Mohon tunggu...
Malakik Sanjo
Malakik Sanjo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nyoblos or Not to Nyoblos, It's Indeed a Question

14 April 2019   19:11 Diperbarui: 14 April 2019   19:15 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Batik daun maple dan nyiur

'Ditunggu tunggu kok pada nggak nongol'  tulis saya di WA pada seorang teman sambil mengunyah bakso. Saya baru saja pulang nyoblos, laper dan segera menggasak berbagai kudapan khas Indonesia yang saya beli di bazar pemilu KJRI.

'Ah males nyoblos, nanti disuruh tanda tangan  surat pernyataan tidak berpaspor dua' jawab temen saya. 'Masa mau bohong bilang punya paspor cuma satu padahal punya dua, kita kan orang beragama tidak boleh bohong' lanjutnya.

'Tapi ngisi surat pernyataan itu kan optional' kilah saya.

'Tetep saja, kalau nyoblos tapi tidak tanda tangan surat pernyataan,  kan bisa ditandain'. 'Siapa aja yang datang tadi, rame nggak ?'

'Lumayan rame,  tapi cuma ketemu Desi dan Dina dari kelompok kita, Desi tanda tangan surat lho, padahal punya paspor dua, Dina punya paspor satu malah menolak dengan alasan melanggar privacy, jadi kalaupun nantinya ditandai sama KJRI, ya tidak akurat juga' cerita saya

'Iya tuh, aneh aneh aja KJRI' kata temen itu mengkhiri pesannya dengan emoji telapak tangan di dahi.

Polemik ini membuat saya kembali  merenungkan esensi Bangsa, Warganegara dan hak kewajiban  yang menyertainya.

Dari sejarah bisa dibaca bahwa kewarganegara dulunya terbentuk demi adanya aksi timbal balik antara pengakuan dan perlindungan oleh perorangan dan penguasa. Warga mengakui (tunduk) pada penguasa tertentu lengkap dengan membayar pajak atau upeti, Pengusasa kemudian melindungi dan mengatur kemudahan hidup para subjeknya yang tunduk dibawah kekuasaanya. Jadi  secara sederhana Warganegara dengan definsi ini cukup masuk akal dan praktis.

Proses hubungan timbal balik ini apakah adil dan bijaksana atau tidak tergantung keberadaban manusia manusia yang menjalaninya. Di jaman Warring State misalnya  ketundukan warga dilakukan dengan paksa; orang kuat membentuk perkumpulan, menyerbu serta menjajah wilayah tertentu, terjadilah kerajaan, daerah kedudukan dipaksa ini itu termasuk bayar pajak dengan balasan mereka dijaga dari serbuan 'kerajaan' lain.  Di abad 2000 ini umumnya pengakuan dan perlindungan ini dilakukan dengan cara demokrasi dengan batas batas  hukum.  

Tapi kemudian setelah era kolonialisme, PD1, PD2 dan berbagai perjanjian/persetujuan yang dilakukan oleh berbagai kekuatan pada jaman itu (Eropa dan Amerika Utara) tercetuslah antara lain tiga klausul untuk menjadi Warganegara : karena darah (turunan), karena tempat lahir dan karena naturalisasi (pemutihan).   

Juga perlu diperhatikan bahwa umumnya terminologi barat mencampur adukkan antara Kebangsaan (Nationality) dan Warganegara (Citizenship), misalnya pertanyaan what is you Nationality jawabannya adalah mengenai Citizenship. Padahal  menurut saya Nationality (Kebangsaan) dan Citizenship (Warganegara) tidak mutlak serta merta berhubungan. 

Contoh mudah nya suku suku di Sumatera Barat Utara dan Selatan sebenarnya adalah bangsa Melayu, secara budaya, bahasa dan agama lebih dekat dengan orang orang di  Malaysia daripada dengan suku suku di Indonesia timur. Tapi kita semua adalah Warganegara Indonesia yang sekarang dengan mengadop kerancuan asing itu  mengatakan diri kita sebagai Bangsa Indonesia.

Di dunia yang sudah semakin global, dimana manusia dapat berpindah dari kutub selatan ke kutub utara dalam hitungan jam saja, seyogyanya definisi  Bangsa, Warganegara dan hak kewajiban yang menyertai mesti dibikin masuk akal dan praktis saja. Tidak usah sentimental dengan sagala konotasi loyalitas bak era jaman medieval sampai PD2. 

Terus terang saya suka kecut  mendengar lagu kebangsaan  juga Oath of Allegiance (sumpah setia) negara negara Eropa dan Amerika Utara. Sudah sangat ketinggalan jaman dan tidak perlu. Kenapa orang harus menyatakan dirinya loyal dan setia pada Ratu atau Raja, guna nya apa itu, lebih baik dia berjanji mematuhi hukum dan menjadi warganegara yang jujur serta rajin bekerja.  

Balik ke kasus  teman saya yang akhirnya memutuskan untuk tidak nyoblos itu. Dia berasal dari suku Minang, sudah 20 thn hidup, bekerja dan beranak pinak  serta membayar pajak di Canada, logikanya dia hanya perlu satu paspor dan Warganegara Canada saja,  mestinya keisengan sekali dia ikut ikut pula nyoblos.

Tapi teman itu punya rumah di Jakarta yang ditempati oleh ibunya yang sudah tua, juga punya account di BCA dan punya kebun di kampungnya di kaki gunung Singgalang yang dikelola oleh saudara saudaranya. Arti kata dia menanam uang di Indonesia dan secara tidak langsung bayar pajak kepada NKRI,  dengan sendirinya adalah wajar mempertahankan kewarganegaraan Indonesianya dan adalah wajar hendak ikut memilih siapa yang akan memimpin pemerintahan.

'Ah mama aneh aneh aja definisinya' kata anak saya, 'Kalau investasi dan pembayaran pajak tidak langsung, bisa menentukan hak orang menjadi warganegara jangan jangan nanti Jack Ma bisa punya paspor Indonesia'.   

'Nggak lah, Jack Ma tidak lahir di Bukittinggi, dan tidak bisa berbahasa Minang, tidak punya sedulur di wilayah ibu pertiwi yang dikunjungi dari waktu kewaktu, tidak kangen dengan rendang, gulai jariang, bika simariana'.

Jadi menurut saya NKRI mengadopsi peraturan berpaspor satu tidak masuk akal, tidak praktis dan baper. Bagaimana mungkin NKRI mencampakan temen saya itu yang  secara darah dan tanah kelahiran merupakan orang (Bangsa) Indonesia tulen, orang yang mestinya mendapat prioritas menjadi Warganegara Indonesia.

Migrasinya bangsa Indonesia ke luar negeri  mestinya tidak usah dihujat, bahkan bisa dianggap sebagai missi perwakilan Indonesia di luar negeri, yang membawa restoran dan kedai bercitra rasa nusantara, yang menampilkan batik di jalanan kota dunia, yang memainkan angklung, gending, kolintang didepan warga asing.

Semakin banyak migran Indonesia semakin baik, Indonesia  toh tidak kekurangan penduduk,  sehingga bisa terbentuk 'fan base' buat mengekspor produk/service  Indonesia, seperti yang terjadi pada komunitas Pinoy di Toronto.  Ada 3 restoran Jollibee selalu padat pengunjung di Toronto, yang akhirnya dikunjungi juga oleh non Pinoy.

Juga seyogyanya kenyataan bahwa migran Indonesia memiliki paspor asing kudu disambut dengan hangat oleh NKRI, karena dengan cara ini ada pihak lain yang turut mengayomi kehidupan sesama bangsa, mengurangi beban NKRI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun