dapat kita lakukan untuk menjadi pribadi yang lebih berkualitas lagi, yang mampu mendidihkan gelora perjuangan dalam diri.Â
Dalam hal ini, yang di imani penulis memang, kita sebagai diri sendiri tidak atau belum mampu memiliki kemamampuan/kekuatan untuk memperbaiki segala bentuk kekacauan yang ada pada Bangsa/Negara.Â
Namun, kita sebagai pribadi mampu melakukan perbaikan diri dalam upaya membantu perbaikan Bangsa/Negara. Memang, untuk melakukan suatu perubahan diperlukan perubahan dalam diri sendiri terlebih dahulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H